Mimbar  

Memahami Hakikat dari Kebahagiaan

hakikat kebahagiaan

LAMANRIAU.COM – Hakikat kebahagiaan merupakan kebutuhan asasi umat manusia. Banyak persepsi soal kebahagian. Sebagiannya sangat berorientasi pada duniawi. Sebagiannya ukhrawi, tak sedikit bahkan nihil orientasi.

Baca : 3 Amalan Sederhana Pembuka Pintu Rezeki

Dalam tradisi Islam, kebahagiaan pada dasarnya merujuk pada salah satu kata dalam bahasa Arab yakni sa’adah. Sa’adah adalah kata bentukan dari suku kata sa’ada, yang berarti bahagia. Definisi bahagia, dalam tradisi ilmu tasawuf, seperti kata Imam al-Ghazali, dalam karyanya yang monumental Ihya Ulumiddin, merupakan sebuah kondisi spiritual saat manusia berada dalam satu puncak ketakwaan.

Bahagia merupakan kenikmatan dari Allah SWT. Kebahagiaan itu adalah manifestasi berharga dari mengingat Allah.

Menurut tokoh bergelar Hujjatul Islam ini, puncak kebahagiaan manusia adalah jika ia berhasil mencapai tahap makrifat, telah mengenal Allah SWT. Ketahuilah, katanya, kebahagiaan datang bila kita merasakan nikmat dan kesenangan. Kesenangan itu menurut tabiat kejadian masing-masing.

Kesenangan mata ialah melihat rupa yang indah. Kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu. Demikian pula semua anggota tubuh yang lain dari tubuh manusia. Adapun kenikmatan hati ialah teguh makrifat kepada Allah. Hati itu dijadikan untuk mengingat Tuhan.

Seorang hamba rakyat akan sangat gembira kalau ia dapat berkenalan dengan wazir. Kegembiraan itu naik berlipat ganda kalau ia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja berkenalan dengan Allah merupakan puncak dari segala macam kegembiraan, lebih dari apa yang dapat dikira-kirakan oleh manusia. Tidak ada makhluk dalam dunia ini yang lebih mulia dari Allah. Tidak ada makrifat yang lebih nikmat daripada ma’rifatullah.

Allah SWT sudah mengingatkan, andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan bertakwa maka pasti akan dibuka pintu-pintu berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan ajaran-ajaran Allah. Maka Allah mengazab mereka karena perbuatan mereka sendiri (QS al-A’raf [7]: 96).

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Allah memberikan kepada mereka pakaian, kelaparan, dan ketakutan disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS an-Nahl [16]: 112).

Sebuah syair dalam bahasa Arab menyebutkan, “Wa-lastu araa as-sa’adata jam’u maalin wa-laakin at-tuqaa lahiya as-sa’iidu.” Artinya, kebahagiaan bukanlah mengumpulkan harta benda, tetapi takwa kepada Allah.

Selain itu, definisi kebahagian juga seperti para pemikir Muslim masa kini. Cendekiawan Muslim asal Bogor, Prof Syed Muhammad Naquib Al-Attas, mendefinisikan kebahagiaan sebagai kesejahteraan yang bukan hanya lahiriah. Kebahagiaan tidak merujuk pada ketenangan pikiran. Ini adalah keyakinan akan hakikat segala yang ada.

Kebahagiaan adalah keadaan yang yakin akan Allah. Datang sebagai penuaian amalan yang kerjakan berdasarkan keyakinan dan menuruti batinnya. Merupakan kondisi hati yang penuh dengan iman dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu.

Kebahagiaan ialah keyakinan akan kebenaran akhir dan pemenuhan tindakan dalam kesesuaian dengan keyakinan tersebut. Kondisi permanen kesadaran yang alamiah terhadap apa yang permanen dalam manusia dan dapat terima oleh hati (qalb).

Kebahagiaan merupakan kedamaian dan keamanan serta ketenangan hati (tuma’ninah). Juga mengakibatkan seseorang mengenal Allah. Kebahagiaan memunculkan keimanan. Pun, merupakan pengenalan tentang Tuhan sebagaimana Dia menggambarkan diri-Nya dalam wahyu. Selain itu, juga mengetahui tempat yang benar dan tepat dalam alam ciptaan dan hubungan yang tepat dengan Pencipta.

Menempuh kebahagiaan lakukan dengan melaksanakan apa yang jadi wajib, yaitu ibadah. Kondisi yang menghasilkan berupa keadilan (’adl). Kebahagiaan dalam kehidupan bukan akhir terhadap pribadi, yakni bahwa akhir dari kebahagiaan merupakan cinta Tuhan.

Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi siksaan. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus masuk penjara dan dapat cambukan setiap hari karena menolak ketika menjadi hakim negara. Sehingga dengan demikian, kebahagiaan tak dapat terukur dari takaran materi dan duniawi. ***

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *