Meriau-riaukan Riau [dalam Puisi] (2)

krisis Kesusasteraan

MERIAU-riaukan Riau [dalam Puisi].

Pemantik berikutnya hingga munculnya seri tulisan ini adalah puisi karya TM Sum (TMS) yang berjudul “GELANGGANG INI BERNAMA RIAU”. Puisi ini bersama 7 puisi beliau lainnya termuat satu halaman penuh dalam Riau Pos edisi tepat pergantian tahun, 31 Desember 2017, hal. 9. Dengan puisinya ini TMS nampak geram setengah meradang terhadap kondisi Riau terkini, terutama sehubungan dengan ketidakharmonisan yang berlaku pada orang-orangnya. Terlebih lagi, saya boleh menduga, yang dimaksud TMS adalah para tokohnya, utamanya tokoh-tokoh Melayu sebagai pewaris tanah bernama Riau ini. Lihatlah: “gelanggang ini | bernama riau | mengapa kita | saling menghunus keris”; katanya.

Barangkali apa yang dilihat oleh Penyair sebenarnya juga dapat disaksikan dan [terutama] disadari oleh banyak orang lainnya. Namun memang seringkali sulit dikatakan, ataupun dikemukakan, karena alasan-alasan tertentu. Ada persoalan tenggang-rasa, adab, segan, malu, atau bahkan takut. Ada juga resam adat-istiadat yang seolah-olah memagari. Hal semacam ini sebenarnya juga sudah pernah diangkat oleh Datuk Mahathir bin Mohamad setengah abad yang lalu, dan menjadi salah satu keprihatinannya yang menurutnya juga menjadi salah satu penyebab orang Melayu sulit untuk maju. Dan di sini TMS mencabarnya lewat puisi.

Bagaimana dalam belasan tahun belakangan ini keriuhan politik dan kekuasaan berdentum-dentam di laman Riau, hingga mengabaikan bahkan kadangkala sampai menginjak-injak tata-nilai yang berlaku. Sistem nilai: tradisi, adat-istiadat, dan agama Islam yang berlaku dalam alam Melayu/Riau. Sebagian orang akan berpendapat bahwa itu semua terjadi adalah sekadar efek eforia sebagai akibat dari sistem demokrasi yang berlaku, era keterbukaan, serta kebebasan setelah Reformasi. Tetapi ini agaknya alasan yang naif ketika masih juga diajukan setelah satu generasi berlalu [atau memang ada problem dalam sistem demokrasi itu sendiri, yang mungkin sebenarnya tidak compatible dengan budaya kita]. Ada semacam keengganan sebenarnya untuk benar-benar berubah. Status-quo adalah zona yang nyaman bagi orang-orang tertentu.

Dalam batas-batas tertentu terjadinya perbedaan pendapat dalam diskusi, pertelagahan, perdebatan, hingga konfrontasi adalah baik guna menemukan atau menentukan kebenaran – atau sekurang-kurangnya keseimbangan baru. Tetapi itu hanya akan berguna bila dilakukan secara atau dalam ranah intelektual, bukan emosional, apalagi primordial. Pada kenyataannya, yang terjadi seringkali lebih mengedepankan faktor-faktor emosional dan/atau primordial hingga yang mengemuka pada akhirnya bukanlah pencarian kebenaran melainkan pembenaran. Maka kita dapat melihat sering terjadi peristiwa offside. Mulai dari sekadar pertelagahan antar sesama tokoh yang tak sepaham, sulitnya menyatukan orang [tokoh-tokoh] Melayu/Riau, hingga kasus-kasus korupsi yang merebak nyaris di segala tingkat jabatan hingga ke gubernur! Akibatnya, banyak wacana/fenomena penting di Riau melayang begitu saja, karena kita hanya sibuk saling tarik urat sendiri. Lupa menghimpun kekuatan untuk tujuan yang lebih mustahak.

Memang, apa yang terjadi di Riau yang mengesalkan sang penyair itu nampaknya juga terjadi di bagian lain di Indonesia, meski tidak semua. Di beberapa wilayah yang sudah memiliki resam kebudayaan yang kuat mereka mampu menghimpun pendapat dan kekuatan dalam membahas/mengajukan suatu wacana. Meski demikian, bagi TSM seharusnya yang seperti itu tidak terjadi di Riau – dengan alasan-alasan tertentu. Katanya: “kita telah menjadi | tuah dan jebat | dengan tameng sari | di pinggang | tersarung gagah | tapi tak tahu | siapa lawan | yang harus dihembat | siapa yang bermain di belakang layar | apakah Patih Karmawijaya dalangnya?”.

Allahyarham Tenas Effendy (TE) dalam Kearifan Pemikiran Melayu (KPM; 2013, ISBN 978-602-17380-0-9) telah mengingatkan kita bahwa saat ini sepertinya kita (Melayu/Riau) dalam keadaan yang tidak menggembirakan. Di mana terjadi degradasi di banyak sektor; baik itu karena pengaruh eksternal, internal, atau kelindan di antaranya. Dan dalam banyak keadaan, orang Melayu Riau mengalami banyak tekanan, seperti mulai kehilangan jatidirinya. Segala nilai-nilai kearifan yang konon ranggi itu seperti entah hilang ke mana, sementara saat yang bersamaan orang-orang Melayu seperti terpecah-belah, atau setidak-tidaknya tersegregasi. Dalam bahasa TE: “… walaupun nampaknya orang Melayu Riau tetap ‘bersatu’ tapi hakikatnya bersatu dalam wujud yang semu, yang goyah kerana ‘persatuan’ itu lebih banyak dimulut daripada kenyataannya.” (KPM: 147).

TE pun melalui bukunya itu telah mengungkapkan persoalan yang memprihatinkan ini, dengan nada kepedihan yang mendalam, bahkan kadangkala dengan nyaris berupa amarah. Menurut beliau hal kebendaan telah dijadikan tujuan hidup dan tumpuan kejayaan, bahkan hingga menyangkut status sosial orang Melayu. Nilai-nilai agama dan budaya secara sadar atau tidak, kian hari kian diketepikan, terabai dan dilupakan (KPM: 18). Beliau juga mengatakan bagaimana orang-orang Melayu terkini semakin banyak yang kehilangan nilai-nilai asas budaya yang seharusnya menjadi jatidirinya. Rasa kebersamaan dan kegotong-royongan menjadi longgar, hidup menjadi nafsi-nafsi, keberhasilan seseorang dinilai hanya dari sejauh mana keberhasilannya mengumpulkan harta dan kekayaan atau mendapat kedudukan tinggi dalam pemerintahan. Nilai-nilai timbang rasa, tenggang rasa dan budaya “seraya menyeraya” mulai pupus (KPM: 18-19).

Dalam kehidupan berpolitik pula, dalam konteks etika politik, TE memandang sebagian politisi yang memegang jabatan penting sudah berkelakuan yang tidak sesuai lagi dengan tatanan nilai budaya Melayu. Kesantunan berpolitik dan berbudi bahasa, kearifan budi pekerti dan perilaku mereka sudah terabaikan, sehingga terjadilah tindakan dan perangai yang tidak wajar, seperti saling cerca mencerca, maki memaki, …. Padahal, perkataan dan perilaku yang tidak senonoh serta saling membuka aib malu itu hakikatnya dipantangkan oleh adat-resam Melayu dan dilarang oleh ajaran Islam (KPM: 24). Uraian TE semacam ini barangkali oleh sebagian orang masih dianggap terlalu lunak, karena TE belum (barangkali sengaja tidak) menyentuh kepada persoalan yang lebih mendalam, dan barangkali lebih vulgar lagi.

Sementara itu menurut TE dalam bidang ekonomi kita juga sudah mengalami masalah yang besar akibat perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya itu. Nilai-nilai pemikiran Melayu yang mengarahkan orang untuk menjadi pelaku ekonomi yang baik dan terpuji, telah berpaling tadah ke arah ketamakan dan keserakahan (KPM: 25). Dalam saat yang sama kita juga dapat melihat bagaimana kita seperti mengabaikan atau bahkan tak peduli dengan warisan-warisan alam dan leluhur yang sesungguhnya memiliki nilai ekonomi itu, hingga begitu mudahnya dimanfaatkan atau bahkan dirampas oleh orang lain hingga luput sebagai rezeki anak-cucu kita – atau bahkan kita ikut dalam sandiwara kongkalikong itu. Padahal, sekali lagi, TE sudah pula menghamparkan warisan kearifan leluhur melalui pepatah-petitih: “apa tanda Melayu beradat | memelihara hak milik tiada sesat | memelihara pusaka ianya taat | memelihara amanah ianya kuat” (Tunjuk Ajar Melayu: 245).

Maka TMS pun mengingatkan: “bagaimanakah menggapai sampai | ke bukit bukit kemenangan | ke gunung gunung kejayaan | kalau kita saling menyerang | tikam menikam | di kandang sendiri”.

Jasman Bandul (JB) pula dalam “MIMPI SEKAMPUNG” (Mata Hari Sastra Riau, 2017: 51-53) juga mengurai tanya dan otokritik itu. Dia memulainya dengan ilustrasi yang liris, serasa merabuk rindu: ”Di belakang pondok tua, sebatang leban tumbuh miring | Tepat di cucur atap dapur | Sepasang merbah hinggap di ranting-ranting | Nyanyian mimpi di kampung melayu | ‘Takkan melayu hilang di bumi’ …”. Seolah ingin mempersiapkan kita tentang “sumpah suci” itu, sebagai sebuah ingatan kolektif.

Tapi segera pula dia menghentak. “Inilah sengketa yang jalu | Tak tentu hala menebar mara | Bukankah kita sedang mimpi panjang | Dalam tidur yang resah”. Penyair melihat, orang-orang Melayu/Riau terkini seperti sedang tidur panjang, yang hanya resah di dalam mimpinya. Mimpi tentang kejayaan masa lalu, yang membenamkan lekuk bahu bagai beban yang bnertalu-talu. Mimpi tentang kesengsaraan masa kini di mana diri serasa dibelenggu, dan sudah merasa bahagia meski hanya dipelawa dengan sereguk madu. Hingga kegeramannya menjadi retorik di akhir sajak: “akankah melayu hilang di bumi”.

Seperti TMS, JB juga mengingatkan: “Sementara banyak pakar terkapar | menyuarakan hati dengan bisik dan lirik, | Rumah kebudayaan terlantar | Budayawan remuk menyuarakan amuk. | Gedung khasanah bertanah lapah | Sisakan sumpah seranah, proyek kaku, ambisi gelar dan nama besar”. Kita lihat, memang sepertinya para intelektual kita kurang terasa gaung suara dan keilmuwannya; setidaknya dalam hal menganjung wacana-wacana/fenomena-fenomena penting; termasuk hal ke-Riau-an dan/atau ke-Melayu-an, masih terasa sedikit sekali. Apabila ada permasalahan di antara keduanya, kita rasanya belum mempunyai pakar yang memiliki kekuatan intelektual/akademik yang otoritatif untuk menandingi wacana “penyerang”. Umpama untuk mengangkat hal ke-Melayu-an dalam konteks historiografi saja misalnya, kita tak/kurang memiliki sejarawan seotoritatif Taufik Abdullah misalnya, yang akan membuat wacana kita tentang Melayu/Riau akan sulit digugat/ditandingi oleh siapa pun. Belum lagi kalau ingin menjawab tantangan masa depan dalam wacana/fenomena ilmiah/keilmuwan lainnya.

Contoh-contoh di atas adalah menyangkut ranah kebudayaan, di mana suatu komunitas diuji dan disaksikan kemajuannya, hingga menjadi suatu peradaban gemilang, atau sekadar mentimun bungkuk. Sementara pada kita sendiri [saat ini], seperti kata JB: “terlantar”. Sambungnya lagi dengan tanya: “Kemanakah hendak diabahkan igau ini | Agar tidak menjadi mimpi ngeri?”.

Agar tidak menjadi mimpi ngeri, JB sebenarnya sudah memberikan sekerlip “pelita” pada bait sebelumnya. “Mari merenung wahai para laskar | gedung megah terbiar lusuh | Akademi tercipta terbiar runtuh | Tak lain mengatasnamakan pembangunan”. Sebuah paradoks, memang.

(bersambung)

Baca : Max Havelaar & Indonesia Terkini

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *