Opini  

M a n d a h

mandah junaidy
Foto 1. Cap stempel Amir Mandah Kesultanan Riau Lingga dan 2. Cap stempel Kesultanan Riau Lingga pada surat tanah di Mandah

Daerah Batin Enam Suku Wilayah Kesultanan Riau Lingga
(Bagian Kedua)

PERISTIWA perselisihan Kerajaan Indragiri dengan adik beradik Raja Bayang terjadi pada pertengahan abad 18 diperkirakan berakhir pada tahun 1754. Pada masa itu Kesultanan Indragiri dibawah Raja Hasan bergelar Sultan Salehuddin Keramatsyah (1735-1765) sedangkan Kesultanan Riau Lingga masa Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1722-1760) dan Daeng Kemboja selaku Yang Dipertuan Muda Riau III (1745-1777). Sedangkan Engku Kelana Pangeran Sutawijaya yang membantu Kerajaan Indragiri saat diserang anak raja Minangkabau yaitu Raja Haji Fisabilillah sebelum diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda Riau IV (1777-1784).

Dengan menjadi bagian Kesultanan Riau Lingga maka daerah Mandah atau daerah Batin Enam Suku dipimpin oleh Wakil Mutlak Sultan Riau Lingga atau Wakilschap yang berkedudukan di Khairiah Mandah. Wakil Mutlak Sultan menjalankan administrasi pemerintahan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan Sultan Riau Lingga dan Yang Dipertuan Muda Riau. Wakil Mutlak Sultan yang ditunjuk memiliki hubungan kekerabatan atau pertalian darah yang sangat erat dengan kalangan petinggi Kesultanan Riau Lingga di Daik Lingga ataupun Yang Dipertuan Muda Riau di Pulau Penyengat.

Salah satu Wakil Mutlak Sultan yang pernah bertugas di Mandah yaitu Tengku Syarif Mahmod bin Syed Husin (Tengku Irang) bin Syed Muhd Zain Al-Qudsi bin Syed Husin bin Syed Syekh Al Yahya. Dilihat dari silsilah keturunannya, Tengku Syarif Mahmod adalah buyut dari Tengku Hitam binti Daeng Celak Yang Dipertuan Muda Riau II (1728-1745) yang merupakan istri dari Syed Syek Al-Yahya. Tengku Hitam adalah anak dari Daeng Celak bin Daeng Rilaga hasil dari perkawinan dengan Tengku Mandak anak dari Sultan Abdul Jalil Riayat Syah yang merupakan Sultan Riau Lingga I (1699-1718). Hingga akhir hayatnya Tengku Syarif Mahmod atau Syed Mahmod bin Syed Husin (Tengku Irang) tetap tinggal di Khairiah Mandah dan dimakamkan disini.

Merujuk dari tulisan Aswandi Syahri Furu’ al-Makmur : Undang-Undang Qanun Kerajaan Lingga-Riau (1895) bahwa “Pada tahun 1895, struktur dan sistem pemerintahan Kerajaan Lingga-Riau dibawah Sultan Yamtuan Besar Sultan Abdurahman Mu’azamsyah di Daik Lingga yang dijalankan dan dikendalikan oleh Yamtuan Muda Riau X, Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi, di Pulau Penyengat memasuki sebuah babak baru. Ditandai dengan restrukturisasi besar-besaran terhadap pejabat wakil-wakil kerajaan yang menjadi perpanjangan tangan Sultan dan Yamtuan Muda di seluruh wilayah kerajaan Riau-Lingga dan daerah takluknya”. Maka di Mandah juga ditunjuk seorang Amir atau Amer yang berkedudukan di Khairiah Mandah. Adapun kerabat Sultan Riau Lingga dan Yang Dipertuan Muda Riau yang pernah menjadi Amir di Mandah antara lain Syed Abdul Kadir bin Syed Sheikh al-Qudsi, Tengku Husin bin Tengku Embong Usman dan Tengku Abubakar bin Tengku Husin.

Sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Riau Lingga, banyak penduduk negeri Mandah memiliki hubungan kekerabatan atau pertalian darah yang sangat erat dengan penduduk dari Lingga, Dabo, Pulau Penyengat, Karimun bahkan Johor dan Singapura. Begitu pula dari dialek bahasa Melayu yang diucapkan sehari-hari sama dengan dialek bahasa Melayu Kerajaaan Riau Lingga. Begitu pula adat istiadat yang dipegang di dalam hubungan sosial di daerah ini banyak memiliki persamaan dengan daerah Kepulauan Riau. Hal ini terjadi karena adanya ikatan perkawinan dan juga perpindahan penduduk (migrasi) dari daerah Kepulauan Riau ke daerah Mandah.

Adapun daerah yang disebut Batin Enam Suku jika merujuk dari Encyclopedie van Nederlandsch Indie Tweede Druk 1918 terdiri atas Mandah (Khairiah), Igal, Pelanduk, Bantaian, Belaras dan Kateman. Sedangkan menurut J.G. Schot dalam tulisannya Het Stroomgebied der Kateman Bijdrage Tot de Kennis van Oost-Sumatra di dalam buku Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde Deel XXIX terbit di Batavia tahun 1884 bahwa penduduk di Kateman serta di Mandah, Igal, Gaung dan Anak Serka tergolong dalam Suku Nam (Enam), yang namanya diambil dari fakta bahwa daerah dari Tanjung Ungka hingga Gaung di Amphitrite Baai (nama kawasan teluk antara Tanjung Datuk dan Tanjung Bakung), tempat suku ini menetap, memiliki enam sungai utama yaitu Sungai Gaung, Sungai Batang Toewa (Batang Tuaka atau Batang Tumu?), Sungai Igal, Sungai Mandah, Sungai Kateman dan Sungai Danai.

Berkaitan dengan wilayah administrasi pemerintahan Batin Enam Suku yang menempatkan Wakil Multak Sultan Riau Lingga di Khairiah Mandah tidak mencakup wilayah Kateman dan Danai, hanya lingkup wilayah Mandah (Khairiah), Igal, Pelanduk, Bantaian dan Belaras. Untuk wilayah Kateman dan Danai menjadi bagian tersendiri yang dipimpin Wakil Mutlak Sultan yang ditunjuk oleh Sultan Riau Lingga dan Yang Dipertuan Muda Riau. Inilah sekelumit kisah sejarah negeri Mandah dengan ibukotanya Khairiah Mandah sebagai pusat pemerintahan wilayah Batin Enam Suku bagian dari Kesultanan Riau Lingga dimasa lalu. Negeri ini juga dikenal sebagai bentang alam areal perkebunan rumbia dan penghasil sagu tersohor di pesisir Timur Pulau Sumatra. #cheiriahindah:

Baca : M a n d a h

Junaidy bin Ismail Abdullah, yang lahir di tepian Sungai Igal pernah tinggal di tepian Sungai Pelanduk, Gangsal, Reteh, Ibu Mandah, Sapat Dalam. Masa ini bermukim antara Parit 14 dan Parit 15 Tembilahan di tepian Sungai Indragiri.

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *