Sponsor Panggung Puisi di Balik Layar

Jumadi safar
Jumadi Safar

Mengenang Setahun Kepergian Abah Jumadi
Oleh Mosthamir Thalib

Kenal abah di Tanah Merah.
Perjalajanan arungi Sungai Mekong,
itulah yang bersejarah.

ABAH JUMADI SAFAR. Aku kenal ketika langkahnya menapak sudah goyang-goyang. Bergerak dari satu tempat ke tempat lain bagaikan mau tumbang. Bangkit dari kursi harus berpegang. Ini dimaklumi karena sudah abah lanjut usia. Meragam pula beberapa penyakit di tubuhnya. Salah satunya sakit gula (diabetes meletus), yang di antaranya sudah menggerogoti kakinya. Jempol kakinya kemudian dipotong. Inilah yang membuat tegak berdiri melangkah abah agak melayang-layang.

Namun Alhamdulillah. Sampai menjelang ajal menjemputnya daya ingat abah masih cemerlang. Matanya juga masih terang.

Awal tahun baru, 1 Januari 2020, aku bersama anakku Fathrizk Atan, menemui abah dan Bunda Anie Din di Lorong 8 Toa Payoh, Singapura. Walau agak terlambat menemui abah dan bunda – yang keduanya dilanda sakit yang cukup berat – karena kendala pasport dan pekerjaan lain di Riau, tetapi alhamdulillah, aku masih sempat dijumpakan dengan abah yang sudah duduk baring di tempat tidur. Duduk didudukkan. Baring masih bisa pelan-pelan merebahkan badan sendiri. Abah bercakap tetap normal. Biasa saja. Walaupun dia banyak diam. Sebab abah memang orang yang pendiam.

Tanggal 2 Januari 2020 aku dan Atan pulang ke Pekanbaru lalu Batam. Itulah pertemuan terakhir aku dengan abah. Aku salam dia dan aku peluk tubuh renta termakan usia itu.

Dua hari kemudian aku baca di medsos Bunda minta saudara atau sohib membujuk abah agar mau dibawa ke rumah sakit. Tampaknya ada gangguan serius lagi. Tetapi abah masih masih “mendegil”. Belum mau ke dokter lagi.

Akhirnya abah tetap juga dibawa ke rumah sakit pada 7 Januari. Dirawat dalam pengawasan dokter. Rasanya tetap aman-aman saja. Malah subuh tanggal 19 Januari Bunda masih sempat menulis kepadaku. Namun siang harinya aku yang kesiangan, telat buka medsos mendapat kabar duku: abah meninggal dunia.

Innalillahi wa inna ilaihirojiun.

***

Abah memang bukan kreator. Tetapi tampaknya dialah inspirator dan sponsor sejati di balik gerak tangkas dan aktiviti bunda Anie Din di dalam berkarya sebagai novelis dan penyair di dunia Melayu.

Banyak orang berkarya, membuat amal dan memberi faedah pada orang lain, ingin dikenal luas karena karya dikerjakan memang untuk diekspos agar orang tahu siapa yang punya ide, penggagas atau juga pengarangnya agar kelak bila dijadikan bahan karya ilmiah bisa dirujuk atau ada referensinya. Tetapi itu tidak dengan Abah Jumadi. Dia lebih suka beramal dalam diam. Pendorong semangat dan produser di belakang Bunda Anie Din.

Abah senantiasa hadir setiap acara yang diselenggarakan Bunda Anie di berbagai tempat di Singapura. Malah abah juga berkampung dalam kegiatan sastera serumpun di Tanah Merah Changi Singapura. Begitu pula dengan kegiatan sastera di luar Singapura, kadang-kadang abah mendampingi Bunda Anie, baik di Malaysia, Indonesia atau di tempat lainnya di kawasan rantau nusantara rumpun Melayu ini.

Dalam kegiatan menyukai sastra ini, abah pun sempat ikut menjelajah Bumi Melayu Champa di Vietnam sekarang. Ingin menyaksikan salah satu jejak Kemaharajaan Melayu masa lalu yang pernah jaya di nusantara.

Ini terjadi tahun 2017. Sekelompok penyair dari Indonesia dan Singapura, Bundo Free, Husnu Abadi, Fakhrunnas MA Jabbar, Tien Marni, Mosthamir Thalib, Saidul Tombang bersama Bunda Anie Din dan Abah Jumadi bertolak masing-masing menuju airport KLA2 Selangor, Malaysia. Dari KLA2 inilah terbang menuju Tan Sot Nhat International Airport di Ho Chi Minh City, Vietnam.

Dalam perjalanan panjang ini abah nyaris sudah tidak menapak atau melangkah lagi. Kalau berjalan pun dia menapak selangkah demi selangkah. Semua langkahnya didorong di atas kursi roda. Namun abah tidak pernah mengeluh sedikit pun atau mengaduh sakit. Dia tetap tersenyum atau ketawa kecil bila menyaksikan anggota musafir kelana ini bertingkah. Padahal perjalanan bukan ringan untuk orang sudah berusia atau orang muda yang suka berkeluh kesah. Bergerak siang dan malam. Membawa beban perbekalan pula. Termasuk tumpukan buku.

Ini bagian perjalanan pengembaraan musafir sastera. Dari tengah negeri Vietnam bergerak menuju ke ujung Vietnam bagian Selatan. Dari jalan tol yang mulus sepanjang sisi Samudra Asia Fasifik sampai masuk gang-gang yang sempit jepit menjepit. Dari bukit yang berpura tempat ibadah penganut Budha sampai merayap-rayap di rawa-rawa di perkampungan Melayu Champa.

Dalam perjalanan ini, kami naik beberapa model angkutan penumpang. Mulai mobil van atau bus mini, naik bus besar “berbilik tingkat” (macam bilik kapal Gelatik kalau di Riau), naik beca kayuh bonceng membelakang (bertolak punggung) – nyaris pula macam menungging – sampai naik pompong melalui keramba-keramba nelayan di Sungai Mekong. Lalu sempat pula dicegat polisi Vietnam di subuh buta setelah singgah ke kedai tepi jalan, karena rombongan tak kuat menagan nafsu mengidam kopi Vietnam yang terkenal itu.

Abah menyaksikan semua ini. Dia cuma tersenyum. Kekadang macam tampak trtawa geli. Tetapi dia tetap “tidak ambil” bunyi.

Dalam perjalanan jauh dari Vietnam bagian tengah (Ho Chi Minh) menuju Chau Doc di perbatasan dengan Kamboja naik bus besar “berbilik gelatik” yang ada kasur spesial ini lumayan nyaman juga. Seluruh badan bisa diletakkan penuh ke tempat tidur walaupun sempit dibanding naik bus yang badan di tempat duduk sementara kaki menjuntai. Yang agak terasa aneh itu naik beca bila kebagian tempat duduk di boncengan. Rasanya saling membalakang atau saling memunggung dengan pengemudinya macam akan tertungging, tertumus ke belakang beca.

Alhamdulillah. Nik Mansour Nik Halim, saatrawan budayawan yang asli Melayu Champa ini memandu memberikan pengalaman yang tidak biasa bagi para musafir sastera ini. Selain dibawa dan menginap di perkampungan, menyaksikan kehidupan Melayu Champa sampai meninjau sekolah Islam, sisa masjid lama dan tempat-tempat bersejarah, lokasi-lokasi lama Melayu Champa yang sudah tertimbun dimakan masa.

***

Komuniti sastrawan Tanah Merah memang luar. Di komuniti tempat berhimpun penyair dari berbagai suku dari negeri-negeri seluruh rumpun Melayu ini terbangun rasa persaudaraan yang sangat tinggi. Padahal orang yang berhimpun di komuniti ini datang dari berbagai kalangan, suku bangsa dan agama. Dari Papua, Cina sampai Sulu. Dari Islam, Budha sampai Hindu.

Di komuniti Tanah Merah ini karya itu sebagai penyambung rasa. Yang lebih utama itu semuanya rasa bersaudara. Tiada orang engkek di sini. Merasa dirinya atau karyanya lebih hebat dibanding yang lain. Semuanya sama.

Inilah semangat yang dibangun Bunda Anie Din dengan Abah Jumadi Safar di belakangnya. Menghimpun para sasterawan serumpun di negeri berbilang kaum. Sejak tahun 2016. Setiap tahun. Kecuali tahun 2019, tahun sakit dan terkapar bagi Bunda Anie Din karena tetiba dapat serangan jantung ketika berada di Kuala Lumpur, Malaysia. Tahun 2019 masuk ke tahun 2020, tahun yang juga menyelesaikan langkah panjang abah di dunia yang fana ini.

Semoga apa yang telah dilakukan Abah Jumadi Safar, mereka rasa silaturahim, rasa kebersamaan, rasa persaudaraan bagi seniman Melayu Serumpun, menjadi amal ibadah bagi beliau.

Yaa ayyatuhan-nafsul-mutma’innah,
irji’ii ilaa rabbiki raadiyatam mardiyah.
Fadkhulii fii ‘ibaadii,
wadkhulii jannatii.

Hai jiwa yang tenang
Kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya.
Maka masuklah ke dalam jemaah
hamba-hambaku,
dan masuklah ke dalam surga-Ku.
(Aamiin..!)

Pekanbaru, 2020-2021

 

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *