Joint Corona

rumah singgah

Roman Tikam Anarko dan Corona

Anarko dengan Corona tidak pernah
berkenalan. Satu di penjara. Satu lagi
terus bergerilya setelah tetiba
muncul di Wuhan.

Tetapi sepertinya, mereka sudah saling
paham. Beda targetnya. Satu sasaran.

“Salam dari penjara, Corona. Aku dapat
merabamu. Walau sesiapa pun
tidak dapat melihatmu.”

Corona, betina yang bengis, terkikik
dalam kelam di kejauhan.

“Salam dari kegelapan, Anarko. Aku dapat
melepaskanmu. Walau seketat apa pun
kurungan.”

Corona dan Anarko itu seniman. Mereka
lalu bernyanyi, lantunkan syair dedunguan.

Anarko, anarkis korupsi
Di buminya dia dimanjakan
Asli panjahat selalu sok suci
Bagai benalu di pohon durian

Corona, makhluk siluman
Macam jahat jihadnya suci
Segala polusi dia terangkan
Kaya raya pun tak lagi berarti

Suara Anarko dan Corona menghening.

“Terima kasih, Corona. Telah memberi
laluan padaku.”

Anarko berlari lagi ke banyak penjuru.

“Salam sayang, Anarko. Lekaslah tobat
ikhlas bersyukur.

Aku akan segera berlalu.”

Pekanbaru, 6 Mei 2020

[ Peradaban Baru Corona, 2020 ]

*

SEJAK Corona lepaskan Anarko dari penjara, setahun lebih waktu sudah berjalan.

Walaupun sering berpapasan dalam berbagai kesempatan tetapi kedua makhluk ini jarang sekali bertegur-sapaan. Bahkan nyaris sepatah kata pun tak pernah diucapkan. Hebatnya, walaupun begitu, mereka bisa saling gelitik-gelitikan. Bisa pula bergelut-gelutan. Bisa juga bergumul-gumulan.

Lantas, terkikik-kikik, terkekeh-kekeh, cekikikan.

Tengah-tengah Anarko sibuk celingak-celinguk. Ehh..! Alih-alih telinga jobang nya dipiat, dijewer-jewer oleh si Corona. Tengah-tengah Anarko asyik plongo-planga. Ehh..! Alih-alih hidung kembangnya digetil – dipicit -pencet pakai jepitan buku tangan oleh si Corona.

Corona pun sering jadi sasaran Anarko.

Tengah-tengah Corona melayang-melayang mencari mangsa. Ehh! Alih-alih dia ditangguk Anarko pakai masker. Kekadang juga pakai penyaring alat penapis serbuk teh.

Tengah-tengah Corona asyik menggerayangi korbannya. Ehh! Alih-alih Anarko pula memonyongkan muncungnya yang macam ikan tembakul itu, menghembus-hembus tengkuk- kuduk si Corona.

Bila sudah terjadi begini;

Anarko yang dijewer atau dijepit hidungnya oleh Corona, membalas pula menggelitik pinggang Corona atau perut Corona. Corona yang kegelian digelitik ~ yang mengelinjang- gelinjot, langsung menabok; mengetuk jidat Anarko yang jendul; yang dahinya agak menonjol lebih ke depan, sambil lekas-lekas melepaskan diri. Lalu secepatnya bergegas pergi.

Corona pula. Bila alih-alih dia dijaring Anarko pakai masker, atau penyaring teh atau jaring lelaba, atau dihembus-hembus tengkuknya ketika dia tengah bekerja, lebih cepat dari kilat dia bisa menangkap batang hidung atau daun telinga Anarko. Setelah puas dia memintal hidung atau memulas telinga Anarko, dia pun langsung pergi sambil ketawa geli.

Peristiwa bercecandaan begini sering kali terjadi.

Terakhir yang ini. Satu keluarga dibuat lebih terheran-heran oleh kelakuan Anarko.

Di tengah keluarga itu; istri, anak-anak, cucu-cucu, menantu; semua dalam keadaan panik. Mereka sangat sedih menyaksikan sang kepala keluarga menghadapi sekaratul maut. Ehh! Di tengah-tengah kepanikan satu keluarga ini alih-alih saja muncul Anarko. Melangkah menjingkit-jingkit sambil tersenyum nyengar-nyengir, mendekati tubuh yang tengah sekarat itu.

Setiba di situ dia jentik hidung kepala keluarga itu. Hebatnya, kepala keluarga itu langsung tersenyum. Manis sekali. Satu keluarga pun tersenyum juga. Bahagia. Senang hati. Mereka mengira sentuhan Anarko membuat kepala keluarga mereka pulih tiba-tiba. Tetapi ketika menyadari senyuman itu senyuman abadi. Senyuman yang pandai berhenti-henti. Mereka pun menangis sejadi-sejadinya. Juga tak berhenti-henti.

Anak perempuan kepala keluarga protes keras.

“Kenapa Tuan jentik hidung ayah saya?”

Anarko tergagap-gagap.

“Saya cuma menjentik punggung Corona. Eh, maaf. Corona duduk di situ tadi..”

“Apaaa..?!!”

Satu keluarga berteriak. “Corona duduk di situ..?!!”

Mereka tidak mengerti. Ketika orang sekarat, Anarko malah tampak tersenyum geli. Aneh pula lagi, menyebut, “Corona duduk di situ.”

Keluarga kepala keluarga ingin menghajarnya. Tetapi situasi tak mendukung. Sesosok jasmani di hadapan mereka baru saja menjadi jasad. Di samping itu mereka juga menganggap, Anarko ini orang gila yang tersesat.

Orang lain memang payah untuk mengerti.

Anarko tetiba ketawa-ketawa terkikik-kikik sendiri. Tetiba menggelinjang- gelinjot kegelian sendiri. Tetiba, berlarian sekencang-kencangnya sendiri. Sampai merangkak-rangkak masuk got atau selokan sambil berlari-lari. Sampai memanjat-manjat pohon-pohon atau tiang-tiang yang tinggi.

Padahal sebetulnya Anarko bukan senyum-senyum sendiri. Bukan pula ketawa-ketawa sendiri. Juga bukan berkejar-kejaran sendiri.

Dia senyum-senyum pada Corona. Dia ketawa bersama bersama Corona. Dia juga berkejar-kejaran dengan Corona. Cuma orang lain tidak bisa melihat sosok Corona. Tidak bisa mendengar suara Corona. Anarko bisa. Bisa mendengar. Bisa melihat. Bahkan bisa menangkap dan meraba-raba tubuh Corona.

Itulah kelebihan Anarko. Punya kecerdasan igau mimpi. Tak sesiapa pun memiliki kecakapan yang superior begini.

Corona terus lari. Berkelebat ke sini ke sana.

Lama tidak bicara walau sering jumpa, hari ini Anarko berhasrat betul ingin bicara dengan Corona. Maka, Corona yang seketika terbang dari hadapannya terus diburunya.

“Hey, tunggu! Tunggu aku!”

“Burulah aku,” sahut Corona. “Kaukutangkap!”

Corona terus lari. Terus berkelebat. Anarko pun terus lari mengejarnya, juga berkelebat-kelebat. Corona berkelebat masuk ke celah-celah batang-batang pisang. Anarko pun berkelebat-kelebat di celah-celah batang pisang. Corona melayang-layang di dalam selokan. Anarko pun merangkak-rangkak di dalam selokan. Corona kembali ingin menuju tempat tubuh-tubuh yang terkapar dilanggar raja virus wuhan.

Anarko tiba-tiba angkat tangan.

“Jangan ke tempat orang-orang sekarat lagi. Gegaramu aku tadi nyaris juga dibuat mereka sekarat.”

Suara Anarko tersengal-sengal.

Corona terkekeh. Berputar-putar, mengitari sebuah kolam.

“Aku mau bicara. Kita duduk di sini saja.”

“Bicara apa?”

“Berhentilah terbang untuk sebentar.”

Corona terus terkekeh. Pelan-pelan, menguncupkan sayapnya. Lalu hinggap pada sehelai daun pada pohon di seberang kolam. Sementara Anarko duduk di seberangnya.

“Kenapa kita duduk berjauhan? Heran lagi manusia nanti melihat aku berbicara macam berteriak-teriak sendiri. Duduk di sampingku saja. Lebih romantis.”

Kikikik. Corona tetap terkikik-kikik.

“Bicaralah. Apa yang mau engkau bicarakan.”

Hmmm.

“Katamu kemarin, setahun lalu, akan lekas berlalu. Kenapa tidak pergi-pergi juga?”

Hahahahaa. Corona mengakak. Ketawa geli.

“Engkau tidak serius inginkan aku berlalu.”

“Bagaimana engkau tahu?”

“Pasar dan mall engkau ramaikan
Pengobatan engkau galakkan

Rumah ibadah engkau sepikan
Penangkalan virus engkau abaikan”

Huh!

Corona mengakak lagi. Berderai-derai.

“Engkau mengambil untung besar dari itu, dan dari aku.

Hahahaaaa…!”

Anarko menyengir-nyengir.

“Engkau boneka yang lihai mainkan dawai.”

Dari kerumunan di mall dan pasar-pasar yang berhimpitan : berjubal-jubal, engkau terus merawat virus tetap kekal; proyek pengobatan pun dapat terus dianggar.

Dari rumah ibadah yang engkau sepikan, tidak ada lagi gelombang frekwensi takbir zikir yang menggerunkan : yang membuat kami pontang-panting; mati kepanasan.

“Hmmm..!”

“Langgenglah kuat kuasa kecentingan mu di tengah pasar ini seberapa lama engkau suka.”

“Hmmm..!”

“Terima kasih, Anarko..!”

“Kenapa?”

“Engkau senantiasa menjamu kami. Lahir dan batin. Membuat kami gemuk dan berbiak dengan hebat.”

“Kolaborasi.”

“Kolaborasi? Hahahahaaa. Itu bahasa kita. Bahasa mereka? Jangan sebut kolusi, konspirasi, atau kontrasepsi…

Hahahaaa..!” ***

Baca : Apes bukan Epos : Cik Puan Maharatu

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *