Riau  

Desak Pemerintah Evaluasi Ratusan Perusahaan Perampas Hutan dan Tanah Masyarakat

LAMANRIAU.COM, PEKANBARU – Jikalahari dan Walhi Riau mendesak pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan mengevaluasi perizinanan 595 perusahaan di sektor kehutanan, dan pertambangan di Riau.

Ratusan perusahaan ini disinyalir bermasalah karena sering berkonflik dengan masyarakat hukum adat tempatan, merusak dan mencemarkan lingkungan hidup, mengemplang pajak, serta terlibat korupsi.

“Termasuk mengevaluasi kinerja Kapolda dan Gubernur Riau yang lamban merespon laporan masyarakat dan tidak menjalankan instruksi Presiden Jokowi dan GNPSDA KPK. Akibatnya Riau berasap di musim kemarau, banjir di musim hujan, masyarakat jadi korban,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.

Pada 26 Juli 2018 di Pekanbaru, Kemenkopolhukam menggelar rapat bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kemendagri, Kementan, Polri, Kapolda Riau, Gubernur Riau, Danrem 031 Wirabima, Kejati Riau, Bupati Kampar, Bupati Siak, Bupati Pelalawan, Bupati Indagiri Hulu, Bupati Kuansing, dan PT Ciliandra Perkasa.

Agenda rapat adalah mengevaluasi penyelesaian konflik perambahan hutan Taman Nasional Tesso Nilo, tindaklanjut penyelesaian konflik PT Ciliandra Perkasa dengan masyarakat Siabu di Kabupaten Kampar dan penanganan perambahan hutan di luar HGU PT Ciliandra Perkasa serta tindaklanjut penyelesaian konflik terkait penguasaan lahan masyarakat oleh PT Aneka Inti Persada.

“Mengapa rapat yang menghadirkan pemerintah pusat dan Muspida di Riau lebih dari 60 orang dari berbagai instansi pemerintah hanya membahas konflik di Taman Nasional Tesso Nilo, PT Ciliandra Perkasa dan PT Aneka Inti Persada? Apa motifnya?” kata Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau.

Padahal, menurut Riko lagi, ada 595 perusahaan kehutanan, perkebunan dan tambang yang berkonflik di Riau dan merampas hutan tanah masyarakat adat dan tempatan.

Pada tahun 2015, Pansus Monitoring Perizinan DPRD Riau menemukan 417 dari 513 perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak berizin dominan berada di dalam kawasan hutan seluas 1,8 juta hektar yang telah merugikan keuangan negara berupa tidak membayar pajak sebesar Rp34 triliun per tahun. Temuan terhadap perusahaan tambang dan kehutanan, juga hampir sama.

Kinerja Irjenpol Nandang lebih dari 200 hari sebagai Kapolda Riau lamban merespon laporan masyarakat. Jikalahari bersama Koalisi Rakyat Riau melaporkan 82 korporasi HTI dan sawit yang terlibat kejahatan kehutanan dan lingkungan hidup, perkembangan penyidikan kembali SP3 15 korporasi pembakar hutan dan lahan pada tahun 2015.

“Padahal ini bentuk komitmen Jokowi agar penegakan hukum terhadap korporasi pembakar hutan dan lahan,” terangnya.

Kinerja Gubernur Riau Andi Rahman terkait penerbitan Perda Nomor 10 tahun 2018 tentang RTRWP Riau 2018-2038 yang penuh kontroversi karena tidak menyelesaikan konflik hutan tanah antara masyarakat dengan korporasi. Perda ini dinilai hampir 90 persen menguntungkan korporasi.

“Kinerja Kapolda dan Gubernur mestinya sangat berperan penting menghentikan kebakaran hutan dan lahan,” kata Riko Kurniawan.

Jikalahari dan Walhi Riau juga mendesak Kemenkopolhukam untuk memasukkan agenda pembahasan PP Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Pencegahan Korupsi. Sebab fokus strategi tersebut membahas perizinan dan tata niaga, keuangan negara dan penegakan hukum dan reformasi birokrasi.

“Jangan hanya membahas tiga agenda tersebut, sebab tidak adil dan terkesan tebang pilih,” kata Riko Kurniawan.

Melalui pembahasan bersama, Jikalahari dan Walhi Riau merekomendasikan pada Kemenkopolhukam antara lain; pertama, Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja Menteri Kemenkopolhukam Wiranto karena hanya memfasilitasi penyelesaian konflik di TN Tesso Nilo dan areal korporasi perkebunan kelapa sawit. Padahal Reforma Agraria semestinya menyelesaikan konflik di 595 perusahaan kehutanan, perkebunan dan tambang.

Kedua, selain mengevaluasi 595 perusahaan kehutanan, tambang dan sawit, juga mempercepat koordinasi dan implementasi Reforma Agraria berupa Tora dan Perhutanan Sosial di Provinsi Riau sebagai salah satu jawaban penyelesaian konflik tenurial di Provinsi Riau.

Ketiga, membuka informasi motivasi Kemenkopolhukam hanya menyelesaikan konflik PT Ciliandra Perkasa dan PT Aneka Inti Persada. Jangan sampai motifnya untuk kepentingan perusahaan dan elit-elit politik. (rls)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *