“Tanamlah Aku Seperti …” HJ

Nasibmu Bahasa. (3)

“Tanamlah Aku Seperti …”

Sejauh ini entah kenapa inilah Selaksa Sastra yang paling sulit bagi saya untuk mulai menulisnya. Berjam-jam duduk di depan laptop tua, memelototi “kertas” putih kosong berlatar layar biru microsoft word, tak juga kalimat pertama berhasil dirangkai. Hari sebelumnya, sudah beberapa jam pula saya gunakan waktu untuk membaca salah satu buku HJ itu, untuk mendapatkan bahan dan sudut pandang. Memang, sudah terniat untuk menulis hal yang berkenaan dengan HJ, dan dari pembacaan itu sudah terbayang akan menilik beliau dari sudut cerita “Pengantin Boneka”, tetapi begitu terpancang di depan laptop, blank tak tahu apa yang hendak ditulis.

Ini barangkali karena saya sesungguhnya tak memiliki perhubungan yang dekat dengan beliau, baik secara fisik maupun sosial. Hanya secara minda saja. Seingat saya, barangkali hanya dua atau tiga kali yang pernah saya bertatap-muka langsung dengan beliau, dan di antara itu hanya satu kali yang sempat berbincang-bincang, itu pun tidak cukup intens.

Hasan Junus, atau biasa disingkat HJ, ada juga yang memanggilnya dengan sebutan “O[m]pung HJ, adalah seseorang yang luar biasa menurut saya sekurang-kurangnya penguasaannya dalam bidang kesastraan, dan mungkin juga lingustik serta sejarah (setidaknya yang berkaitan dengan Pulau Penyengat). Referensi beliau sangat luas, timur dan barat, yang dengan mudahnya beliau campur-aduk dan ramu bagai rempah-bumbu dalam tulisan-tulisan yang bernas dan padat. Di antaranya dapat kita telisik dalam kolom beliau yang bertahun-tahun hadir saban Ahad di Riau Pos, “Rampai”. Dalam minda saya, kapasitas beliau dalam kesastraan dapatlah disanding dan dibandingkan dengan HB Jassin serta beberapa nama setara lainnya. Dan sepengetahuan saya pula, di kalangan sastrawan dan jurnalis [Riau], beliau sempat diberi julukan sebagai “Pendeta Sastra”. Itulah cermin sekurang-kurangnya penghargaan para sastrawan dan jurnalis itu pada HJ. Sementara jantungmelayu.com menggelarkan beliau sebagai “Kiai Sastra Indonesia”.

Berjam-jam saya berkutat dengan judul “Pengantin Boneka” itu, tak juga saya menemukan jalan masuknya. Mana mata terasa berat, seperti ingin tidur saja. Ngantuk bagai tak dapat dilawan. Tiba-tiba saya teringat, belum lagi menunaikan Isya. Astaghfirullah. Segera saya beranjak mengambil wudhu, lalu shalat, masih dalam keadaan setengah mengantuk itu. Tetapi tiba-tiba di rakaat kedua kepala hotak saya membelalak, menggeliga, mendapat gagasan, mungkin pencerahan kalau mau digagah-gagahkan, mengubah pintu jalan masuk ke HJ, yang serasa lebih tepat [dan juga mungkin lebih mudah]. Ya, yaitu melalui pintu “Tanamlah Aku Seperti …”.

[Tetapi lalu kemudian ketika selesai shalat saat membaca istighfar, pula saya tersadar, ternyata shalatku tidaklah khusuk benar …. Astaghfirullahal’azim 3x].

Sebenarnya ada sisi-sisi fantastik yang dapat dikaji dan dibongkar dari “Pengantin Boneka”. Saya menangkap ada semacam aroma realisme-magis di dalam cerita itu. Jadi teringat Rumah Arwah dan Seratus Tahun Kesunyian yang sepertinya juga disukai HJ. Tetapi tiba-tiba minda saya macet di situ. Entah kenapa. Mungkin karena tak cukup ilmu.

Apa yang membuat saya yakin pada gagasan terkemudian itu, pada “Tanamlah Aku Seperti …” (Pelangi Pagi, Hasan Junus, Penerbit Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru: 1999, h: 36-48) adalah satu cerita (cerpen; saya tidak berani tegas menulisnya sebagai cerpen, karena HJ sendiri di dalam bukunya itu hanya menuliskan “dan sejumlah cerita lain”) yang saya anggap paling dekat dengan diri penulisnya. Ada narasi, dialog, dan alur yang saya yakini sangat dekat dengan kehidupan pribadi penulisnya, yaitu HJ. Cerita itu saya pikir adalah sebuah sketsa dalam kehidupan beliau juga. Sketsa yang ditulis dengan gaya realisme, dibingkai historiografi, dan dibumbui dengan sejumput kejenakaan khas Melayu berikut rempah satir.

“Tanamlah Aku Seperti …” menceriterakan seorang tokoh [yang selalu hanya disebut sebagai “ia”] yang – mungkin karena profesinya, atau setidaknya pada masa kisah itu diceritakan – sedang mengerjakan suatu kajian dan transliterasi dua buah naskah lama/kuno, dari tulisan jawi (arab-melayu) ke aksara latin. Kedua naskah itu berupa surat wasiat, yang masing-masing berasal dari dua saudara kandung abang-adik, Marhum Kantor dan Marhum Mursyid. Apa yang tergambar tentang apa yang sedang dikerjakan si tokoh di dalam cerita itu, juga sebenarnya adalah gambaran yang dekat dengan HJ sehari-hari; termasuk perilaku atau karakter atau kebiasaan.

Seperti kita tahu, HJ sudah mengeluarkan beberapa karya tulis berupa transliterasi, yang kemudian dibukukan, seperti Perhimpunan Plakat (1996; naskah selesai dikerjakan oleh HJ 1984) dan Gurindam Duabelas dan Sejumlah Sajak Lain (2000). Hal karakter pula, sepanjang yang saya ketahui seperti ketidaksukaan beliau pada keramaian atau acara-acara yang bermegah-megah, di dalam cerita itu terungkap dalam kalimat: “Istrinya pergi ke persiapan pesta pernikahan seorang keluarga-dekat. Pagi tadi ia digesa lagi agar pergi. Seperti biasa ia menolak. ‘Aku tahu pentingnya walimatul’urus tapi kau kan tahu aku tak pernah suka dengan pesta-pesta.”.

Marhum Kantor dan Marhum Mursyid adalah nama posthumous dari dua orang Raja Muda di Kerajaan Lingga-Riau [ketika itu Sultan bermukim di Pulau Lingga, sementara Raja Muda di Pulau Penyengat]. Marhum Kantor adalah Raja Ali ibni Raja Ja’far, Yang Dipertuan (Yamtuan) Muda VIII (masa pemerintahan: 1844-1857). Sedang Marhum Mursyid alias Engku Haji Muda adalah Raja Haji Abdullah ibni Raja Ja’far, Yang Dipertuan (Yamtuan) Muda IX (masa pemerintahan: 1857-1858). Keduanya adalah penganut dan memperkenalkan Tarikat Naqsyabandiyah di kawasan itu, sepulangnya dari berhaji. Mereka bersepupuan dengan Raja Ali Haji (Raja Ali al-Haj), yang kemudian dianugerahi sebagai pahlawan nasional pada tahun 2004. Hasan Junus adalah keturunan langsung dari Raja Ali Haji. Inilah benang historiografis antara penulis dengan karyanya itu, sehingga kenapa “Tanamlah Aku Seperti …” sekurang-kurangnya dapat diyakini sebagai sketsa kehidupan sang penulis.

Yang menjadi titik fokus cerita itu adalah tentang salah satu butir dari isi wasiat-wasiat itu, yang merentangkan benang merah pada Tarikat Naqsyabandiyah yang dianut keduanya. Yaitu keinginan pewasiat tentang bagaimana perlakuan saat kematian mereka, perlakuan pada jenazah mereka kelak. Permintaan ini diceriterakan timbul dari pengamatan keduanya pada upacara-upacara kematian umat Hindu di Calcutta, pawai kematian orang-orang Cina di Singapura, korps musik dan tembakan senapang pada orang Belanda, dan upacara kebesaran pengebumian raja-raja Melayu [termasuk pengebumian abangnya sendiri, Marhum Kampung Bulang, yang disemarakkan dengan barisan serdadu yang melepas salvo diikuti dengan alunan terompet lagu mars funebre, yang membuat orang-orang alim yang datang harus menutup telinga mereka dan baru hilang dengungnya lama kemudian setelah melakukan ibadat khusus sembahyang sunat tertentu]; disanding dan bandingkan dengan pemahaman dalam Tarikat Naqsyabandiyah itu. Sehingga di dalam wasiatnya, Marhum Kantor meminta “Apabila kami mati maka janganlah berbuat adat istiadat seperti raja-raja melainkan muat dan tanam kami seperti menanam satu fakir miskin.”.

Raja Ali, sesuai wasiatnya, memang menjadi raja muda pertama yang dimakamkan tidak dengan adat kebesaran seperti yang sudah-sudah. Raja Abdullah segera menggantikan beliau menjabat sebagai Yang Dipertuan Muda IX, tetapi beliau – sebagai orang yang konon “tak pernah batal air sembahyangnya” [tentu ini harus dipahami sebagai: selalu menjaga kesucian dirinya dengan segera berwudhu saat jatuh batal] – sebenarnya tidak pernah menghendaki jabatan itu dan tidak merasa nyaman dengannya. Katanya pada permulaan jabatan, “Saya ini apabila dalam setahun dalam pekerjaan raja, saya hendak berhenti ….”; dan itu memang terkabulkan. Beliau juga menuliskan dalam wasiatnya yang bertanggal 26 Zulhijjah 1274 H, pada pasal (butir) keempat berbunyi: “Jangan aku ditanam seperti raja-raja; tanamlah aku seperti menanam seorang fakir.”.

Sebagai kontras, diceriterakan juga masih di dalam “Tanamlah Aku Seperti …” itu, seseorang bernama Wak Jali, yang justru saat kematiannya nanti minta dikuburkan sebagai seorang raja. Kisah ini diceriterakan termaktub di dalam Catatan Sehari-hari Encik Abdul Karim. Wak Jali hanyalah seorang penduduk biasa, yang pekerjaannya sehari-hari sebagai penjaring [ikan] tamban. Suatu kali karena mengalami kecelakaan di laut, Wak Jali mengalami lumpuh dan buta. Tanpa penghasilan, dia pun menjadi seorang fakir, namun menjadi rajin melakukan berbagai ritual ibadah. Atas kuasa Tuhan, ia tiba-tiba sembuh dari penyakitnya itu. Tetapi bukan laku baik dan ibadah yang makin ditingkatkan, perangainya justru menjadi-jadi hendak merengkuh segala kenikmatan duniawi, tak sadar akan dirinya yang sudah berumur. Tak lama, ia pun tiba-tiba kembali buta dan lumpuh. Sejak itu ia menjerit terus siang dan malam selama berbulan-bulan, “Kalau aku mati tanamlah aku seperti menanam seorang raja Cina, berpawai dengan seribu peratap upahan, penabuh tambur, ….”.

Apa yang dapat dipetik dari kontras ceritera ini adalah, seseorang yang telah mencapai tingkat makrifat, dia akan melepas segala hal yang bersifat kemegahan duniawi; sementara seseorang yang masih sangat terikat pada dunia, dia akan berusaha meraih dan membangga-banggakan kemegahan duniawi, yang sebenarnya semu belaka.

Ada yang menarik dari bagaimana HJ mengakhiri ceritanya ini. Ada sejumput realisme-magis. Mengingatkan saya pada “Light is Like Water”-nya Gabriel García Márquez. Lihatlah perbandingannya. HJ menulis: “Seperti berfosfor satu per satu huruf-huruf Arab keluar dari layar komputer: ta alif nun mim lam ha, kemudian merangkai sendiri menjadi ta-alif-nun-mim-lam-ha, dan beterbangan bagai kunang-kunang memenuhi kamar. […], huruf-huruf itu membubung naik, keluar dari jendela terbuka menuju ke langit malam, […]”. Sedang Márquez pula menulis: “The children, […], closed the doors and windows and broke the shining light bulb from the lamp in the room. A stream of golden, fresh light, like water, began to flow from the broken light bulb. They let itu run until it was four palms high. Then they cut the current, pushed off in the boat, and sailed between the islands of the house as they pleased.” (dalam Light is Like Water and Other Tales, 2010: 38-42).

Selasa depan, 12 Januari, adalah tanggal milad HJ. Namun beliau tidak lagi dapat merayakannya bersama kita. Beliau telah berpulang ke hadirat Ilahi 30 Maret 2012. Meski beliau dimakamkan “hanya” sebagai orang biasa, tetapi bagi saya – dan kita semua – insyaallah, beliau telah pun telah dimakamkan sebagai salah seorang raja. Raja Dunia Sastra. ***

Payungsekaki, 050121-02:11.

Baca : Mendedah “Melayu”

 

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *