Puisi-puisi Karya TM Sum – Kuala Mandah dan Sang Petualang

KUALA MANDAH 1

kata emak
kuala mandah 1963
begitu riuh
tongkang-tongkang masuk
kapal-kapal masuk berlayar dan keluar
silih berganti
sampan-sampan menepi
menjajakan ikan, udang dan kerang
begitu meriahnya
begitu ramainya
orang laut datang menjual
orang darat datang membeli

kata emak
kuala mandah 1963
apabila malam menjelang di cakrawala
suasana berubah terang benderang
lalu sayup
terdengar dari kejauhan
dang gong dang gong  gong dang gong
dang gong dang gong dang gong dang gong
kuuuuuuuuuuuuriihhhhh heeewaahhhhh
gelek wak gelek
suara joget yang didatangkan dari seberang
joget pulau yang menawan
joget pulau yang melenakan
joget pulau yang menyayat hati
mereka bernyanyi berpantun riang sampai pagi

dari kuala itu
tidak ada lagi sepi
tidak ada lagi luka
semua larut dalam ria
rentak joget semakin membahana
rentak joget semakin membakar jiwa
pada puncaknya
orang-orang terkapar dalam kelelahan
esok hari bermula seperti kemarin
mereka kembali bekerja
seolah-olah tanpa peristiwa
dan kata emak
‘abang-abangmu waktu petang hari’
selalu bermain di pelantar rumah
bersama kawan-kawan
sungguh menyenangkan

“terngiang-ngiang di telinga emak, nak”
lu lu cine bute lu banyak taik mate
lu lu cine bute lu banyak taik mate

“atan jadi… atan jadi..”
“Iyelah saye jadi..”

setelah bermain
senja pun datang perlahan tapi pasti

“sudah  sudah, balek, balek hoi balek”
“esok boleh main lagi”
hari kan masih panjang

mereka pun bubarlah

pada malamnya
joget lagi berdentang berdentung
seperti itulah
setiap hari
sepanjang bulan
sepanjang tahun

tapi itu dulu
zaman bahari
sekarang jangan ditanya
ke mana perginya
ke mana rimbanya

sekarang kuala itu
telah berubah 180 derajat
segalanya telah dimakan masa
segalanya telah sirna
tak ada lagi suara dang gong
tak ada lagi suara biola
tak ada lagi suara gendang
tak ada lagi suara biduan
hanya dermaga yang rubuh
hanya pelantar yang runtuh
hanya tonggak yang lapuk

orang-orang pergi entah ke mana
orang-orang pergi enrah di mana
selaganya
lenyap
senyap
lalu seperti hari-hari kemarin juga
air pasang
air surut

pokok bakau yang tumbuh liar
pokok pedada yang dimakan kera
kunang-kunang yang berterbangan
tembakul yang melompat dari lubang ke lubang
air pasang
air surut

tanah kelahiranku telah raib
tanah kelahiranku telah musnah

sewaktu aku lewat di situ
air mataku bercucuran

kuala mandah yang malang
kuala mandah yang terbuang

Khairiah Mandah – Tembilahan, 1994

SANG PETUALANG

saudaraku
kaudengarlah
suara-suara burung
yang bernyanyi
pagi dan petang

kaudengarlah
suara-suara reranting patah
atau daun
yang gugur

dan
resapilah
sinar matahari
yang menerobos
atap rumbia
sang purnama
bercahaya
dengan kemegahannya

Ombak-ombak bergemuruh
sepanjang zaman
sepanjang peradaban
sepanjang pantai
menghentam karang
menghentam jiwa-jiwa

petualang
dari waktu ke waktu

Saudaraku
pergilah kalian
mengembara
jauh-jauh
pergilah kalian
bertualang
ke laut-laut
ke sungai-sungai
ke gunung-gunung
ke danau-danau
ke rimba-rimba
belantara yang gelap
kehidupan

gapailah langit cita-cita
gapailah awan cita-cita
terjang ilang penghalang
kapak batu-batu perjalanan
dari tebing-tebing cobaan
terbang
tinggi
ke cakrawala

Pekanbaru, 2005/2019

TM Sum (Tengku Muhammad Sum) lahir di Kuala Mandah, Indragiri, 25 November 1963. Puisinya terhimpun dalam 34 antologi puisi terbitan bersama dan tiga buku tunggal. Dosen di sebuah perguruan tinggi swasta ini sekarang bermastautin di Pekanbaru.

Baca : Puisi-puisi Karya Amirullah Syahruddin

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *