Semesta Sastra (4)

Sastrawan

2. Dunia sang sastrawan

Apakah yang terpenting dilakukan oleh seorang sastrawan dalam berkarya? Perenungan, atau kontemplasi, atau tafakur. Kegiatan mental ini dilakukan pada hampir – atau bahkan seluruh – tahap proses suatu karya sastra [yang bahkan pada beberapa sastrawan juga tak jarang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari, di luar sastra]. Baik pada tahap pra penciptaan, tahap proses penciptaan, maupun paska penciptaan. Namun seringkali setiap tahapan itu tidak mendapatkan “kapasitas perenungan yang sama”. Ini wajar dan lumrah, karena setiap pengarang mempunyai fokus perhatian dan kemampuan yang berbeda. Kebanyakan sastrawan seringkali abai saat tahap paska penciptaan, dan hanya berfokus pada tahap kedua saja, yaitu saat proses penciptaan; serta sedikit saja yang benar-benar bersedia menyisihkan waktunya untuk berkontemplasi pada saat tahap pra penciptaan.

Merenung adalah aktivitas utama yang sama dilakukan oleh para nabi, filsuf, sastrawan, dan ilmuwan teoritis. Merenung selain merupakan konsep/kegiatan mental, dalam keadaan tertentu seringkali mendapat bimbingan atau pencerahan dari alam religiusitas. Begitu tingginya nilai aktivitas ini – yang dalam pandangan awam sering disepelekan atau dilecehkan sebagai sekadar “kegiatan” bermenung atau mengkhayal belaka [yang dengan demikian tidak ada manfaatnya; bedakan dengan permenungan, yang masih setingkat di bawah perenungan] – sehingga Rasulullah SAW bersabda: “Merenung sesaat untuk (bertafakur) lebih besar nilainya daripada amal-amal kebajikan yang dikerjakan oleh dua jenis makhluk (manusia dan jin).” (HR Ibnu Majah).

Bagi para filsuf, tak dipungkiri aktivitas perenungan itu adalah [nyaris] merupakan seluruh aktivitas intelektual yang dilakukannya. Bukan saja karena produk yang akan dihasilkannya tidak ada yang berbentuk fisikal atau material yang berguna secara praktis, namun terlebih karena fokus kajiannya lebih kepada sistem nilai, struktur dan sistem pengetahuan, konstruksi alam semesta (lebih kepada kosmologi), dan/atau persoalan-persoalan mendasar dari umat manusia (humankind), serta konsep dan sistem yang berkaitan dengan metafisika. Dalam aroma jenaka dan kerendah-hatian Bertrand Russerl menyebutkan: “…, kegunaan tidak menjadi bagian dari filsafat. Jika studi filsafat memiliki suatu nilai bagi orang lain ketimbang bagi para mahasiswa filsafat, hal itu pasti secara tidak langsung, melalui efeknya terhadap hidup mereka yang mempelajarinya. Karena itu dalam efek-efek inilah, jika ada, nilai filsafat dicari.” (Persoalan-persoalan Seputar Filsafat, 2002: 182).

Demikian juga dengan para ilmuwan teoritis seperti Albert Einstein dan Stephen Hawking misalnya, mereka tak jauh beda seperti filsuf. Mereka jauh lebih banyak menggunakan “metode” perenungan dibanding percobaan-percobaan yang bersifat fisikal yang biasa dilakukan ilmuwan eksperimentalis. Ini bukan saja karena umumnya produk kajian mereka tidak serta-merta dapat digunakan secara praktis, namun juga karena kajian mereka lebih bersifat elemental, berkutat di antara aksioma premis dan proposisi; sehingga hasil paling “tinggi” dari perenungan itu baru berupa teori (yang kadangkala disertai suatu formula), kalau bukan sekadar hipotesis. Apakah karena “status” produk itu lantas membuatnya menjadi tidak atau kurang berguna dibanding Edison (dengan lebih dari 1.000 hak paten) atau smartphone? Jelas keliru. Seperti juga Newton atau al-Khawarizmi, justru mereka adalah para raksasa dalam bidang sains dan teknologi. Merekalah yang membangun pondasi dan struktur bangunan ilmu pengetahuan. “Dibanding” dengan ribuan tank dan pesawat yang telah digunakan, “hanya” dengan E=mc2 Einstein, Perang Dunia II berhasil dihentikan. Dalam bahasa Eistein: “Yang terpenting adalah jangan sampai orang berhenti mempertanyakannya. Keingintahuan itu tentu ada alasannya sendiri mengapa sampai ia berada” (Einstein, Sebuah Biografi, 1986: 346).

Sastrawan kadangkala juga adalah seorang filsuf (seperti Jean Paul Sartre), atau boleh juga digeneralisir setiap sastrawan pada dasarnya adalah juga seorang filsuf. Kenapa begitu? Karena seperti seorang filsuf, sastrawan juga mempertanyakan (mengkaji dan membentangkan) hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai, tentang pengetahuan, tentang alam semesta, tentang kemanusiaan, dan religiusitas. Bedanya: bila seorang filsuf mengkajinya dengan seperangkat aturan yang logis dan ketat, sastrawan justru menggunakan bahasa yang bersifat idiosinkretik (“penyimpangan kaidah gramatika pada ragam bahasa […]”, J.S. Badudu, Mei 2003: 146).

Maka adalah sudah semestinya pula sang sastrawan dalam pergulatan dengan karyanya memerlukan aktivitas perenungan, kontemplasi, tafakur yang mendalam; agar, bila dilakukan pada saat pra dan proses penciptaan dapat dihasilkan karya sastra yang berkualitas dan “abadi”, atau bila dilakukan pada saat paska penciptaan juga akan menjadi batu loncatan bagi karya selanjutnya. Sayangnya, seperti sudah disampaikan tadi, nampaknya pada masa-masa ini aktivitas mental ini seperti sudah bukan lagi hal yang utama, bukan lagi hal yang terpenting dalam proses bersastra, kalau bukan malah “sudah” dilupakan. Kalaupun ada aktivitas perenungan yang terjadi, itu tampaknya lebih kepada persoalan yang berkaitan dengan aspek-aspek keestetikaan belaka. Ini memang adalah pandangan yang subjektif, tapi – sekali lagi – cobalah merenung.

Gejala, kalau boleh disebut demikian, batu uji persoalan ini barangkali yang paling umum dapat dilihat adalah bagaimana pandangan dan tanggapan sang sastrawan – kalau bukan malah [sekadar] reaksi – terhadap berbagai wacana maupun fenomena terbaru. Barangkali karena sudah “tuntutan” zaman yang bergerak begitu cepat, para sastrawan juga nampaknya tidak ingin tampak seperti sekumpulan umat yang ketinggalan kereta dalam menghadapi berbagai wacana dan fenomena teranyar. Tsunami di Aceh, dua hari kemudian sudah tercipta puisi tentang tsunami. Palestina dibom, tiga hari kemudian sudah muncul puisi tentang Arafat. Gempa di Palu, esoknya sudah tercipta cerpen tentang gempa itu. Militer Myanmar dengan restu Aung San Su Kyi membombardir Muslim Rohingya, empat hari sesudahnya jadilah cerita. Ustadz dianiaya orang gila yang gila-gilaan, Muslim Uighur di Xinjiang yang dibenamkan ke dalam kamp cuci otak, korupsi menteri anu yang sedang nganu, dst.

Tak dipungkiri, kemajuan teknologi informasi dan kepesatan terabit gelombang informasi, terkhusus di dunia maya, tak urung memang dapat memancing “gairah” para sastrawan dalam menghadapi alam sekitaran. Ditambah lagi, dalam alam maya sekarang ini nilai-nilai kepesertaan – atau bahkan ke-ada-an – seseorang di dalam jagad raya nampaknya sudah beralih ke dalam jagad maya. Dia menjadi ada ketika viral (bukan lagi cogito ergo sum, misalnya) – terlebih secara audio-visual, dengan beratus-ribu subscribes, berjuta viewers, atau sekurang-kurangnya beribu followers. Tanpa sadar ini semua sebenarnya adalah bagian dari jejaring kapitalisme [yang seringkali menyaru dalam pola demokrasi], ketika jumlah suara bukan saja bernilai politik, tetapi juga ekonomi.

Adalah memang sudah watak sastrawan sebenarnya untuk begitu mudah bersimpati, bahkan berempati atas suatu wacana atau fenomena. Terlebih-lebih bila hal itu menyangkut tercederainya aspek-aspek kemanusiaan. Inilah salah satu kelebihan terbesar kaum sastrawan. Menyangkut aspek latar belakang psikologis sastrawan, dalam hal pengetahuan, perasaan, dan dorongan naluriah yang pada umumnya cenderung dekat pada aspek-aspek serta persoalan-persoalan kemanusiaan. Tetapi menjadi pertanyaan ketika baru berselang beberapa waktu suatu wacana atau fenomena baru muncul, sebuah karya sastra yang [tampak, atau bahkan dinisbatkan] berkaitan dengan wacana atau fenomena baru itu sudah tercipta dan muncul pula di ruang publik. Pertanyaannya dalam konteks ini: adakah karya itu sudah masak ditanak dalam kawah chandradimuka? Sudah cukupkah? Apakah tidak terlalu tergesa? Apa bukan sekadar hanya ingin ikut viral dan exist belaka?

Persoalannya kontemplasi sering membutuhkan waktu – seringkali waktu yang tidak sedikit. Tersebab perlu mengumpulkan lebih banyak informasi yang berkaitan, lebih valid/terverifikasi, analisis, pendalaman, dan pematangan. Saya tak ingin mengatakan bahwa karya-karya sastra yang tercipta dengan seketika itu (umumnya puisi dan cerpen) tidak memiliki kedalaman. Beberapa sastrawan mungkin memang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni sehingga ia mampu memahami dengan seketika sebuah wacana atau fenomena baru dengan penuh kewaskitaan, tetapi saya yakin sebagian besar tidak demikian. Apatah lagi di alam yang banjir bandang dengan beragam informasi sekarang ini, bahkan termasuk dengan informasi yang tidak akurat, fake, bahkan hoax.

Saya ingat – sayang sudah lupa sumbernya dari mana, mungkin dari sebuah artikel wawancara; semoga tidak keliru – Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri pernah menyatakan (mungkin menjawab sebuah pertanyaan, kalau tak salah waktu itu sedang fenomenal kasus Arie Hangara) yang maksudnya kira-kira begini: bahwa beliau tidak mampu (atau mungkin tidak ingin) membuat dengan cepat sebuah karya sastra yang berkaitan dengan suatu peristiwa yang baru saja (belum lama) terjadi, sebab beliau membutuhkan waktu untuk perenungan. Sebuah “kutipan” yang tentulah layak direnungkan juga, agar sebuah karya tidak menjadi artifisial.

(bersambung)

Baca : Meriau-riaukan Riau [dalam Puisi] (2)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *