Cupak Sri Benalu

rumah singgah

Ini bukan Cupak zaman dulu
Dibuat dari tempurung kelapa
Alat penyukat ganti timbangan

    Sukat anak ikan sukat biji petai

Ini Cupak ciptakarya Sri Benalu
Alat penguntil pendapatan jelata
Benda s’kenek pun akan kelihatan

    Jauh pun disimpan dapat diintai


MUSIM pandemi. Tapi pasar tidak boleh sepi. Kalau sepi pasar ekonomi akan mati. Biarlah banyak mati bergelimpangan setiap hari. Asal ekonomi harus tumbuh seperti ditargetkan jauh-jauh hari. Siasati semua celah peluang potensi. Tidak ada ruang boleh impotensi.

“Yang penting kita untung, biarlah mereka rugi.”

Orang-orang pun di pasar tetap sibuk keliling ke sana kemari. Pedagang juga sibuk, macam-macam barang yang ditawari. Mulai pakaian yang digantung rendah dan tinggi sampai kuali periuk panci.

Boss – penguasa pasar, sangat senang, suasana pasar tetap ramai. Cuma dia agak gusar, pendapat dari pungutan selama ini sudah tidak lagi memadai, target tidak tecapai. Rancangan pembangunan pasar baru yang diprogramnya memerlukan anggaran amat besar, tetapi pendapatan yang dikutip dari pedagang dan pengunjung pasar tidak lancar dan sudah sangat tidak lagi sesuai.

Itu baru anggaran pasar, belum masuk anggaran jalan mewah keliling pasar yang melingkar-lingkar. Untuk memudahkan dan memperlancar investasi dan transaksi para saudagar.

Dari bangunan tinggi di tengah pasar itu, Boss terus memandang aktivitas pasar yang berada di bawah. Dia terus berupaya berpikir keras menemui siasat yang jitu, bagaimana hasil pendapatan pasarnya harus bertambah?

Di kejauhan Boss melihat asistennya ~ Sri Benalu ~ turun dari helikopter di depan pasar. Pakai jaket hitam, t-shirt hitam, celana hitam, sepatu hitam, dan berkacamata lebar. Dia melangkah dengan senyum yang terus dia tebar-umbar, memasuki pasar, dengan rambut pendeknya yang agak berkibar-kibar. Para pedagang yang melihatnya datang pun saling berpandangan, melotot; terpendar-pendar.

Boss di atas gedung tinggi pasar tersenyum lebar.

“Hebat! Jalan lingkar yang kita buat lebar di laman pasar, ternyata bisa juga jadi lapangan heli yang berbadan besar.”

Sri Benalu ingin menemui sang Boss di ruangannya, di lantai paling atas. Tetapi baru akan masuk lift, eh alih-alih sang Boss yang keluar dari pintu lift.

“Bos mau ke mana?”

“Mau di sini-sini saja.”

“Oo.”

“Mari! Kita jalan keliling pasar. Nanti langsung pulang.”

Boss dan Sri Benalu berjalan beriringan. Mereka melangkah di lorong-lorong pasar. Melangkah di antara para pedagang. Melangkah di tengah-tengah orang ramai. Sambil melangkah sambil Boss memandang-mandang barang-barang dagangan. Sambil melangkah sambil juga Sri Benalu mendelak-delik keramaian kiri-kanan. Para pedagang dan pengunjung pasar tertoleh-toleh, pandang-memandang, saling pandang.

“Masih banyak peluang, Boss,” kata Sri Benalu.

“Ya, tangkap saja. Maksimalkan.”

“Hmm..!”

“Yang di pinggiran, jauh dari pasar, diintip juga.”

“Hmmm..!”

Boss berhenti sejenak di depan kedai. Dia menyentuh ujung pakaian, selembar daster, yang tergantung dengan telunjuknya.

Pedagang pemilik kedai gelagapan.

“Mohon, Pak. Mohon. Jangan disentuh, Pak. Saya pedagang kecil. Jangan dicupak!

Dicupak?

Boss terheran. Tidak biasa ada pedagang melarang pengunjung menyentuh barang dagangannya.

Boss melangkah lagi. Diikuti Sri Bunalu. Setelah beberapa langkah berhenti di depan kedai lain pula. Kali ini Boss coba menggenggam-genggam beras di karung pedagang sembako.

“Ini beras mudik, ya?” tanyanya sambil meremas-remas beras itu dan menaburkannya kembali ke karung beras.

“Bukan, Pak. Bukan, Pak. Ini beras hilir. Tidak boleh dicupak.”

Boss menyengir. Kembali berlalu dikuti langkah Sri Benalu. Mereka sama-sama ingin menuju transportasi yang akan membawa mereka. Sri Benalu menuju ke helikopternya. Sedangkan Boss menuju ke tempat terparkir motor mogge -nya.

Ketika mereka kiss by akan berpisah di depan pasar itu, seorang anak muda yang baru masuk ke tempat parkir sepeda motornya tetiba saja segera mematikan mesin motornya. Lalu secepat kilat pula dia menutup knalpot mototnya dengan plastik tarpal pemilik pedagang kaki lima.

Emak-emak pemilik tarpal protes, tarpalnya dirampas begitu saja.

“Emak..! Maaf, emakk..! Saya tidak mau suara knalpot sata kena cupak..!” teriak anak muda itu.

Belum selesai si emak kaki lima dikejutkan penarikan plastik tarpal miliknya, alih-alih pula seorang ibu muda yang tengah hamil tua, yang tengah memilih-milah sayur-mayur di atas tikar yang dibentangkan di atas aspal, terkejut setengah mati ketika terpandang sosok Sri Benalu menjelma bersama bossnya.

Wanita ini secepatnya berupaya bangkit dari jongkoknya di hadapan taburan jengkol. Hikks! Lalu dia berusaha berlari dengan perut buncitnya yang bergelantungan. Langkahnya terenggak-enggak, melenggak-lenggak pinggulnya, macam langkah itik bebek yang tak pandai terbang, payah kembangkan kepak.

Para pedagang, emak-emak di pasar ini di berbagai lapak, sontak berteriak.

Heyy …!! Kamu hamiill..! Jangan berlari..!!”

“Stopp..! Bisa beranak jungkir-balik nanti..!!”

Para pedagang jantan dan emak-emak yang sangat cemas dengan keselamatan wanita ini terus berteriak-teriak. Tetapi wanita hamil besar terus berupaya terus lari.

“Saya tak mau anak saya lahir dicupak..!” Suaranya, tersedak-sedak, sambil tetap terus berlari, terengah-engah.

Dicupak?

Seorang atuk-atuk terheran-heran mendengar kata-kata perempuan ini.

“Anak lahir dicupak? Apa itu? Biasanya yang dicupak-cupak itu onggokan anak ikan pantau dari sungai, onggokan biji petai dari Kampau.”

Cupak itu kena ‘Cukai Pajak‘, Atuk, ” kata seorang gadis yang berdiri di samping Atuk, menjelaskan.

“Nan begitu-begitu dicupak jugak..?”

Atuk tak habis pikir.

“Kalaulah awak nan melahirkan awak pilih bidan kampung saja. Tidak dicupak-cupak. Tidak dapat dipantau-pantau. Sudahlah anak awak lahir langsung menanggung utang penguasaha, dicupak pulak..”

Anak gadis terkikik.

Tiba-tiba terdengar lagi suara wanita hamil tua tadi. Dia merintih kesakitan. Napasnya tersengal-sengal. Tersandar di tumpukan-tumpukan kardus bekas dan kumal.

“Carikan saya bidan kampung..!” teriaknya.

“Nah! Suai di awak ‘ tu …” gumam atuk.***

Baca : Banteng Bersayap Kupu-kupu

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *