Blok Sindrom, Bukan Non Blok

Seroja

SYAHDAN konon zaman dahulu kala tidak ada lagi istilah perkelahian. Sejatinya dilatari oleh orang-orang (sebagian masyarakat umumnya) kala itu sudah tidak sepakat untuk berunding. Bermusyawarah apalagi bermufakat istilah saat ini. Mereka (tentu saja orang-orang tersebut), sudah tidak sependapat. Tidak sepaham. Tidak sehaluan. Tidak saling percaya-mempercayai. Saling curiga-mencurigai.

Tentu gejala tetiba saja tidak saling mempercayai, dan saling-mencurigai berujung perpecahan. Saling tuduh-menuduh, menjelekan antar sesama tak dapat dihindari. Keputusan final yang harus ditempuh satu-satunya adalah terbentuknya blok. Yang pasti ada dua blok. Ada blok barat dan timur. Boleh juga tidak menggunakan nama arah, posisi atau istilah tertentu. Lalu namanya apa?

Bernostalgia sejenak. Mengingat-pingat sehilas. Ingat pula kala itu nostalgia “perang dingin”. Bukan perang yang terjadi pada musim dingin. Kalau benar, tentu perangnya di kawasan yang mengalami empat musim. Sementara di kawasan, dua musim, ada penghujan dan panas tentu saja istilah ini kurang pas (nonkontekstual, istilah krennya).

Lucunya tetap saja tidak dapat dihilangkan “perang dingin”. Oleh karena ini hanya makna kiasan (majazi, tidak makna sesungguhnya). Yang jelas ada dua blok, barat dan timur. Perang dingin pun diterjemahkan menjadi “perang ideologi”. Perang dua paham antara komunisme Timur dan kapalitalisme Barat. Esensinya perang yang diklaim antara “masyarakat percaya pada tuhan dengan yang tidak percaya”.

Di tengah-tengah meruncingnya pertarungan dan persaingan blok barat dan blok timur ada pula istilahnya Non Blok. Dunia yang sebelumnya terbelah menjadi dua blok, waktu itu ada ada yang lain. Namanya gerakan Non Blok.

Di ujung sudut kiri kanan, dan atas pun bermula pergunjingan yang ditandai dengan pertanyaan di masyarakat dunia sebelah lain: apakah non blok, bukan bagian dari blok? Inilah perdebatan siang, malam tengah sehingga subuh yang tak ada ujungnya. Terjadi bukan saja perbedaan bloknya, melainkan saingan blok lainnya.

Saat itu sebenarnya ada berapa blok? Dua atau tiga blok? Non Blok, tetap saja bagi pendukung blok barat dan atau blok timur adalah blok. Sementara, versi pendukung Non Blok, bukan bagian dari blok.

Sungguhh aneh memang dunia, bukan negeri ini. Tapi dulu ya. Ada yang aneh bin uniq. Ada lembaga politik, tidak mau disebut sebagai lembaga politik. Namanya hanya golong orang-orang yang mempunyai karya. Dapat dimaknai yang tidak punya karya, bukan dari goloangannya. Begitulah setiap zaman punya keuniqannya.

Walaupun begitu, tidak juga dapat dikategori “lain lubuk, lain pula ikannya”. Sebab, selalu saja muncul secara tetiba pertanyaan yang sukar dijawab. Ada kata blok dibelakangnya. Tetapi, tetap saja tertulis “Non Blok”. Lalu, blok yang dikmaksud sebagai apa? Sebagai non atau blok? Apakah juga bukan menunjukan bagian dari sebuah blok?

Setiap kali ada pertanyaan, secara logistik, logis sukar menjawabnya.

“Kami tidak berpihak.”

“Kami tidak mendukung blok ini, blok itu.”

“Kami berada di tengah-tengah.”

“Tatapi, kami tidak berada di mana-mana.”

“Kami adalah Non Blok”?!!

Sudah seratus, seribu, sejuta, semiliar bahkan berbuih-muih pertanyaaan yang selalu dikemukakan khalayak ihwal sikap kami. “Apakah Non Blok, bukan bagian dari blok?”

Begitulah kisruh-miruh negeri Kolam Susu sebuah kisah mengawali. Bermula dendang-dendung, dodoi-mendodoi bela anak-anak negeri dari krisis Non Blok. Para petinggi tak sanggup menangani. Tak ada cara lain mencegah perdebatan tentang Non Blok bagian dari blok atau bukan? Sindrom Non Blok menghantui negeri Kolam Susu.

Bisik-bisik yang berkembang, lembaga kecerdasan khusus sudah mensuplai informasi penting. Infonya jika dalam waktu satu bulan ke depan, jika Sindrom Non Blok belum berhasil binasa, gawat. Akan tamat negeri ini. Begitulah bisik-bisik. Terus-menerus menghantui negeri Kolam Susu.

Masalahnya dari info bisik-membusuk yang saya punyai. Info bersumber dari medsos. Walaupun susah untuk dipercayai begitu saja. Lalu mau mempercayai yang mana? Bukankah regulasi sedang akan diperbaiki? Regulasi terkait informasi.

Saya berharap sumber media utama, tentu tak mungkin. Info medsos mengkonfirmasi jika kekhawatiran para penguasa negeri Kolam Susu, sebenarnya bukan pada Sindrom Non Blok.

Mereka justru sangat takut pada orang-orang yang sudah mempunyai blok. Orang-orang ini justru yang mempunyai pendirian. Orang-orang yang konsisten. Walaupun banyak bisik-bisik konsistensinya beraltar kepentingan pribadi atau keluarga. Isunya bukan masalah. Yang penting sikapnya konsisten.

Yang walaupun tidak sesuai dengan bidangnya. Begitulah kata-kata orang awam. Ingat! Bukan kata pujangga ya.

Konsisten. Tetap pendiriaan. Istiqomah. Itulah sewajib hendaknya bersikap.

Saya pun terkejut-majut. Mata saya kaku. Lidah saya keluh. Saya baru sadar. Saya baru bangun dari tidur lelap. Saya pun terkekeh-mehe. Saya ingat. Saya berlebihan menyerup kopi.

“Saya bermimpi?!!”

Wallahualam. ***

Baca : Pak Kadir, Ibu Harun

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *