Opini  

Negara Kritis di Kala Pandemi Covid-19

Negara Kritis Di Kala Pandemi

KONDISI Pandemi Covid-19 saat ini, Negara terlalu banyak kebijakan yang dibuat Pemerintah bahkan Anggota Parlemen yang tidak pro Rakyat, terutama kepada kebenaran dan keadilan. Seperti bak dapat durian runtuh, beberapa regulasi yang dibuat sangat menciderai amanat dalam konstitusi. Contoh saja seperti UU Cipta Kerja yang banyak merugikan kaum Rakyat dan menguntungkan kaum oligarki. Ataupun Kita bisa lihat di kondisi Pandemi justru banyak Maling memanfaatkan kondisi ini untuk memperkaya diri dan lingkungan sekitarnya, sebut saja kasus korupsi bansos, benih lobster dll. Belum lagi utang negara yang sangat luar biasa ketika melihatnya. Sangat banyak ketidakadilan di pertontonkan di dalam negeri ini.

Ketika Rakyat ingin bersuara, serasa dibungkam dengan UU ITE. Kriminalisasi sangat mudah dilakukan jikalau suara itu mengganggu telinga penguasa. Ketika ingin bersuara kelapangan, jurus regulasi covid sangat mudah digunakan dalam membubarkan kerumunan secara paksa. Alih alih memberikan regulasi penanganan covid dengan asas salus populi suprema lex esto “Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi” justru lebih banyak menjadi bisnis dan alat pengontrol masyarakat sesuai selera penguasa dan koleganya.

Baca : Hasrat Menjadi Pemimpin

Sering Kita mendengar “salus populi suprema lex esto”. Adagium latin ini pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Romawi kuno Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dalam bukunya “De Legibus”. Kemudian, Thomas Hobbes (1588-1679) dalam karya klasiknya “Leviathan” dan Baruch Spinoza (1632-1677) dalam karyanya “Theological-Political Treatise” menyebutkan terminologi yang serupa. Selain itu, John Locke (1632-1704 M) juga menggunakan diktum tersebut dalam bukunya “Second Treatise on Government” dengan merujuknya sebagai salah satu prinsip fundamental bagi pemerintah.

Cicero pada saat itu membayangkan, di bawah ancaman situasi dan keadaan darurat maka keselamatan rakyat harus menjadi tujuan yang paling utama, termasuk jika harus menyampingkan aturan hukum. Prinsip ini lalu menjadi jangkar dalam pengambilan keputusan selama berabad-abad dalam teori pemerintahan, khususnya di benua Eropa. Menurut Benjamin Straumann dalam bukunya “Crisis and Constitutionalism: Roman Political Though from the Fall of the Republic to the Age of Revolution” (2016), prinsip Cicero tersebut banyak disalahartikan dengan menempatkan tujuan keselamatan rakyat tanpa mengandalkan hukum dan konstitusi, namun lebih bergantung pada karakter kebajikan dari mereka yang memiliki kekuasaan.

Pandangan inilah yang turut memunculkan konsep raison d’état atau “alasan negara”. Konsep tersebut berpedoman pada alasan politis murni bagi tindakan pemerintah yang mendasarkan pada kepentingan nasional, namun seringkali melanggar prinsip-prinsip keadilan. Inilah yang terjadi sejak masa Niccolò Machiavelli (1469-1527) hingga Carl Schmitt (1888-1985), di mana para ahli teori kedaulatan dan keadaan darurat dari Italia dan Jerman abad ke-20 memandang bahwa pada masa krisis atau darurat, instrumen yang menjadi penting bukanlah tatanan hukum dan konstitusi, tetapi keputusan pemimpin. Akibatnya, tak mengejutkan apabila beberapa negara Eropa mengalami sejarah pahit di bawah kepemimpinan diktator. Penyebabnya, mereka memberikan kekuasaan sangat besar kepada pemimpinnya dengan alasan untuk memudahkan tercapainya tujuan negara.

Hal yang paling penting, semua pengambilan keputusan dan kebijakan tersebut tidak boleh keluar dari koridor konstitusi. Di sinilah prinsip-prinsip konstitusionalisme Indonesia akan diuji implementasinya. Apabila keputusan dan kebijakan diambil dengan mengatasnamakan keselamatan rakyat, namun ternyata keluar dari aras konstitusi, apalagi justru membahayakan kehidupan rakyat, maka sudah pasti hal tersebut menyimpang dari tujuan bernegara.**

Alfin Julian Nanda,SH
(Paralegal LBH YHRS Pekanbaru)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *