Semesta Sastra (3)

Nasibmu Bahasa. (3)

Semesta Sastra.

Sebuah karya sastra ternyata bukanlah sebuah yang dunia bebas, dan sastrawan sebagai penciptanya juga bukanlah dewa maha penguasa. Ia tidak akan mampu [lebih tepatnya tidak boleh] mereka (me+reka) sebuah karya sastra sesuka hatinya sendiri, menyusun alur/plot, menghidup-matikan tokoh, atau hal-hal lainnya tanpa memedulikan hukum-hukum, atau sistem semesta yang berlaku. Bahkan meski ia sedang membuat sebuah novel yang bermuatan fiksi ilmiah, atau bahkan petualangan fantasi sekalipun. Di dalam novel itu [atau bentuk karangan lainnya] pengarang memang mungkin saja bisa menghidup-matikan suatu karakter berulang-kali, atau maju-mundur dalam suatu ruang-waktu (time travel), atau cahaya lampu yang dapat berubah menjadi genangan air, atau Hang Tuah menggunakan AK-47 saat duel dengan Jebat; yang belum pernah kita temukan kejadikannya dan/atau tidak lazim terjadi di alam nyata [realitas]. Meski demikian sekurang-kurangnya ia tetaplah harus memenuhi hukum keterpaduan sebuah karya sastra. Dan di dalam hukum keterpaduan itu pastilah masih akan kita temukan hubungan atau titik-temu dengan hukum-hukum semesta yang berlaku [dan yang telah kita kenal]. Kalau tidak, kita tidak lagi akan mengenali karya itu, atau sekurang-kurangnya kita hanya akan melihat anarki dan anakronisme. Maka karya itu pun akan berhenti disebut sebagai sebuah sastra.

Memang, sebagai sebuah dunia rekaan hubungan sebuah karya sastra dengan kenyataan bersifat tidak langsung. Tetapi tidak juga dengan alasan demikian seorang pengarang dapat berbuat semena-mena, atau sesuka hati dengan karyanya. Pengarang tetap harus memperhatikan logika di dalam karyanya. Itulah yang biasa disebut sebagai logika internal. Dari sinilah sebenarnya kuasa seorang pengarang bermula. Logika di dalam karyanya itulah yang akan menjadi sistem semesta karya itu. Semesta itu bisa saja sama dengan realitas yang kita kenal, bisa juga berbeda sama sekali. Kalau Plato berpendapat seni (termasuk sastra) hanyalah bersifat mimetik atas realitas, maka sang murid, Aristoteles – seperti biasa selalu – berbeda pendapat dengan mengatakan para seniman itu bukannya meniru kenyataan sebagaimana adanya, namun justru menciptakan dunianya sendiri (kreasio).

[Belakangan, dua pendapat ini berkembang menjadi dua “cabang/aliran” besar dalam upaya memahami suatu karya seni, apakah ia bersifat peniruan atas kenyataan (mimetik) atau rekaan murni sama sekali (kreasio). Dalam hubungan dengan semiotik, pada akhirnya yang terjadi adalah interaksi timbal-balik antara mimetik dan kreasio].

Sistem semesta sebuah karya itu mencakup lima hal, yaitu: gagasan, bahasa, alur, struktur, dan kompleksitas. Semuanya harus berada dalam suatu sistem hukum/logika yang sama guna menghasilkan sebuah karya sastra yang bermutu. Satu saja berada di luar sistem itu, ia menjadi rumpang. Maka orang akan bertanya-tanya bagaimana mungkin sebuah karya yang bersifat realis, apalagi historis, atau bigrafis, ada watak yang sudah mati bisa hidup kembali. Tetapi itu tidak terjadi pada Cantik itu Luka ketika sistem semestanya mendukung untuk kalimat: “Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian.” (2004: 1).

Lalu, adakah di alam nyata [realitas; jangan dulu masuk perdebatan filosofis atau post-modernis] seseorang dapat tiba-tiba berubah menjadi seekor hewan? Jelas tidak. Perlu waktu jutaan tahun mungkin untuk sebuah proses de-evolusi itu [kalau mau merujuk teori evolusi Darwin]. Tetapi Kafka dalam kalimat awal cerpennya (ada yang menyebutnya cerita panjang, ada yang menggolongkannya novelet, ada juga novel; tapi belum sampai tahap roman) “Metamorfose”(Metamorfose dan Cerita Lainnya) menulis, “Ketika Gregor Samsa bangun suatu pagi dari mimpi-mimpi buruknya dia menemukan dirinya berubah di atas tempat tidurnya menjadi seekor kecoa yang menakutkan.” (2001: 137). Perubahan itu bukan bersifat metafor, bukan pula di alam mimpi, tetapi benar-benar terjadi secara fisik di alam realitanya [tetapi otak/pikiran dan ingatannya saja yang masih Gregor Samsa]. Semesta dalam karya-karya Kafka dijelaskan dalam Pengantar sebagai, “… alegori masyarakat tanpa sebuah cita-cita kecuali keniscayaan ‘nasib’ untuk meraih impian material. […] …, menciptakan sugesti – menulis dengan teka-teki, dengan keremangan – … menghadirkan keganjilan; dan dari sini orang akan berhadapan dengan sesuatu.”.

Bagaimana pula kalau Hang Tuah menggunakan AK-47 saat duel dengan Jebat? Dan jebat menggunakan pistol walther PPK? Yang terjadi adalah anakronisme, dan mungkin juga anarki. Hikayat Hang Tuah adalah sebuah paduan sastra-historiografi, dengan latar peristiwa mula masa awal Kerajaan Malaka, pada tarikh 1400 M. Sementara senjata api, jenis senapan dan pistol, baru mulai dikembangkan pada awal abad ke-19 [meskipun sejak abad ke-15 sejenis pistol sudah mulai coba diciptakan]. Sementara senapan kalashnikov AK-47 baru diciptakan tahun 1947. Walther PPK pula baru diproduksi sejak 1931. Jadi, ada kesenjangan latar waktu. Rumpangnya alur, struktur, dan kompleksitas. Tetapi, apakah dengan demikian kita tidak bisa, tidak boleh atau terlarang, membuat cerita yang demikian? Terlarang, tentu saja tidak. Saya ingat, gagasan persis semacam ini pernah disampaikan oleh Hasan Junus dalam salah satu “rampai”-nya [hanya saja saya lupa judulnya yang mana], dalam upaya merangsang dan menantang para sastrawan [Riau] untuk menghasilkan sebuah karya yang “spektakuler”, yang tidak biasa, mungkin juga bersifat eksperimental, dan seterusnya. Sayang nampaknya sampai setakat ini belum bersambut.

Yang “menjawab” tantangan ini, meski serupa-tapi-tak-sama, melalui tokoh/watak yang memiliki daya superhuman, adalah epik berusia ribuan tahun yang lalu seperti Mahabharata dan Ramayana, atau yang relatif baru Senopati Pamungkas Arswendo Atmowiloto, dan yang terbaru Nagabumi Seno Gumira Ajidarma. Budi Darma dengan Rafilus juga boleh dimasukkan.

Menyimpang dari realitas bukan hanya dapat kita temukan pada tokoh/watak, latar waktu atau tempat, alur/plot, dan lain-lain, tetapi juga dapat kita temukan pada suasana. Karya-karya Iwan Simatupang, Danarto, dan Budi Darma misalnya, dapat kita temukan suasana yang demikian, yang absurd. Sebagian besar, kalau bukan semua, aspek penceritaan mereka berkelindan dalam suasana yang akan sulit kita temukan di alam nyata, atau sekurang-kurangnya menurut akal-sehat logika kita. Berhasil membangun suasana yang absurd, yang sesuai dengan sistem semesta penceritaan, itulah [salah satu] kekuatan mereka.

Keadaan semacam ini juga dapat kita temukan pada karya-karya yang biasa digolongkan sebagai atau bergenre realisme-magis. Beberapa contoh seperti: Gabriel García Márquez dengan Cien Anos de Soledad (Seratus Tahun Kesunyian; peraih Nobel Sastra 1982), Isabel Allende dengan La Casa de los Espiritus (Rumah Arwah), Mario Vargas Llosa dengan El Hablador (Tukang Cerita), Ayu Utami dengan Simple Miracles, beberapa cerpen Danarto dan Budi Darma, serta Hasan Junus setidaknya dengan cerpen “Pengantin Boneka”; dan lain-lain. Dalam realisme-magis, pengarang menggubah kisah yang berlatar realitas berkait-kelindan dengan hal-hal yang bersifat supra-natural, ajaib, gaib, mistis. Seringkali berupa pertelingkahan antara elemen-elemen “dunia lama” (primitif, tradisional) yang irrasional dengan “dunia baru” (realitas terkini, modern) yang rasional.

Suasana itu dapat juga [terlebih-lebih lagi, dengan mudah] muncul atau dibangun dalam sastra “bergenre” dongeng (fabel, farabel, mite, hikayat, legenda). Beberapa contoh seperti: Seribu Satu Malam (dengan banyak judul dan sejarah panjangnya), Kalilah wa Dimnah (juga dengan banyak judul dan sejarah panjangnya), Faridu’Din Attar dengan Mantiqu’t-Thair (Musyawarah Burung), Salman Rushdie dengan Haroun and The Sea of Stories (Harun dan Lautan Dongeng), atau Abel Tasman dengan cerpen “Republik Jangkrik”. Tetapi, semua yang disebut itu bukanlah cerita dongeng sebagaimana yang dikenal pada umumnya, setidak-tidaknya tiga yang terakhir, melainkan benar-benar cerita yang [sudah] berkualitas sastra. Sedang Seribu Satu Malam dan Kalilah wa Dimnah, dengan sejarah panjangnya itu, mungkin sekali dulunya benar-benar berawal sebagai cerita (dongeng) yang dituturkan dari mulut ke mulut, dari masa ke masa, mengalami penambahan dan/atau pengurangan, lalu ada yang merekamnya ke dalam bentuk teks (tulisan), mengalami proses alih-bahasa, interpretasi ulang, dan seterusnya. Bentuk teks-teks termutakhir yang kita kenal sekarang kiranya sudah memenuhi [mengikuti] kaidah-kaidah/konvensi sastra yang kita kenal.

Menyimpang dari realitas bukan hanya dapat kita temukan pada isi atau bentuk saja, tetapi juga nama atau judul karya. Danarto, yang di antaranya dikenal sebagai sastrawan [paling[ eksperimentalis, pernah menulis cerpen dengan judul yang tak dapat ditulis seperti biasa [dengan aksara apa pun]. Judul cerpennya itu “hanya” berupa diagram notasi not balok dengan beberapa tulisan “ngung” dan “cak”. Itu dapat kita temukan dalam Adam Ma’rifat (1982: 37-61). Tidak hanya sampai di judul saja, bahkan isi karyanya itu pun tidak [belum; pada masa itu] lazim ditemukan. Apakah judul yang demikian menyalahi konvensi? Mungkin iya. Tetapi ternyata dari pembacaan atas semesta karyanya itu, judul yang demikian justru mendukung dan kian memperkuat maksud pengarangnya. Maka pada akhirnya [judul] cerpen itu pun terterima di masyarakat [atau sekurang-kurangnya di kalangan sastrawan].

(bersambung)

Baca : Semesta Sastra (2)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *