Pak Kadir, Ibu Harun

Hunjam Tapai Jadi Apam

Mati emak binasa
mati bapak celaka
inilah makna simalakama
mustahil menghidar darinya

salah terus berulang
benar sembunyi segan
salah mengungkap bilang
benar memingit enggan

APALAH arti sebuah nama. Tidak akan sama dengan makna sebuah keluarga. Nama dan keluarga terkadang terkesan identik:sama dan sebangun. Bahasa lainnya yang populer orang menyebutnya dengan konkruen. Keluarga dan nama adalah konkruen. Walaupun begitu, keduanya dapat juga berbeda.

Nama tidak harus memerlukan keharmonisan, Tidak dengan sebuah keluarga. Kehadiran keluarga keharmonisan sebuah keniscayaan. Musabab istilah yang tak mengena sebuah keluarga dapat saja hancur luluh lantak berkeca-macai. Benarkah?

Sudah dua puluh lima tahun waktu pernikahan, baru kali ini keluarga Pak Kadir dan Ibu Harun mengalami “musibah”. Walaupun tidak dapat dketegorikan besar. Namun, tidak dapat dianggap kecil. Apalagi untuk diremerh-temehkan.Tidak juga untuk dikecil-mecilkan. Disepele-melehkan. Jangan. Jangan sesekali. Apalagi berterusan.

Bukankah nama adalah sebuah doa? Keberadaan keluarga juga atau menjaga nama baik keluarga juga sama. Sudah merupakan sebuah aksiomatis. Repleksi terhadap makna kelahiran juga berkelaurga dengan acara sukuran berklid-blindan. Istilah selapanan dan kondangan kahwinan adalah buktinya. Setulus niat baik terpendam jauh dalam lubuk hati yang amat sangat dalam. Dengan begitu: pertanyaan apakah arti sebuah nama atau mempertanyakan eksistensi nama baik sebuah keluarga tentu sangat elegan.

Istilah nama adalah doa juga berkeluarga memang sangat dipegang, tidak hanya dari kalangan tertentu saja. Zaman dulu, orang tua memberi nama berdasarkan bahasa tertentu. Tidak mengecualikan juga nama besar keluarga. Niat hati berharap dengan doa, anaknya kelak menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan negara. Seterusnya menjadi keluarga yang mawahdah warahmah. Sampai ke anak, cucu dan cicit.

Ihwal nama besar keluarga yang bermusibah. Awal bermula yang belakangan ini terjadi. Perkiraan sekitar tujuh atau delapan tahunan. Gonjang-ganjing keluarga Pak Kadir dan Ibu Harun.

Pak Kadir adalah nama panggilan. Begitupun Ibu Harun. Abdullahadir nama panjang Pak Kadir. Hairunusa namanya lengkap Ibu Harun. Kedua namanya hanya satu kata, tidak dua, apalagi tiga.

Entah darimana muasalnya, Abdullahadir, tetiba saja berubah. Orang-orang tertentu memanggilnya menjad Kadir. Pak Kadir. Boleh jadi orang-orang di kampung Drian, negeri Kolam Susu menggunakan pendekatan sepintas dengar. Sepintas ucap. Yang melahirkan Sepintas istilah.

Tak jauh berbeda, walaupun nama Harun lazimnya untuk seseorang lelaki. Di Kampung Drain tidak aneh, menjadi Harun. Panggilan yang bermula dari nama Ibu Hairunusa. Tidak ada angin, rebut, topan pun puting beliung, tetiba orang-orang tertentu memanggilnya Harun. Ibu Harun.

Fenomena perubahan sebutan atau menyebutkan nama panggilan sebenarnya bukan hanya fenomena sosial kemasyarakatan semata. Melainkan sudah merambat ke fenomena ekonomi sosial kemasyarakatan. Ujung-berujungnya tak terelakan berubah menjadi fenomena politik sosial kemasyarakatan. Perkembangan zaman selalu diiringi perubahan cara berpikir orang-orang tertentu. Memang tidak semua orang. Bisa juga sejarah yang berulang.

Walaupun tidak ada yang pasti, namun kepastian adalah ketidakpastian itu sendiri. Perubahan pun sama. Yang tak berubah adalah para pemenang sepanjang masa. Pemenang adalah pemilik sejarah. Pemiliknya tentu saja orang-orang tertentu yang sedang menikmati “kenikmatannya”. Termasuk kenikmatan orang-orang yang memberi gelar kepada keluarga Pak Kadir dan Ibu Harun.

Pak Kadir dan Ibu Harun sungguh tak sedap hati. Sudah tujuh tahunan lebih setengah hari, seperempat jam, dan seperdelapan detik, terus saja terheran-heran. Dalam hatinya (bukan dalam, parunya), selalu bertanya-tanya: ada apa gerangan negeri kolam susu tujuh tahunan saat ini.

Yang mengharu-kuningkan (biasanya haru-biru): mengapa keluarganya bergelar Keluarga Kadrun (Cadrun Family, istilah negeri seberang). Jika saja gelar ini disamakan dengan sebuah penghargaan pun Pak Kadir dan Ibu Harun masih tetap saja bertanya-tanya.

Kadrun. Kadrun. Kadrun selalu saja berulang-ulang dilekatkan kapada keluarga Pak Kadir dan Ibu Harun (baca: keluarga Kad-Run). Dalam hati sebenarnya suatu ketika, Pak Kadir keheranan. Ibu Harun merasakan hal yang sama. Faktanya memang, sebutan kadrun hanya oleh orang-orang tertentu saja. Boleh jadi hanya orang-orang itu yang tahu asal musabab makna kadrun tersebut.

Pak Kadir dan Ibu Harun tak menyangka bahkan belum mengetahui jika nama belakangnya menjadi trending (istilah di medsos viral) bela-belakangan ini. Keluarga Kadrun. Pak Kadir dan Ibu Harun alias menjadi Keluarga Kadrun. Begitulah beberapa media selalu yang bahkan sering ketagihan memuatnya di media-media masa maenstream. Istilah media terkemuka penjuru dunia.

Pak Kadir dan Ibu Harun sesungguhnya tidak paham sejarah muasal datangnya istilah-sebutan kadrun. Apatah lagi orang-orang tertentu memanggilnya dengan keluarga Kadurn. Boleh jadi hanya cara orang-orang itu supaya mudah mengingatnya saja. Alasan ini, tetap saja tidak dapat diterima aqal sehat. Mengapa Hadir menjadi Kadir. Hairun dipanggil-panggil menjadi Harun.

Sungguh tak mudah memahami fenomena tersebut. Kalau dahulu dalam sejarah negeri Kolam Susu hanya dikenal dengan sebutan manifesto. Ada juga manikebu. Tak ketinggalan adalah manifestasi. Tetapi kata-kata itukan ada pada tahun 1960-an lalu. Tak penting bagi keluarga Pak Kadir dan Ibu Harun. Walaupun menurut orang-orang tertentu boleh saja menjadi penting. Ada masa-masa indah. Masa kenangan manis-romantis yang sangat susah dilupakan.

Argumentasi kenangan inilah boleh saja orang atau pihak-pihak tertentu ingin mengulang kejadian atau sejarah indah dengan maksud mengembalikan kebahagiaan nostalgia tersebut. Semua bisa jadi. Semua boleh saja. Namun, menggelar orang dengan nama kependekakan berwujud melalui nama keluarga, tetap saja berdampak-efek.

Pak Kadir dan Ibu Harun sebagai keluarga yang hambel tentu tidak ambil pening (bisanya pusing). Biasa, “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”. Pepatah lama penting sesekali dipraktikkan oleh keluarga ini. Bukan bermaksud membela diri, tetapi begitulah sikap kedewasaan bernegara keluarga Pak Kadir dan Ibu Harun sebagai warga negeri Kolam Susu. Bukan justru untuk mengadu-hancur kedamaian yang sudah lama ada.

Pak Kadir dan Ibu Harun khusus berpesan kepada orang-orang itu. Pesannya jika diklasifikasi menasihati, takut ada pihak yang tersinggung. Hanya sebatas mengingatkan, boleh saja. Sebelum berdampak negatif dengan negeri Kolam Susu, khususnya penghuni di kampung Drian. Pak Kadir, mengingatkan kalau saja orang-orang yang memberi gelar berniat jahat, bertaubatlah.

“Walaupun tidak memohon. Jika tetap berpikir dan berniat negatif, akan kami maafkan. Apalagi yang berniat baik.”

“Cepat-cepatlah bertaubah. Sebelum Izrael memanggil. Sekujur badan akan menggigil”. Doa malam Pak Kadir dan Ibu Harun.

Wallahualam. ***

Baca : U Baru, Yang Lama?

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *