U Baru, Yang Lama?

nama

Yang lama belum pupus
baru belum tentu berguna
sedari awal bertungkus lumus
hasil belum pasti sempurna

usaha eloknya sesuai kemampuan
jangan sampai mengukur bayangan
mengapa lama menjadi tumpuan
semoga baru tidak keterlaluan

ESENSINYA penemuan U Baru sangat berbahaya bagi kestabilan dunia bumi. Apalagi membuang U Lama begitu saja. Selain menandakan akhir zaman yang juga menunjukkan kehilangan pewaris penyampai kebenaran. Amat sangat berbahaya? Benarkah?
     
Konflik. Kemelut antar personal, keluarga dan masyarakat termasuk antar lembaga kemasyarakatan. Berbeda pendapat. Tak menyapa tegur. Semuanya ke arah menuju terputusnya hubungan silaturrahmi. Ini yang seidealnya tak perlu dipertaruhkan sampai tetes darah terakhir. Awas:  jangan sampai terjadi!!?
      
Ngah Long dan Long Usu sudah beberapa hari ini saling tak menyapa tegur. Bukan tanpa alasan. Sungguh saudara kakak-beradik, bukan saja tak elok, kelanjutannya pasti juga berkonsekwensi dengan masalah silaturrahmi. Tampang wajah kedua saudara dua beradik ini memperlihatkan sesuatu yang terus menerus disembunyikan. Sesuatu yang selalu ditutup-tutupi. Tidak transparan kata generasi milenial. Antara keduanya terasa tak menyedapkan? Apa permasalahannya?
       
Terus saja Ngah Long dan Long Usu tak hendak berbagi. Apalagi banyak cerita. Padahal seperti kebiasaan, komentar, sesekali terkadang tiba-tiba nyerociscos: cis, cis, cos. Apatah lagi banyak cungcebong (lazimnya, cungkodok). Kata orang-orang di kampung, lalat pun tak inggap.
       
Saudara dua beradik ini mengalami goncangan yang menyebabkan berlangsung perubahan begitu amat sangat cepat. Bukan secepat kilat menyambar, cecak menyergap nyamuk menggunakan lidahnya, melainkan mohon maaf, bagai menahan bau dari bukan lagi tekanan bahkan sudah goncangan angin yang nenggebu-ebu memaksa ke luar tanpa bunyi. Namun baunya, maaf. Aduhhhhh. Harum membau muntah. Ada apakah gerangan?
       
Sudah hampir sebulan, perlahan baru mulai menampak. Dua beradik ini berselisih ihwal penemuan sekaligus penambahan abjad atau alfabet (huruf) Latin baru. Sebelumnya hanya 26 huruf abjad Latin. Saat setelah ditemukan, bertambah menjadi dua puluh tujuh. Dari sinilah duduk masalah-persoalannya.
       
Untuk saling menjaga keakraban antar suadara silaturrahmi sangat penting. Kata silaturrahmi ini jika dicermati melalui kondisi saat ini, amat sangat memprihatinkan. Betapa tidak jarang diperhatikan pentingnya apalagi manfaatnya teristimewa oleh kebanyakan warga umat negeri Kolam Susu. Demi alasan menjaga perasaan masing-masing, sudara beradik ini selalu saja saling sungkan. Perasaan takut, haru-ungu bercampur-aduk menjadi satu tak terurai. Selalu saja menjini (yang umum menghantui ada juga mensetani) dikebanyakan warga termasuk kedua saudara ini.
        
Ngah Long mengusulkan hurup U yang baru (U Baru) ditambahkan saja dalam huruf abjad Latin yang dua puluh enam tersebut. Jika ditambahkan maknanya menjadi dua puluh tujuh. Esensi penambahan terdapat dua hujah penting. Pertama, pertambahan tidak menghilangkan yang lama. Kedua, jumlah abjadnya menjadi ganjil (sebelumnya genap, 26).
      
Hasil ini yang penting. Bilangan ganjil dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis amat sangat penting. Jadi tidak perlu ada lagi keseimbangan. Yang penting jika terjadi perbedaan pendapat. Gampang. Voting saja. Suara terbanyak,  itulah yang menang. Selesai!!!.
       
Lain pula Long Usu yang tetap hendak mempertahankan alfabet, tetap dua puluh enam. Keseimbangan itu penting. U yang lama (U Lama) dibuang saja. Toh kan sudah ada U Baru (U yang baru). Keseimbangan merupakan sesuatu yang sangat berharga. Oleh karena itu penting dipertahankan. Apatah lagi sejalan dengan perinsip musyawarah-persekongkolan. Perinsip ini sesuai juga dengan kebudayaan nenek moyang yang sudah diwariskan ke anak cucu negeri Kolam Susu. Perinsip ini wajib diabadikan. Tidak boleh ditinggalkan. Haram hukumnya meninggalkan musyawarah-persekongkolan.
        
Long Usu,  walaupun selalu dijuluki “si kolot”, selalu berkeinginan mempertahankan yang lama, namun sekali ini sikapnya berbeda. Long Usu tegas. Jumlah genap itu dapat mempertahankan budaya demokrasi warisan nenek leluhur. Jangan sampai gegara voting rusak budaya negeri ini. Bersekongkol bersama itukan bagian demokrasi dari warisan lokal. Mempertahankannya akan menjauhkan voting. Dengan begitu, bukankah mendukung nilai-nilai kearifan lokal? Siapa lagi yang mau menjaga warisan lokal? Demokrasi voting itu kan impor? Itulah esensi penolakan Long Usu terhadap mempertahakan huruf ganjil berbanding jumlah huruf genap.
       
Tak elok sungguh jika hanya penemuan U Baru untuk mengganti U Lama, persoalan kedua kakak-adik ini menjadi putus silaturrahmi. Tak menegur sapa. Apalagi sudah hampir sebulan. Padahal penemunnya adalah sebuah anugerah yang wajib disyukuri dan dihargai.
        
Kedua beradik akhirnya sadar jika U Baru adalah penemuan penting. Seharusnya penemuan ini adalah bagian dari inovasi berlandas proses kreasi. Justru yang aneh di negeri Kolam Susu, penemuan inovasi tidak dielu-elukan. Yang dihargai hanya keseimbangan pendapat yang berasal dari hasil suara terbanyak (voting). Semua pun tahu sudah banyak diberitakan media asing jika negeri Kolam Susu votingnya lumrah dilandas-susupi motivasi kesepakatan berdasarkan ukuran pada berapa jumlahnya. Tentu saja sangat besar. Ukurannya, tidak lagi mata uang dalam negeri, melainkan impor. Proyek juga tak masalah.
        
Kedua beradik pun menyadari jika penemuan ini harus menjadi pelajaran berharga. Jujur, Ngah Long awalnya sepertiga sock. Begitu pun Long Usu, bukan lagi sock, tetapi juga suntris (suntris adalah perasaan kegalauan hati melebihi rata-rata orang yang dilanda stress. Suntris hampir mendekati tiga perempat strock) gegara berbeda pendapat. Penemuan baru harus menjadi pedoman hidup baru. Khususnya dalam menjaga silaturhami antar keluarga.
        
Tak sampai berlama-lama. Tibalah saatnya senyum mengulum bibir hiasan keduanya mencambah wajah. Dua beradik ini sudah sepakat. Kalau pun seandainya masyarakat kampung, bukan saja meminta, menuntut agar keduanya tetap berbeda pendapat, karena berbeda bagian dari demokrasi juga kata para ustadz berbeda adalah rahmat. Keduanya tetap konsisten (istiqomah), alfabet tetap saja dua puluh enam, tidak menjadi dua puluh tujuh.
        
Long Usu walaupun sebagai adik, sekali ini memang cukup arif nan bijaksini (untuk sesorang adik, kalau kakak atau abang, biasanya bijaksana). Benar-benar luar biasa. Bagaimana seandainya U Baru yang dipertahankan?
         
Bagaimana nasib “Ulama”, eh U Lama? Kehilangannya,bukankah identik dengan kebinasaan umat oleh karena kehilangan penerus pewaris para nabi?
         
Sungguh benar-benar tak dapat dibayangakan jika negeri ini kehilangan pewaris penyampai ajaran Nabi? Apakah ini tanda-tanda bukan akhir zaman, melainkan zaman yang akan berakhir?
         
Kiamat sudah semakin mendekat?!!!

Wallahu’alam. ***

Baca : Badan Usaha Merakit Donat

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *