Opini  

1.000 Parit (Parit Mahakarya Orang Indragiri Hilir)

Indragiri Hilir

Oleh Junaidy bin Ismail Abdullah

UCAPAN kata “parit” begitu melekat pada kehidupan masyarakat atau Orang Indragiri Hilir. Kata parit menjelma sebuah narasi panjang tentang budaya dan peradaban yang dijunjung dan dijulang sebagai sebuah pengetahuan. Parit yang terbentang telah pula menjadi rangkaian kisah demi kisah dalam bingkai ceritera lembar kehidupan Orang Indragiri Hilir yang tabah dan tekun mengelola alam tanah rawang yang penuh tantangan. Parit yang terhampar digenangi air yang berwarna coklat kemerahan telah membentuk mata rantai kehidupan antara Orang Indragiri Hilir dengan alam semesta disekitarnya.

Parit-parit yang tehampar di tanah Indragiri Hilir merupakan saluran air yang telah dibangun sejak lebih satu abad yang lampau. Parit yang digali baik berbentuk bujur maupun melintang untuk mengatur tali air bagi kelangsungan kehidupan tumbuh-tumbuhan. Dengan Parit menjadikan tanah rawang bergambut redang terjaga zat haranya, humus yang subur bagi tumbuhan budidaya yang untuk sumber pangan dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki nilai jual sebagai sumber pendapatan keluarga. Sehingga tanah Indragiri Hilir yang berada dipesisir Timur Sumatra yang dipengaruhi pasang surut air laut menjadi tanah harapan sumber kehidupan bagi Orang Indragiri Hilir.

Kemampuan reka daya dan reka cipta yang menyelaraskan dengan alam semesta maka Orang Indragiri Hilir mengayun setiap mata parang, kapak dan beliung diatas tanah rawang bergambut redang sebagai lahan pertanian. Dengan menggunakan besi dalam bentuk cangkul, tembilang serta linggis sebagai alat untuk penggalian parit guna mengeringkan tanah rawang bergambut redang menjadi huma dengan bergelimang lumpur. Dihitung dengan cermat buka (lebar) dan lambung (panjang) parit dibilang dengan takaran depa, sehingga tampungan air dapat dikira dan diduga.

Belukar ditebas rimba ditebang maka tanah perhumaan terbentang. Seiring masa tanah perhumaan ditanam tumbuhan berusia muda sebelum memulai budidaya tanaman kelapa, rumbia, pinang dan tanaman lainnya yang berumur panjang. Pondok didirikan tempat berteduh dikala panas tempat berlindung dikala hujan. Berangsur-angsur rumah dibina ditepian parit yang damai dan sentosa dengan segala impian untuk menggapai kehidupan yang mulia.

Parit tidak semata sebagai saluran air, akan tetapi telah menjadi sebuah pengetahuan yang sarat dengan nilai Kearifan Lokal tentang mengelola tanah rawang bergambut redang yang berada dipesisir hingga ke hulu sungai. Kearifan Lokal ini menjadi lambang kepiawaian Orang Indragiri Hilir yang bersahabat dengan alam. Kepiawaian yang diwariskan secara turun temurun sebagai pengetahuan dalam mengelola ekosistem pertanian yang berkelanjutan.

Orang Indragiri Hilir telah secara cermat dan cerdas untuk menjaga permukaan tanah rawang bergambut redang tetap lestari. Dengan secara terukur mensiasati untuk menahan had naik pasang tinggi air laut. Secara terbilang agar limpasan air hujan tidak menggenang tanah berlama-lama sehingga akar rumpun tanaman tetap dijaga pernapasannya, sehingga tanaman tidak layu dan binasa sebelum daur masa hidupnya. Maka direka pula tanggul sebagai tembok melindungi tanah dari gempuran air. Dan pagung di parit anak sebagai pintu air berfungsi pintu penyekat dan pengatur permukaan air pada berbagai parit yang telah dibangun. Gagasan tentang Tata kelola pengairan yang kekal wujud dari ketabahan dan ketekunan yang tak pernah lelah dan surut walaupun dihantam air pasang dan curah hujan yang deras.

Pengetahuan Orang Indragiri Hilir tentang tata kelola tanah rawang bergambut redang tidak bisa dicuai abaikan. Masa lebih satu abad telah membuktikan bahwa pengetahuan tata kelola parit yang sesungguhnya telah melahirkan kehidupan petani yang gemilang dan terbilang. Sehingga tanah Indragiri Hilir menjadi tanah harapan bagi para anak dagang yang rela dan ikhlas meninggalkan kampung halaman. Para anak dagang membina kehidupan di tanah Indragiri Hilir sebagai rumah dan kampung halaman yang sesungguhnya secara turun temurun.

Banyak nama yang disematkan terhadap parit sesuai dengan fungsi yang diembannya oleh Orang Indragiri Hilir. Parit Induk atau parit Kongsi sebagai saluran primer yang menghubungkan ke saluran air sekunder. Parit ini milik komunal yang digali secara bersama-sama sekaligus dijadikan sebagai alur transportasi yang menghubungkan menuju ke sungai. Disepanjang tepian Parit Induk dijadikan sebagai pusat pemukiman dan segala kegiatan sosial kultural yang dibangun secara beselang atau bergotong royong.

Parit Anak sebagai saluran sekunder yang dibangun oleh pemilik lahan untuk mengatur sirkulasi air sehingga tanah pertanian tidak tergenang dikala hujan dan tidak terendam dikala pasang air laut sedang memuncak. Parit anak berfungsi pula sebagai pembatas tanah antar pemilik Parit Lintang juga berfungsi sebagai saluran tersier yang menghubungkan antar parit Anak sehingga pembagian air bisa merata. Kemudian ada beberapa jenis parit dengan berbagai sebutan dan fungsinya antara lain Parit Ban, Parit Gantung, Parit Lapis, Parit Terusan. Sedangkan untuk penamaan sebagai menunjukkan tempat maka digunakan angka dan nama seseorang serta nama tumbuh-tumbuhan.

Dr. B. Polak seorang Pakar Gambut Hindia Belanda dari Institut Ilmu Tanah di Stasiun Penelitian Umum untuk Pertanian di Buitenzorg (Bogor) pada 1943 telah mencatat olah pikir dan olah gerak Orang Indragiri Hilir dalam membangun sistem pertanian dengan menggunakan parit pada lahan pertanian di tanah endapan dan tanah gambut. Dalam tulisannya “Waarnemingen Betreffende het Gedrag van Cultuurgewassen op Veen (Mengenai Perilaku Tanaman Budaya di Gambut) menukilkan secuil catatan tanah Indragiri Hilir. Polak pernah datang ke Indragiri Hilir pada 1940 melihat langsung beberapa perkebunan kelapa yang berada di Sapat, Tembilahan, Enok dan Pengalian Estate Sungai Indragiri. Beliau menyatakan sebelumnya pada tahun 1922 Ahli Agronomi Pekelharing dan Mulder sudah melaporkan tentang keberadaan Sapat dan Tembilahan sebagai daerah budidaya Kelapa yang drainase lahannya dibangun parit-parit.

Tulisan Polak menyebutkan pula bahwa pada akhir abad 19 telah bermukim suku Banjar di Sapat yang menggarap ladang padi dan karet. Disamping itu melakukan budidaya Kelapa ditanah rawa bergambut namun tidak memuaskan pertumbuhannya. Pada tahun 1903 dilakukan pembangunan saluran air (drainase) atau parit menuju ke sungai. Upaya ini membuahkan hasil sehingga budidaya Kelapa berkembang. Sehingga kedatangan migran Suku Banjar dan Suku Bugis semakin ramai yang menempati tepian sungai dan menggarap lahan yang bertanah endapan (aluviall). Akibat keterbatasan lahan bertanah endapan maka para petani mencari lahan antara tanah endapan dan tanah gambut bahkan tanah gambut murni untuk ditanami pohon Kelapa.

Tanah endapan dan tanah gambut yang dimanfaatkan tersebut sangat memerlukan parit sebagai drainase. Maka dibangun parit induk di pesisir dan tepian sungai-sungai di Indragiri Hilir. Sehingga tidaklah keliru jika Indragiri Hilir dijuluki “Negeri Seribu Parit”. Dengan parit membuat Orang Indragiri Hilir mewujudkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera. ***

Baca : Protokol Kesehatan adalah Kebutuhan dan Kebiasaan

*Junaidy bin Ismail Abdullah, yang lahir di tepian Sungai Igal pernah tinggal ditepian Sungai Pelanduk, Gangsal, Reteh, Ibu Mandah, Sapat Dalam. Masa ini bermukim antara Parit 14 dan 15 Tembilahan ditepian Sungai Indragiri.

 

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *