Meriau-riaukan Riau [dalam Puisi] (1)

krisis Kesusasteraan

MERIAU-riaukan Riau [dalam Puisi].

Pada penghujung-penghujung Januari dan awal-awal Februari ini sebenarnya ada dua peristiwa penting bagi Provinsi Riau [dan juga Kepulauan Riau], yaitu diadakannya Kongres Rakyat Riau (KRR). KRR yang pertama yang menjadi pendahulu bagi terbentuknya Provinsi Riau diselenggarakan pada tanggal 31 Januari – 2 Februari 1956, sementara KRR II yang berhasil menetapkan opsi “Riau Merdeka” sebagai pilihan Rakyat Riau dilenggarakan pada tanggal 29 Januari – 01 Februari 2000. Dua peristiwa ini sebetulnya tonggak penting dalam perjalanan perjuangan Rakyat Riau, namun sayangnya tampak minim penghargaan yang dialamatkan kepadanya. Tidak ada semacam “monumen”, atau peringatan, atau bahkan sekadar diskusi [?].

Dalam “ingatan” tersebut saya tiba-tiba tergoda untuk mencoba menilik tentang persoalan ke-Melayu-an dan Ke-Riau-an dalam sastra kita; kira-kira sejauh mana dan bagaimana perhatian sastrawan (khususnya Riau) pada kedua tema tersebut, serta persoalan-persoalan yang dihadapi. Namun, bukan dalam konteks persoalan secara umum, melainkan dalam konteks autokritik. Maka, meminjam gaya Fakhrunnas MA Jabbar, tulisan ini pun diberi judul utama “Meriau-riaukan Riau”.

Dan yang agak mengejutkan, ternyata tidak mudah untuk menemukan puisi yang memiliki muatan autokritik atas ke-Melayu-an dan Ke-Riau-an itu. Pabila ingin menemukan puisi bertemakan hal yang sama, namun dalam konteks secara umum, terlebih lagi yang memiliki muatan tentang “luka”, “duka”, “lara”, “kesedihan”, “kemelaratan”, “ketertindihan”, “keterhinaan” atau semacam itu, kita akan cukup mudah untuk menemukannya, karena boleh dibilang [hampir?] setiap sastrawan pernah melahirkan puisi semacam ini, serta akan dapat kita temukan di banyak tempat. Tetapi yang bermuatan autokritik, [cukup] langka. Dari belasan buku [antologi tunggal atau bersama] yang ada di perpustakaan Penulis, hanya berhasil menemukan belasan puisi saja [dari lebih 1.000 puisi yang ada]. Meski demikian ini juga tidak perlu jadi mengejutkan begitu, karena perilaku atau sifat atau tindakan autokritik, atau dalam bahasa lain juga mencakup instrospeksi, mawas diri, atau sekurang-kurangnya “membaca diri sendiri” ini memang terbilang langka, kalau bukan sangat. Sebagai sebuah sikap kritis juga, autokritik adalah tingkat tertinggi dari sikap dan perilaku kritis itu. Maka sastrawan yang mampu melakukannya mungkin juga tergolong sastrawan yang “langka”.

Mari kita mulai dengan puisi karya Eddy Akhmad RM (EARM) yang berjudul “PENAT TAK SUDAH JADI MELAYU” (Mata Hari Sastra Riau, 33-34), yang menjadi pemantik awal timbulnya gagasan tulisan ini. Sungguh, lahirnya puisi ini dari sang penyair huruf kapital terasa cukup mengejutkan, karena terasa agak melenceng dari kebiasaannya. Tapi, mungkin juga tidak perlu terkejut seperti yang telah disampaikan tadi, karena memang peristiwa autokritik itu langka terjadi. Dalam suatu kesempatan singkat, pernah Penulis singgung soal puisi ini, tetapi sang penyair hanya ketawa lebar sahaja. Apa yang dapat ditangkap makna dari puisi ini adalah, sebagaimana judulnya, nampaknya EARM sudah merasa penat menjadi seorang jati Melayu. Keletihannya – atau mungkin dalam makna lain kebosanannya – itu begitu menjadi-jadi hingga timbul frasa khas Melayu “penat tak sudah”.

Penat kepada Melayu yang: “Memahat hidup ke masa lalu | Mengukir dinding | Mengikur sanding | Bersantun-santun | Bersyair-syair”. Dalam puisinya itu EARM tampaknya sudah merasa muak dengan perangai orang Melayu sekarang yang cenderung suka/selalu menisbatkan diri dan perbuatannya dengan kegemilangan Melayu di masa lalu, seolah-olah Melayu sekarang tiada lagi kegemilangan. Sejarah, baik sejarah kegemilangan maupun keterpurukan di masa lalu, memang sepatutnya diketahui, dipelajari, dan dipahami agar dapat menjadi permakluman untuk menunjukkan arah di masa kini dan hadapan. Namun, ketika kita hanya terlena dan bersandar diri pada masa-masa kegemilangan dan kemegahan di masa lalu belaka, maka sesungguhnya kita sudah masuk ke alam mimpi, hingga melupakan masa kini dan hadapan, sekaligus mengerdilkan diri sendiri – atau mungkin dalam bahasa lain yang lebih sarkasme: memang tak mampu. Mungkin itulah kenapa dinyatakan kerjanya hanya mempercantik dinding dan sanding; membangun masjid-masjid megah dan Islamic Center yang sunyi, gedung-gedung kantor pejabat bertingkat-tingkat, tetapi lupa membangun kemaslahatan masyarakat dan peradabannya.

Di lain masa, kerja kita hanya bersantun-santun saja, seolah puak yang begitu arif-bijaksana, bagai para pertapa dari India yang siap moksa. Bersyair-syair belaka, supaya dikata sebagai orang yang begitu mengerti akan keindahan dan kekuatan kata-kata. Sementara mereka justru “memanfaatkan” kesantunan dan keanggunan pujangga itu, untuk menyelusup masuk ke wilayah-wilayah pribadi kita, lalu menggerogotinya dari dalam segala lambung, limpa, paru, hati, jantung, dan kepala kita; dan kita masih juga bersantun-santun. “Gurindam dibaca | Irama dendam | Bukan Melayu tak hilang di bumi | Tanah sempadan | Menjadi lawan | Akibat santun yang jadi ajaran | Ketika mantra kehilangan kuasa”. Pada akhirnya memang bukan Melayu tak hilang di bumi [kalimat ini sebenarnya semacam antitesis yang dijalin EARM dari ungkapan terkenal Hang Tuah, “Tak Melayu hilang di Bumi”], justru Melayu-lah yang [mungkin] akan “hilang” dari muka bumi.

Kenapa begitu? Karena menurut EARM: “Gendang kecapi mulut terkunci | Berjoget tangis tari mengemis | Merdu seruling di telinga si tuli”. Tetapi yang terlebih lagi adalah karena tata-nilai dan ajaran Melayu sudah dianggap sepi, hanya sekadar jadi pemanis bibir di panggung-panggung kata. “Petatah-petitih membuat letih | Tunjuk ajar tak jadi pintar | Karena petuah tak bikin petah | Nasihat tak jadi amanat | Tersebab pantun tak lagi menuntun | ….”.

Muhammad de Putra (MdP) pula, penyair muda yang meroket itu, tampak seperti seseorang yang berlaku self-injury dalam puisi panjangnya “Hikayat Durhaka dalam Rahim Melayu” (Mata Hari Sastra Riau, 74-77). Dalam dunia kedokteran, self-injury dilakukan untuk melampiaskan atau mengatasi emosi berlebih yang tengah dihadapi, misalnya stres, marah, cemas, benci pada diri sendiri, kesepian, putus asa, mati rasa, atau rasa bersalah.” (alodokter.com). Dalam konteks puisi naratif ini mungkin dapat digunakan analogi demikian. Lihatlah bagaimana sang penyair justru ingin menjadi seorang anak yang “durhaka” pada ibunya (metafora Melayu), sementara dalam kepercayaan umum perbuatan durhaka itu adalah perbuatan yang paling keji dan harus dihindari. Tetapi barangkali mungkin karena penyairnya melihat ada begitu banyak contoh “untuk menjadi” anak yang durhaka bagi Bunda Melayu, sehingga ia juga “tergoda” untuk menirunya. Si Lancang Anak Durhaka, Batu Belah Batu Betangkup, Dedap Durhaka, Si Umbut Muda, Si Tanggang (dari Semenanjung), Si Malin Kundang (dari Tanah Minangkabau), dst.

Tetapi, kenapa dia ingin menirunya? Barangkali karena MdP sudah bosan, muak, marah, benci pada diri sendiri, atau tak juga paham dengan bersantun-santun, bersyair-syair, pepatah-petitih yang membuat letih, tunjuk ajar tak jadi pintar, petuah tak bikin petah itu? “Nasehat emak ternyata hanya angin lalu tanpa arah, bagi anak-anaknya. Masuk telinga kiri tak masuk telinga kanan, ternyata hanya kata-kata yang mantul di telinga.”, begitu alas MdP. Karena itulah sang penyair ingin mengembara, seperti ingin membuang diri, menuju perantauan yang sangat jauh. Anak-anak muda, selalu punya perasaan seperti itu [termasuk Penulis pernah]. Dengan segala yang berkecamuk di dalam kepala-hotaknya, segala pengetahuan yang merasa sudah dimiliki, keinginan serta harapan, dan idealismenya, lantas merasa tidak tertampung lagi oleh minda alam sekampungnya. Ke mana lagi hendak dibawa badan, kalau bukan “membuang diri” ke perantauan. “Perjalanan di mana aku akan melupakan segalanya, Emak, Melayu, Riau.”. Tetapi tetap saja ujung dari sebuah pengembaraan bukanlah sebuah tempat nun jauh di sana, namun ialah pulang.

MdP tidaklah sebenar-benar bermaksud mendurhaka. Itu hanyalah ungkapan kesalnya semata, sekaligus sebagai sebuah autokritik bagi segala yang sedang berkecamuk di dalam benaknya. “Alamak, durhakakah aku dalam kata-kata yang tak diajar Emak?”. Ia bahkan rela terkutuk menjadi sungai yang akan mengaliri tangisan segala. Semua itu karena “seperti itulah kami, anak zaman yang segera hilang terbawa arus tak bertuan.” ….

Baca : Provinsi Riau Menuju Daerah Istimewa

(bersambung)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *