Opini  

Provinsi Riau Menuju Daerah Istimewa

Riau Istimewa
Spanduk dukungan pembentukan Daerah Istimewa Riau.

Oleh sulong a’dzam shuhuf

PENGANTAR REDAKSI : Pada penghujung Januari dan awal Februari kiranya ada peristiwa penting yang pernah berlangsung di Riau. Pada tanggal 31 Januari s/d 2 Februari 1956 Rakyat Riau menyelenggarakan kongres, yang kemudian dikenal sebagai Kongres Rakyat Riau I (Kesatu/Pertama). Berkat KRR I ini kemudian terbentuklah Provinsi Riau. Kemudian pada tanggal 29 Januari – 01 Februari 2000, telah diselenggarakan pula Kongres Rakyat Riau II (KRR II) yang secara mengejutkan memenangkan opsi “Riau Merdeka” bagi Provinsi Riau. Melihat ke belakang, Riau sepertinya nyaris “melupakan” dua peristiwa penting dalam konteks perjuangan Rakyat Riau ini. Rasanya tidak pernah ada upacara, tidak ada peringatan, haul, atau semacamnya. Redaksi berpendapat sesungguhnya dua peristiwa itu berhak mendapatkan penghormatan yang layak dari kita semua. Opini berikut ini, “Provinsi Riau menuju Daerah Istimewa”, adalah salah satu persembahan Laman Riau bagi upaya mengenang dan penghormatan itu, juga dalam upaya memandang Riau di masa depan. Selamat membaca.

I. PENDAHULUAN

Beberapa hari belakangan ini media-media di Riau mengangkat berita yang cukup mengejutkan, dan mungkin sekaligus dapat memberikan harapan, yaitu adanya kunjungan Badan Keahlian DPR RI ke Riau, yang dipimpin oleh Ricko Wahyudi, SH, MH, yang di dalam struktur organisasi Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian (PUU BK) DPR RI berkedudukan sebagai Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Tercatat setidaknya ada dua kunjungan yang mereka lakukan, yaitu ke DPRD Riau tanggal 24-27 November 2020, dan ke LAMR tanggal 26 November 2020. Tujuan kunjungan itu disebutkan untuk mengumpulkan masukan dan pandangan masyarakat dan juga akademisi dalam rangka penyusunan konsep awal Naskah Akademik dan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Provinsi Riau.

Kalau kita lihat di situs DPR RI, hal adanya rencana penyusunan RUU Provinsi Riau itu memang belum tercantum di antara 248 RUU yang telah ada di dalam Daftar Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2020-2024, apalagi di dalam Prolegnas Prioritas 2021. Ia baru tercantum di dalam daftar [rencana penyusunan] Naskah Akademik (NA) di Pusat PUU BK DPR RI [akan tetapi ketiadaan di dalam Prolegnas ini bukan berarti RUU Provinsi Riau ini tidak akan dibahas hingga 2024, daftar Prolegnas itu masih sangat dinamis sehingga apabila NA dan RUU itu dapat diselesaikan lebih cepat dan ada kemauan politik dari Pemerintah beserta DPR RI & DPD RI, bisa saja ia dibahas dan disahkan sebelum 2024 itu. Karena itu Riau harus mampu meraih peluang itu sesegera mungkin demi kemaslahatan dan kesejahteraan Rakyat Riau].

Di dalam Daftar NA di Pusat PUU BK DPR RI itu dijelaskan bahwa alasan utama adanya rencana RUU Provinsi Riau ini adalah dikarenakan UU Nomor 61 Tahun 1958 tentang Penetapan “Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau” (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 75) sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Th. 1958/112, dan Tambahan Lembaran Negara No. 1646) itu masih berdasarkan pada UUDS 1950, padahal konstitusi itu sudah tidak berlaku lagi sejak Dekrit 5 Juli 1959 (demikian juga yang terjadi dengan Provinsi Sumatera Barat, Jambi, dan tentu juga Kepulauan Riau sebagai dampak dari hal itu). Di samping itu juga dikarenakan sistem otonomi daerah yang berlaku pada saat UU Nomor 61 Tahun 1958 itu dibentuk masih berdasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang sudah tidak relevan lagi.

Selain itu juga disebutkan alasan hal materi muatan yang terdapat di dalam UU itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan terkini, soal nomenklatur, pola relasi dan pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta perubahan batas wilayah (sehubungan dengan pemekaran menjadi Provinsi Kepulauan Riau). Juga disebutkan hal potensi sumber daya alam, khususnya pertambangan dan perkebunan, hal dana perimbangan, aspek kebudayaan dalam upaya memajukan kebudayaan Melayu, dan seterusnya.

Adanya rencana ini kiranya dapat menjadi momentum dan kesempatan bagi rakyat Provinsi Riau untuk memperjuangkan segala sesuatu yang berkaitan dengan status dan masa depan Provinsi Riau, secara konstitusional. Kami rasa ini adalah sebuah peluang yang sangat baik, yang tidak boleh disia-siakan. Apalagi inisiatifnya datang dari Pusat sendiri, dan – bila dilihat dari mukadimah/penjelasan rancangan Naskah Akademiknya itu – nampaknya cukup besar perhatiannya pada persoalan-persoalan daerah sekaligus bermaksud mengangkat nilai-nilai dan kearifan lokal.

Seperti kita semua maklumi, di satu sisi Riau sudah begitu banyak berkontribusi bagi NKRI. Bukan semata berasal dari sumbangsih pembangunan ekonomi semata (kekayaan alam dan hasil bumi) seperti yang sering diangkat selama ini, namun juga yang tak kalah berharganya adalah sumbangsih perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, sumbangsih proses integrasi/penyatuan negara, serta sumbangsih kebudayaan. Termasuk Bahasa Melayu Riau, yang lama menjadi lingua franca di kawasan Nusantara, yang kemudian dikembangkan dan diresmikan sebagai Bahasa Indonesia, yang menjadi salah satu elemen utama perekat bangsa. Mengenai sumbangsih Riau bagi Republik ini telah banyak sekali dibahas dan ditulis pakar dan peminat, dengan sudut pandang dan pisau analisisnya masing-masing, terlebih-lebih dalam hal/aspek ekonomi. Dengan seluruh sumbangsih itu membuat Provinsi Riau sekurang-kurangnya adalah sebanding dengan daerah/provinsi lain yang telah mendapatkan status tertentu; kalau bukan malah melampaui.

Di lain pihak pula kita melihat pada kenyataannya Riau selalu menjerit dengan segala keadaannya, dalam segala keterbatasan dan kekurangannya, sebagaimana dikumandangkan selama puluhan tahun ini, baik dalam pernyataan para tokoh dan masyarakat sendiri, dalam tulisan opini kolom maupun kajian akademik, bahkan beberapa dari kalangan pejabat publik sendiri [sembari membentangkan statistik angka kemiskinan, atau realisasi DBH misalnya], pejabat publik Daerah maupun Pusat, serta tak kurang-kurang pula suara dari masyarakat NGO serta kaum seniman dan sastrawan. Inilah mungkin saatnya kita bertanya lebih lantang: RIAU, QUO VADIS?

Ya, Riau mau ke mana lagi? Layakkah kita menyia-nyiakan momentum ini? atau suatu saat orang Riau hanya akan dicatat sebagai orang yang suka membiarkan momentum dan kesempatan berlalu begitu saja, karena sudah berpuas diri dengan sekadar menimang-nimang dan menyanyikan kegemilangan masa lalu? Jangan sampai itu terjadi! Karena itu kami berpendapat perlu segera diperjuangkan, secara konstitusional itu melalui terbentuknya UU yang layak bagi Provinsi Riau terkini, yang representatif untuk menjawab tantangan dan cabaran masa depan. Yaitu melalui perolehan status khusus tertentu sesuai konstitusi: apakah status otonomi khusus, atau daerah istimewa.

Namun dengan segala pertimbangan – baik secara historiografis, filosofis, sosio-kultural, maupun pragmatis – kami berpendapat bahwa status sebagai DAERAH ISTIMEWA bagi Provinsi Riau adalah yang paling tepat, logis, dan elegan, sekaligus akan mampu mengangkat sejarah panjang sebagai Negeri Melayu yang berdaulat; demi meraih kemajuan dan kesejahteraan yang substantif, bermarwah, bermartabat, yang berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal bagi seluruh rakyat Riau.

II. SUMBANGSIH RIAU

Sejak Proklamasi dikumandangkan sesungguhnya sudah begitu banyak sumbangsih dan kontribusi Riau bagi NKRI. Dalam berbagai kesempatan memang rerata sumbangsih dalam aspek ekonomilah yang sering dikedepankan, dan itu memang kenyataannya tak terbantahkan. Kekayaan SDA (sumber daya alam) dan hasil bumi. Laman resmi indonesia.go.id menyatakan bahwa “Riau adalah salah satu provinsi kaya di Nusantara. Hampir semua kekayaan alam dimiliki provinsi ini.” kalimat-kalimat senada dengan berbagai sudut pandang dan analisisnya juga dengan mudah akan kita temui di banyak sumber resmi lain, mulai dari buku pelajaran sekolah, makalah dan kertas kerja, sampai laporan Bappenas. Yang jadi primadona biasanya migas (minyak bumi dan gas), hasil hutan terutama kayu-kayuan dan hasil turunannya terutama pulp (bubur kertas; terbesar se-Asia), dan belakangan hasil perkebunan terutama kelapa sawit. Dalam bidang migas, nama yang mengemuka tentu adalah perusahaan negara Pertamina, dan Chevron sebagai kontraktor.

Chevron (lama berselang adalah Caltex) telah beroperasi di Indonesia (Riau) selama lebih dari 90 tahun, dengan lebih dari 12 miliar barel minyak mentah yang telah berhasil dieksploitasi. Minyak Minas dan Duri sendiri adalah [salah satu] minyak terbaik di dunia. Pada dekade 80-an hingga 90-an Riau pernah menyumbang pendapatan APBN hampir separuhnya (ketika itu pendapatan yang berasal dari pajak masih kecil), di mana mayoritasnya berasal dari migas. Masa-masa itu capaian produksi minyak mentah Riau bahkan hampir menyamai produksi Nasional hari ini!

Dari aspek ekonomi saja, sumbangsih Riau bagi pendapatan Nasional dalam satu dekade terakhir rerata lebih dari Rp 200 triliun per tahun. Itu berarti rerata sekitar ~12 % APBN (bandingkan dengan 37 provinsi yang ada). Lagi, apabila dibandingkan pendapatan migas Riau saja dengan PNBP malah menjadi ~40 %!). Namun, berapa yang “dikembalikan” ke Riau? Rerata kurang dari 10 %! Betapa mirisnya. [Angka-angka di atas tentu akan diperhalus/dilengkapi, secara akademik, pada saatnya nanti]. Bandingkan dengan beberapa provinsi lain yang “semodel” dengan Riau, seperti Aceh dan Papua (+ Papua Barat).

Tabiat orang Melayu sebetulnya tidak suka menonjol-nonjolkan diri. Tentu bila itu bermaksud menyombong-nyombongkan diri, riya, sekadar untuk berbangga-bangga. Tenas Effendy Allahyarham mencatat dalam Tunjuk Ajar Melayu (TAM) ada banyak sekali ujaran-ujaran, pepatah-petitih, bidal, pantun, syair ikhwal budi pekerti Orang Melayu selama berabad-abad. Dalam hal ini contohnya,

Apa tanda Melayu berbudi,
tulus ikhlas laku pekerti
berkorban tidak mengharap budi. (TAM: 139)

apa tanda Melayu terbilang,
budinya halus tidak temberang.
apa tanda Melayu berilmu,
membesar[+besar]kan diri ianya malu. (TAM: 313)

Tetapi, Ayahanda Tenas juga mencatat,

apa tanda Melayu beradat,
memelihara hak milik tiada sesat
memelihara pusaka ianya taat
memelihara amanah ianya kuat. (TAM: 245)

Maka menjadi kewajiban kita juga di sini, terutama bagi para pejabat dan tokoh-tokoh Riau, untuk memelihara hak milik, pusaka, dan amanah masyarakat dan negerinya. Itu patut dan harus diperjuangkan. Dan tulisan ini bukanlah dengan maksud menonjol-nonjolkan diri dengan maksud sombong, riya, dan bangga seperti itu. Ini sekadar dalam konteks “mengingatkan kembali yang ter(di)lupakan”.

Kami menyebutnya sebagai “aspek-aspek istimewa” dari Provinsi Riau, yang secara garis besar diuraikan sebagai berikut :

1. Pernyataan bergabungnya Kesultanan (Kerajaan) Siak Sri Indrapura ke dalam negara Republik Indonesia yang baru merdeka oleh Sultan Syarif Kasim II kepada Presiden Soekarno di Jakarta pada tanggal 28 November 1945 melalui kawat (telegram). Selanjutnya tahun 1946 beliau ke Medan menemui Gubernur Sumatera waktu itu, Mr. Teuku Muhammad Hasan untuk mendudukkan status Kerajaan Siak Sri Indrapura (Sejarah Perjuangan Riau [SPR]: 304-305). [Namun lain versi menyebutkan kalau Sultan tahun 1945 itu juga telah bertemu langsung dengan Soekarno di Jakarta untuk menyatakan bergabungnya Kerajaan Siak, yang di antaranya disaksikan oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan. Dengan mengenakan pakaian kebesarannya, Sultan menyerahkan mahkota sebagai simbol berintegrasinya Kerajaan Siak ke dalam Republik Indonesia. Referensinya di antaranya dapat juga dilihat dalam buku HAMKA berjudul Perbendaharaan Lama].

Luar biasanya lagi, Sultan Siak bukan hanya sekadar mengintegrasikan Kesultanan Siak yang saat Proklamasi 1945 dikumandangkan masih merupakan sebuah negara yang merdeka (dengan 10 provinsi + 2 wilayah taklukan; lebih luas daripada Provinsi Riau saat ini) ke Republik yang masih bayi itu, namun juga menyerahkan seluruh kekayaannya berikut uang sejumlah 13 juta gulden beserta emas perhiasan intan berlian, istana dan seluruh propertinya, dan bahkan ikut turun berjuang di masa Revolusi Kemerdekaan.

2. Pernyataan bergabungnya Kesultanan Pelalawan yang saat Proklamasi 1945 dikumandangkan masih merupakan sebuah negara yang merdeka ke dalam negara Republik Indonesia oleh Sultan Syarif Harun (Tengku Said Harun; dalam SPR) bersama Orang-orang Besar Pelalawan, serta pemuda dan masyarakat, melalui sebuah rapat pada tanggal 30 Agustus 1945. Hasil rapat tersebut memutuskan: “Menyambut dengan sepenuhnya kemerdekaan Republik Indonesia dan bertekad bulat sehidup semati dengan Republik Indonesia yang telah diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan rapat dengan tekad penuh mengajak seluruh rakyat Pelalawan untuk ikut mempertahankan kemerdekaan itu.” (SPR: 316)

3. Pernyataan bergabungnya Kesultanan Inderagiri yang juga saat Proklamasi 1945 dikumandangkan masih merupakan sebuah negara yang merdeka ke dalam negara Republik Indonesia oleh Sultan Mahmudsyah pada tahun 1945 itu juga, dan mendukung serta menggerakkan kaum muda untuk bergabungnya Kesultanan Inderagiri ke dalam Republik. [Perlu diteliti lebih lanjut, karena menurut SPR: 217, pada 1912 Kerajaan Inderagiri telah jatuh sepenuhnya ke dalam kekuasaan Gubernemen/Belanda setelah ditandatanganinya kontrak korte verklaring, meskipun masih tergolong sebagai daerah swapraja].

4. Bahasa Indonesia (dalam konteks sebagai daerah RIAU, bersama sekarang Provinsi Kepulauan Riau) yang lahir dari rahim Bahasa Melayu Riau, yang berhasil menjadi bahasa persatuan dan pemersatu, serta perekat utama Bangsa Indonesia yang begitu majemuk.

Munculnya Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan pemersatu dalam perkhidmatan Soempah Pemoeda 1928, adalah suatu keputusan yang fenomenal sekaligus jenial (meskipun dalam konteks sosiologis itu sebenarnya hanyalah sebuah keniscayaan belaka, karena posisi – sebelumnya dikenal sebagai Bahasa Melayu – Bahasa Indonesia sudah menjadi lingua franca di Nusantara selama berabad-abad). Karena apa? Karena masih ada negara yang bahkan hingga sekarang masih bermasalah dengan bahasa nasionalnya [bedakan dengan bahasa resmi], hingga sampai menimbulkan kerusuhan sosial yang parah. Indonesia justru sudah berhasil memiliki bahasa nasional atau bahasa persatuan menurut Soempah Pemoeda sebelum negara itu sendiri berdiri; padahal ada ratusan bahasa lainnya yang tersebar di Bumi Pertiwi ini. Hal Bahasa Indonesia ini pun kemudian dimuat di dalam UUD 1945 Ps. 36, serta kemudian dielaborasi dalam UU No. 24/2009.

Apa peran Riau dalam konteks ini? Bahasa Indonesia lahir dari rahim Bahasa Melayu yang telah menjadi lingua franca di seluruh kawasan Nusantara, bahkan sejak lebih dari seribu tahun yang lalu (proto-lingua). Pada pertengahan abad XIX Bahasa Melayu kemudian “dipermodern” dan dikodifikasi oleh ahli bahasa dari Riau-Lingga, Raja Ali al-Haj (Raja Ali Haji), yang kemudian dianugerahi penghargaan sebagai pahlawan nasional. Inilah yang menjadi dasar pembentukan formal apa yang kemudian dikenal sebagai Bahasa Indonesia. Tak ada sesiapa pun yang dapat membantah hal ini. Dan bahasa inilah yang telah menjadi perekat dahsyat Bangsa Indonesia hingga sekarang.

Namun nampaknya beberapa tahun belakangan ini seperti ada upaya tertentu untuk memisahkan – atau bahkan menafikan – lahirnya Bahasa Indonesia dari Bahasa Melayu, khususnya Melayu Riau. Upaya ini seperti ingin menciptakan dongeng Si Malin Kundang II, atau kalau di Riau Dedap Durhaka II. Memang, belum ada dokumen resmi yang bersifat konstitutif yang menyatakan bahwa Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu. [Dalam UU No. 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan pun tidak. Dalam UU itu hanya ada 2 aspek yang dicantumkan perihal asal-usul, yaitu (Ps. 58) lagu kebangsaan digubah oleh Wage Rudolf Supratman, serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika dari Mpu Tantular (Penjelasan Ps. 46). Hal bendera – khususnya bendera pusaka (Ps.5) – bahkan tidak dijelaskan dijahit oleh Fatmawati istri Soekarno Sang Proklamator, dan hal lambang negara (Bab IV) tidak pula dijelaskan telah dirancang – setidak-tidaknya gagasan/sketsa awalnya – oleh Sultan Hamid II dari Pontianak].

Tetapi di dalam Kongres Bahasa Indonesia II yang dilangsungkan di Medan tahun 1954, dalam butir 8 Keputusan Seksi A tercantum pernyataan sebagai berikut: “Bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu. Dasar Bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu yang disesuaikan dengan pertumbuhannya dalam masyarakat Indonesia sekarang”.

Memang tidak secara eksplisit disebut sebagai Bahasa Melayu Riau. Maka barangkali perlu kiranya “pengakuan” secara konstitusional bahwa Bahasa Indonesia “lahir dari rahim” Bahasa Melayu Riau. Pernyataan itu dapat diselenggarakan dengan perubahan terhadap UU No. 24/2009 itu [termasuk ikhwal bendera pusaka dan lambang Garuda Pancasila itu]. Agar anak-cucu Bangsa Indonesia ke depannya tidak tumbuh dalam alam pendurhaka.

5. Kebudayaan Melayu, yang sesungguhnya adalah tamadun yang begitu luas menyebar di semerata kawasan Nusantara (khususnya kawasan pesisir), bahkan lebih jauh lagi. Dan Riau adalah salah satu tapak di mana akar kebudayaan itu membenam dalam. Karena tamadun yang tersebar begitu luas itulah Bahasa Melayu menjadi lingua franca sehingga secara langsung maupun tidak, kebudayaan Melayu itu mewarnai dan merekat secara luas kebudayaan di Nusantara.

6. Kekayaan sumber daya alam dan hasil bumi Riau yang telah begitu banyak berkonstribusi bagi pembangunan NKRI. Ada begitu banyak kajian akademik, data/informasi dan laporan-laporan formal, buku, maupun tulisan-tulisan lepas lainnya yang dapat menjadi referensi ikhwal aspek ekonomi yang oleh banyak pihak sering ditonjolkan sebagai kelebihan Riau ini.

7. Perjuangan Rakyat Riau dalam upaya meraih kemerdekaan, dan revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan (referensinya di antaranya dapat dilihat dalam buku Sejarah Perjuangan Riau, ISBN 978-979-3436-32-8), serta perjuangan dan pengorbanan Rakyat Riau dalam masa pembangunan.

8. Posisi geografis Provinsi Riau yang sangat strategis dalam konteks geo-politik dan ekonomi kawasan. Kalau yang telah diuraikan di atas pada umumnya adalah tentang masa lalu, maka dalam konteks posisi ini adalah tentang masa kini dan masa depan.

Provinsi Riau yang berbatasan langsung dengan Negara Malaysia serta berserambikan selat yang paling penting dan ramai di dunia, Selat Malaka. Di mana juga pernah dilansir kawasan pertumbuhan ekonomi tiga negara, yaitu Segitiga Pertumbuhan SIJORI (Singapura-Johor-Riau), yang bertujuan menggabungkan kekuatan kompetitif tiga negara di kawasan tersebut, agar lebih menarik bagi para investor. Ini membuat posisi RIAU (dalam hal ini juga termasuk Provinsi Kepulauan Riau) menjadi sangat strategis secara geo-politik; baik berkaitan dengan pertahanan negara, maupun ekonomi kawasan (termasuk kawasan Pulau Sumatera).

Dalam konteks ekonomi, potensi ekonomi Provinsi Riau sungguh tak terhitung peluang yang [masih] ada, yang menunggu untuk dikembangkan, baik dari sektor sumber daya alam maupun hasil bumi, termasuk dalam konteks sektor ekonomi “masa depan”. Ada banyak kajian yang sudah dilakukan dan atau dipublikasikan yang dapat dijadikan referensi.

III. HISTORIOGRAFI PERJUANGAN

Perjuangan Rakyat RIAU dalam upaya meraih cita-cita bagi status dan masa depan yang lebih baik sesungguhnya sudah cukup banyak dan panjang, baik yang berskala besar maupun kecil. Di sini kami hanya akan menampilkan peristiwa-peristiwa yang dapat dianggap atau telah menjadi tonggak-tonggak penting perjuangan itu. Tentu, peristiwa-peristiwa perjuangan lainnya yang tidak atau belum tercatat di sini bukan berarti tidak mempunyai arti dalam membentuk Riau, karena tak jarang pula [rangkaian] peristiwa yang mungkin dianggap “kecil” itulah yang menjadi jalan atau punca dari suatu peristiwa “besar” lainnya. Tersebab adanya beberapa keterbatasanlah (masalah ruang-waktu tulisan ini, pengetahuan yang terbatas, dan/atau barangkali karena masih ada silang pendapat, dan lain-lain) maka ianya tidak atau belum muncul sebagaimana di dalam catatan kami berikut :

1. Sebetulnya tuntutan RIAU untuk menjadi DAERAH ISTIMEWA bukanlah baru sama sekali, bahkan boleh dikatakan inilah barangkali tuntutan yang “asli”, yang paling awal. Dalam rapat paripurna tanggal 29 Oktober 1949, Dewan Siak (Siak Raad) dengan suara bulat memutuskan untuk menuntut status “daerah istimewa” dalam kerangka Republik Indonesia. Kutipan dari sebuah suratkabar berbahasa Belanda [perlu diverifikasi lebih lanjut] memberitakan sebagai berikut: “Siak vraagt autonomie: De voorlopige volksvertegen-woordiging van Siak heeft in haar plenaire zitting van 29 October 1949 met algemene stemmen besloten de status te elsen van een ‘Daerah Istimewa’ binnen het raam van de Republik Indonesia, aldus seint de voorzitter van de Siakraad.” Yang artinya lebih-kurang: “Dalam rapat paripurna tanggal 29 Oktober 1949, wakil sementara dari Siak dengan suara bulat memutuskan untuk menuntut status ‘Daerah Istimewa’ dalam kerangka Republik Indonesia, kata Ketua Siakraad (Dewan Siak)”.

Terlepas dari kontroversi sejarah yang menyelimutinya, kami beranggapan ini sesungguhnya juga adalah kehendak “Rakyat Riau” yang paling awal, yang diperjuangkan melalui Dewan Siak pada masa itu. [Namun untuk menjernihkan silang pendapat atau kontroversi soal ini, barangkali ada baiknya juga dilakukan suatu kajian oleh sejarawan. Bertepatan pula pada saat yang hampir bersamaan, di Riau Kepulauan pihak zuriat Kesultanan Riau-Lingga juga sedang mengupayakan terbentuknya kembali kesultanan itu, namun terhalang oleh pihak Belanda].

Status daerah istimewa itu, yang secara konstitusional tercantum di dalam UUD 45 Ps. 18A (1) dan Ps. 18B (1,2), ternyata bukanlah terlalu “istimewa” sebenarnya, dalam arti begitu langka sehingga hanya ada dua provinsi yang menyandangnya seperti yang kita kenal sekarang ini. Dalam lintasan sejarah RI ternyata masih ada beberapa daerah lagi yang [pernah] menyandang status kekhususan semacam itu, di antaranya: DI Berau (1953-1959), DI Bulongan (1953-1959), DI Kalimantan Barat (1946-1959), DI Kutai (1953-1959), dan DI Surakarta (1945-1946). Hilangnya status istimewa daerah-daerah tersebut nampaknya berhubungan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menetapkan konstitusi kembali ke UUD 45 (Proklamasi).

2. Sebelum terbentuknya Provinsi Riau, RIAU (Prov. Riau & KepRi sekarang) hanya menyandang status sebagai daerah swatantra setingkat kabupaten, dari semula yang merupakan wilayah 3 kesultanan yang merdeka. Pada tanggal 31 Januari – 2 Februari 1956 Rakyat Riau berhasil menyelenggarakan kongres, yang kemudian dikenal sebagai Kongres Rakyat Riau I (Pertama). Berkat KRR I ini kemudian terbentuklah Provinsi Riau.

Beberapa peristiwa penting yang dapat dicatat sebelum Kongres itu berlangsung di antaranya: (1) Kongres Pemuda Riau pada 17 Oktober 1954 di Pekanbaru, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Badan Kongres Pemuda Riau (BKPR) pada 27 Desember 1954. (2) Konferensi Pemuda dan Pelajar Riau se-Sumatera Barat tanggal 23 Oktober 1954 di Bukittinggi, serta Kongres Pemuda Riau Komisariat Indragiri di Rengat. (3) Kongres Komisariat Pemuda Riau dan Kepulauan pada 22 Maret 1955. (4) Dewan pun tak ketinggalan ketika itu untuk memperkuat dengan diadakannya pertemuan Ketua DPRDS I antar empat kabupaten Kampar, Indragiri, Bengkalis, dan Kepulauan Riau) di Bengkalis pada 7 Agustus 1957, yang memutuskan bahwa Riau mutlak perlu dijadikan satu provinsi tersendiri. (5) Kemudian dibentuklah Panitia Persiapan Provinsi Riau (PPPR) pada 2-6 Desember 1955. Dan,

(6) Setelah KRR I, juga ada peristiwa penting lainnya dalam konteks perjuangan Rakyat Riau, yaitu Kongres Pemuda Pelajar Mahasiswa Riau, yang berlangsung tanggal 17-19 Oktober 1957, yang salah satu keputusannya adalah mengeluarkan resolusi tentang “tidak menginginkan terpecahnya Riau daratan (Kabupaten Kampar, Indragiri, Bengkalis) dengan Riau Kepulauan (Kabupaten Kepulauan Riau)”.

3. Lama vakum, menjelang pergantian milenium Riau mendapat momentum. Di sini akan dirangkai 3 peristiwa yang cukup penting, yang menjadi pendahulu peristiwa besar KRR II (merujuk Suwardi MS), yaitu: (1) MuBes LAMR tanggal 1-7 Februari 1994; (2) Pernyataan Sikap Forum Pemuka Masyarakat Riau pada 21 Juni 1998, yang kemudian dilanjutkan dengan diterbitkannya risalah “Menuju ke Kongres Rakyat Riau” pada 12 November 1999; (3) Pada 15 Maret 1999 pula Tabrani Rab dkk mendeklarasikan “Riau Berdaulat”. Berikut “puisi” Deklarasi Daulat Riau yang dikutip dari buku Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-2002: Buku II, Prof. Drs. Suwardi MS et al: h. 225-226, yang barangkali dapat menyegarkan ingatan kita kembali :

Sudah lebih dari setengah abad
Kami menggantungkan hidup
Pada Republik ini
Selama itu
Minyak bumi kami dijarahi
Tak setetes pun menetes di tanah kami
Sungai dan tanah kami tak lagi memberi hidup
Karena polusi
Sudah lebih seperempat abad
Tanah kami dijarah
Sebagai konspirasi pusat dan konglomerat
Maka hari ini
Kami putuskan
Untuk menentukan nasib kami sendiri
Kami telah mulai menukilkan sejarah kami
Dalam lembaran yang baru
Akan hak-hak kami
Identitas dan tradisi kami
Dengan jalan damai
We are beginning to think
We are writing the new chapter of history
To demmand our right
Take on our duties
And defend our identity and our tradition
With peace

4. Kongres Rakyat Riau II (KRR II), diselenggarakan pada tanggal 29 Januari – 01 Februari 2000 di Pekanbaru, bertepatan dengan momentum Reformasi. Secara mengejutkan, KRR II memilih opsi “Riau Merdeka” dibanding 2 opsi lainnya yang berkembang masa itu, yaitu “Otonomi Khusus” dan “Federal”. Tabrani Rab, dan kemudian al-Azhar, sempat menyandang jabatan sebagai “Presiden Riau Merdeka” hasil KRR II itu.

Namun, tidak seperti KRR I yang berhasil mewujudkan tuntutannya dengan terbentuknya Provinsi Riau dalam waktu kurang dari 2 tahun, KRR II nampaknya boleh disebut “gagal” karena sudah lebih dua dekade belum juga berhasil merealisasikan amanat keputusannya sendiri, yaitu opsi “Riau Merdeka” (bila dipahami itu sebagai keputusan politik, bukan yang lain).

Walau demikian, apabila ingin dimaknai bahwa Kongres adalah sebagai sebuah proses dalam tataran perjuangan Rakyat Riau, maka tak perlu terlalu berkecil hati dengan setelah sekian lama tidak juga berhasil direalisasikannya produk/keputusan KRR II itu. Yang diperlukan adalah analisis, mengkaji kembali, memper-timbangkan kembali, di mana letak kekurangan dan kelebihan KRR II. Mungkin melalui SWOT Analisys, atau yang lebih tren terkini lagi. Entah melalui FGD, seminar, simposium, atau bahkan disertasi. Mungkin setelah itu akhirnya disimpulkan memang diperlukan diadakannya sebuah Kongres lagi ….

Tetapi bila akhirnya sebuah Kongres memang segera diperlukan lagi, karena menurut kami Kongres sudah menjadi sebuah lembaga bagi masyarakat Riau, bukan semata-mata karena itu alasannya, melainkan karena suara-suara itu tak jua henti-henti, seperti puluhan tahun yang lalu jua ….

5. Dideklerasikannya Fornas Otsus (Forum Nasional Perjuangan Rakyat Riau untuk Otonomi Khusus) tanggal 11 Januari 2007, sebagai tindak lanjut dari Rapat Pleno tanggal 18 Januari 2006. Forum ini berusaha memperjuangkan dicapainya status Otonomi Khusus bagi Provinsi Riau. Walaupun terkadang vakum, sejak dibentuk Fornas Otsus nampaknya masih terus bergerak menyampaikan aspirasinya, yang pemberitaannya sekurang-kurangnya dapat kita lihat dalam jejak digital. Seperti yang terakhir Aksi demo di depan Gedung DPRD Riau tanggal 09 Mei 2018 memanfaatkan momentum kunjungan Presiden ke Riau.

6. Lama terpendam, belakangan gagasan tuntutan Daerah Istimewa itu muncul lagi dalam satu dekade terakhir. Meski secara sporadis dan kecil, tapi gagasan cendekia ini nampaknya mulai mekar bersemi dan mendapat perhatian dan sokongan cukup luas dari tokoh-tokoh Riau. Beberapa yang sempat dicatat sehubungan dengan munculnya kembali gagasan ini adalah: (1) Syaukani al-Karim menulis “Terkenang Dorodjatun, Max, dan Kasim” [yang dikutip dari] dalam status facebook-nya tanggal 05 Desember 2010; (2) M Syafaat (Ketua Himpunan Mahasiswa Pasca Sarjana Riau Yogyakarta) dengan tulisan dalam blognya yang berjudul “Gagasan Bang Syafaat: Andai Riau Daerah Istimewa” pada 24 April 2012; (3) Gde Agung Lontar (sastrawan) dengan opini berjudul “UU Daerah Istimewa Riau” dalam Riau Pos, 28 Januari 2016; (4) Fakhrunnas MA Jabbar (akademisi, sastrawan, wartawan, Sekjen Fornas Otsus) dengan opini “Otsus dan Provinsi Melayu Riau” dalam Riau Pos, 22 Februari 2016); (5) Sulong A’dzam Shuhuf (sastrawan, peminat kebudayaan) dengan opini “17 Tahun KRR II: Tinjauan ke Hadapan” dimuat bersambung dalam Koran Riau, 28 September 2017, 05 Oktober 2017, dan 12 Oktober 2017; (6) Muchid Albintani dan Auradian Marta (akademisi) dengan paper “Provinsi ‘Istimewa Melayu Kepulauan Riau’” dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan Nakhoda, Vol. 19 No. 1, Januari-Juni 2020, h: 56-74; (7) drh. H. Chaidir, MM (mantan Ketua DPRD Riau, tokoh FKPMR) seperti berita terakhir “FKPMR Minta Riau Diberi Daerah Istimewa” dalam cakaplah.com tanggal 23 November 2020; (8) Hardianto, SE (Wakil Ketua DPRD Riau) seperti tersirat dalam berita “DPRD Minta Riau Diberi Keistimewaan karena Tiga Hal Ini” dalam cakaplah.com tanggal 27 November 2020; (9) H. Sofyan Siroj AW, Lc, MM (anggota DPRD Riau) dengan opini “Asa Keadilan di RUU Provinsi Riau” dimuat dalam bertuahpos.com, 28 November 2020; (10) dan lain-lain yang luput dari pengamatan kami ….

IV. POKOK-POKOK PIKIRAN

Pokok-pokok pikiran yang dimaksud adalah kerangka ideal apa yang ingin dicapai dengan terbentuknya DAERAH ISTIMEWA itu. Di sini kami menawarkan beberapa butir yang penting-penting, yaitu:

1. Adanya pengakuan dan pengesahan dari Negara tentang status Provinsi Riau sebagai Daerah Istimewa;

2. Pengakuan sebagai Daerah Istimewa ini bukan semata karena besarnya kontribusi/sumbangsih Riau dalam bidang ekonomi dan pembangunan nasional selama ini, tetapi juga dalam konteks historis, perjuangan kemerdekaan, kebudayaan, Bahasa Indonesia, dan posisinya yang sangat strategis secara geo-politik dan ekonomi wilayah;

3. Adanya kewenangan istimewa dan hak-hak khusus bagi Provinsi Riau yang melekat dengan statusnya sebagai Daerah Istimewa, sesuai dengan konstitusi dan perundang-undangan;

4. Mengelaborasi kearifan kebudayaan Melayu dalam pemerintahan daerah dan lingkungan masyarakat;

5. Membentuk MPA (Majelis Permusyawaratan Agung; atau nama lainnya yang disepakati nanti) sebagai representasi dari kearifan Melayu dalam sistem pemerintahan daerah (semacam MPR-nya Riau);

6. Meningkatkan SDM dan kesejahteraan masyarakat secara esensial, bermarwah, dan bermartabat;

7. Memperoleh hak-hak ekonomi yang layak dan berkeadilan;

8. Mengembalikan/merestorasi hak-hak masyarakat adat/asli beserta tanah-tanah ulayat, termasuk hak-hak tradisional Suku/Orang Laut;

9. Konservasi lingkungan hidup;

10. Menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.

V. STRATEGI & RANCANGAN AGENDA

Perjuangan ini adalah melalui jalur konstitusional, yaitu ditetapkannya status DAERAH ISTIMEWA bagi Provinsi Riau melalui UU. Untuk mencapai itu kami mencoba merancang serangkaian agenda kegiatan, yang diharapkan dapat menghasilkan kebulatan suara mengenai tuntutan status Daerah Istimewa bagi Riau melalui sebuah Kongres, serta sebuah konsep RUU yang lebih representatif (atau sekurang-kurangnya Naskah Akademik) yang kelak akan diajukan ke DPR RI.

Berikut agenda kegiatan yang dimaksud :

1. Muktamar dan Deklarasi ForKeRIs
ForKeRIs (Forum menuju Kongres Riau Istimewa; atau nama lain yang disepakati nanti, atau barangkali melalui organisasi para tokoh yang sudah ada) adalah sebuah forum aksi yang akan menjadi tempat berhimpunnya para pihak/tokoh/lembaga yang memiliki pandangan dan cita-cita yang sama demi tercapainya status Daerah Istimewa;

2. Penyelenggaraan Seminar/Simposium, narasumber terdiri dari :
Seminar/simposium ini (mungkin sekurang-kurangnya akan berlangsung selama 3 hari) akan memperbincangkan kemungkinan/peluang, serta hal-hal yang diperlukan dalam rangka Riau menjadi Daerah Istimewa. Adapun narasumbernya adalah sebagai berikut:

– ahli hukum tata negara dan akademisi/budayawan;
– tokoh-tokoh masyarakat, dan mahasiswa;
– alim ulama dan pemuka-pemuka adat.

Hasil dari seminar/simposium ini nanti didokumentasikan untuk kemudian didistribusikan kepada perwakilan peserta Kongres oleh PPKRI, untuk menjadi bahan pembahasan di dalam Kongres, yang nantinya juga bersama dengan hasil Kongres akan menjadi bahan referensi bagi Badan Pekerja Kongres dalam penyusunan [konsep] Naskah Akademik [dan Rancangan Undang-Undang];

3. Pembentukan Panitia Persiapan Kongres Riau Istimewa (KRR III; atau nama lain yang disepakati)
PPKRI selanjutnya mempersiapkan segala sesuatu perihal pelaksanaan Kongres.

4.Kongres Riau Istimewa (KRR III)
Butir-butir penting yang berhubungan dengan Kongres ini antara lain :
a.Tema: Menuju RIAU ISTIMEWA!;
(1) Tujuan: Menyatukan persepsi tentang Provinsi Riau sebagai Daerah Istimewa,
(2) Sasaran: Terhimpunnya saran, pendapat, dan keputusan perihal Provinsi Riau sebagai Daerah Istimewa;
b. KRR III diharapkan dapat dihadiri oleh seluruh komponen Rakyat RIAU, termasuk kalangan peninjau, baik dari lokal, nasional, maupun internasional;
c. Dalam konteks sejarah dan perjuangan Rakyat RIAU, KRR III adalah merupakan kelanjutan yang logis dan berkesinambungan dari KRR II (2000) dan KRR I (1956);
d. Sidang Kongres, dengan agenda di antaranya pembahasan hasil-hasil seminar/simposium;
e. Mencapai kesepakatan untuk mendapatkan pengakuan dan pengesahan dari Pemerintah Pusat tentang status keistimewaan Provinsi Riau, berupa UU Daerah Istimewa NEGERI RIAU DARUSSALAM (atau nama lain yang disepakati);
f. Membentuk Badan Pekerja yang akan menyusun konsep RUU Daerah Istimewa NEGERI RIAU DARUSSALAM (RUU DI NRD), mulai dari kajian-kajian hingga naskah akademik yang representatif & komprehensif, yang diharapkan dapat menghasilkan konsep RUU, serta apa yang akan dicapai dengan disahkannya RUU itu;
g. Menugaskan kepada seluruh Senator dan Legislator Riau untuk melobi, menggesa, dan mendesak Pemerintah Pusat, MPR, DPR & DPD agar dapat segera merealisasikan pembahasan dan pengesahan RUU DI NRD;
h. Menugaskan kepada Gubernur, Bupati, & Walikota untuk mendukung seluruh kegiatan ini baik secara moril maupun materil;
i. ForKeRIs dan KRR III bersifat independen, non-partisan, dan nirlaba.

5. Badan Pekerja KRR III

Dalam satu jangka waktu ditentukan bertugas menyusun konsep RUU Daerah Istimewa NEGERI RIAU DARUSSALAM (RUU DI NRD), mulai dari kajian/naskah akademik (NA) yang representatif & komprehensif hingga berupa konsep RUU, serta bersama Gubernur (berikut, atau sekurang-kurangnya mewakili, para bupati dan walikota) menyerahkannya ke DPR RI dan DPD RI. Untuk melaksanakan tugasnya Badan Pekerja dapat membentuk di antaranya Sekretariat, Panel Ahli (atau nama lainnya; yang sekurang-kurangnya mengandung unsur 4U: ulama, umara, ul-‘ilmi, dan ulayat), dan lain-lain. Setelah penyerahan secara resmi [konsep] RUU dan/atau Naskah Akademik (NA) ke pihak-pihak terkait, Badan Pekerja berkewajiban mengawal proses penyusunan RUU tersebut hingga menjadi UU yang dapat mengakomodir sebagian besar [kalau bukan seluruh] prinsip dan butir-butir tuntutan/keputusan Kongres.

Badan Pekerja bertanggungjawab secara moril kepada Kongres, dan secara administratif kepada Gubernur.

CATATAN AKHIR

Gagasan awal yang Penulis tawarkan sejak beberapa tahun yang lalu sebenarnya adalah sebuah Daerah Istimewa yang melingkupi Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau, atau yang biasa secara ringkas kami tulis sebagai RIAU saja (dengan seluruh huruf kapital). Memang belum ada contoh yang dapat dijadikan semacam “yurisprudensi” [yang agak “dekat” mungkin contoh kasus Provinsi Papua, dan kemudian Papua Barat], namun sesungguhnya di dalam amanat konstitusi UUD 45 Pasal 18B (1) tidak menegaskan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu harus dengan bentuk provinsi atau apa; maka peluang konstitusional untuk mewujudkan gagasan itu mungkin saja masih ada.

Dalam gagasan awal itu Penulis membayangkan Daerah Istimewa itu memayungi Prov. Riau dan KepRi, yang dalam konsep RUU Daerah Istimewa Negeri Riau Darussalam (DI NRD) yang Penulis susun [mohon maaf atas kelancangan ini] diwujudkan dalam sebuah lembaga yang sementara disebut sebagai MPA (Majelis Permusyawaratan Agung). Lembaga ini dimaksudkan sebagai semacam MPR-nya RIAU. Dalam konsep RUU itu Bab V Ps. 12 (2) ditulis “MPA adalah lembaga tertinggi di DI NRD sebagai perwujudan sistem nilai sosio-budaya masyarakat dalam bidang politik pemerintahan serta sebagai perwujudan kedaulatan Rakyat DI NRD”. Munculnya gagasan daerah istimewa model ini juga adalah semacam “obsesi” kami untuk “menyatukan kembali” Prov. Riau dan KepRi.

Namun secara realitas, gagasan semacam itu barangkali masuk kategori mustahil untuk diwujudkan. Karena itu gagasan daerah istimewa untuk masing-masing dari kedua provinsi itu, mungkin itulah yang paling logis untuk diperjuangkan. Provinsi KepRi sendiri, selain peluang untuk mengupayakan status daerah istimewa (historiografi, bahasa, kebudayaan, geo-strategis, dll.), juga dapat diupayakan untuk memperoleh status sebagai provinsi yang berciri kepulauan sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi dan UU No. 23/2014 – Bab V.

Akhirulkalam, untuk merealisasikan perjuangan ini tentu yang paling diperlukan adalah menyatukan suara dan langkah serta segala daya upaya yang maksimal dari segenap elemen masyarakat, tokoh-tokoh, ahli/pakar/profesional, dan para peneraju kekuasaan. Insyaallah RIAU JAYA!

***

sulongSulong A’dzam Shuhuf adalah namapena. Menulis sastra, esai, opini, dll; yang – dengan menggunakan nama asli atau namapena lainnya – antara lain pernah dipublikasikan di media-media nasional dan daerah. Beberapa bukunya yang telah terbit antara lain: Atas Nama Keajaiban Fiksi Indonesia 2000 (Juli 2000), Nubuat (novel, 2008, ISBN 978-979-1186-19-3), Benang Merah Keajaiban (novel, 2011, ISBN 978-979-18945-5-5), [K]Etika Mati Kita Ketawa (buku jenaka, 2011), Als Ik eens President van Indonesië was (sosio-politik, Mei 2014), Menuju Metropolis: dari Payungsekaki ke Bangsawan Malik (planologi, 2014, ISBN 978-602-70023-0-2), Risalah Jebat (kitab puisi, 2016, ISBN 978-602-70023-1-9), dan lain-lain berikut karya-karya dalam sejumlah himpunan bersama. Menjadi narasumber dalam beberapa kegiatan; terakhir dalam Diskusi Interaktif Akhir Tahun yang diselenggarakan oleh Prodi Magister Ilmu Politik UR, dengan tema Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Peluang-Tantangan Pembentukan “Provinsi Istimewa Riau) tanggal 26 Desember 2020. Pendiri Komunitas Karang. Penggagas berdirinya ForKeRIs (Forum menuju Kongres Riau Istimewa).

 

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *