Figur Ibrahim

Terapi Kamar Mandi

IBRAHIM AS lahir di Babilonia, sebuah negara kuno yang berada di kawasan Mesopotamia, dan sekarang disebut Irak. Diangkat menjadi nabi sekitar tahun 1900 SM, diutus untuk kaum Kaldan yang terletak di Kota Ur, negeri yang disebut kini sebagai Irak.

Ibrahim disebut merupakan bapaknya para nabi dan rasul karena kelak keturunannya banyak yang menjadi nabi dan rasul. Bahkan rasul terakhir, khatam al-anbiya wa al-mursalin, yaitu nabi Muhammad Saw merupakan zuriatnya dari anaknya Ismail AS.

Nama nabi Ibrahim banyak disebut di dalam Alquran. Bahkan dalam satu ayat disebut, “Dan kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.” (Q.S: Ash-Shaffat: 108)

Ayat itu menyiratkan bahwa manusia harus belajar banyak kepada sosok Ibrahim bin Azar tersebut. Banyak hal yang dapat dijadikan ‘ibrah dari kehadiran Ibrahim AS. Ia mencintai Tuhan tanpa batas.

Kenapa Ibrahim begitu tinggi dan mulia dalam pandangan Ilahi?

Ibrahim lahir pada masa pemerintahan zalim, yaitu Nimrod/Namrudz/Namrud Laknatullah. Kabarnya, sebelum Ibrahim lahir, penasehat spritual Namrudz sudah mengingatkannya agar berhati-hati karena akan lahir seorang lelaki yang akan menghancurkan kekuasaannya. Mendengar itu, Namrudz pun mengeluarkan warkah, mengeluarkan perintah bahwa anak siapapun yang lahir berjenis kelamin laki-laki akan dibunuh.

Akan tetapi Allah Swt punya skenario sendiri, saat Ibrahim lahir, ayahnya bernama Azar mengungsikan Ibrahim ke dalam gua. Selama di gua, dalam salah satu kisah diceritakan bahwa Ibrahim kabarnya hanya mengisap jempolnya karena dari jempolnya keluar susu sebagai asupan makanan sehari-hari Ibrahim.

Ibrahim mengalami berbagai hal yang mencengangkan dalam hidupnya. Banyak pelajaran dan pengajaran yang dapat diambil dari perjalanan hidup Ibrahim. Di antaranya, ia merupakan manusia yang amat suka berdialog atau berdiskusi sebelum memutus dan menetapkan suatu perkara. Ini terlihat saat ia menerima wahyu untuk menyembelih Ismail. Sebagai seorang ayah, ia tak segan mendialogkannya dengan anaknya Ismail. Bahkan dalam peristiwa yang lain, Ibrahim pun pernah berdialog dan berdiskusi dengan Tuhan. (Q.S: Al-Baqarah: 260).

Selain itu, dan paling berharga adalah cinta Ibrahim. Cintanya kepada Tuhan melebihi cinta kepada apapun, termasuk cinta dan sayang kepada anak sendiri, walaupun kehadiran anak itu sangat dinanti dan diharapkannya selama bertahun-tahun. Bukankah sesuatu yang paling dicintai manusia adalah anaknya sendiri? Dan bukankah perpisahan yang paling memilukan dan menyedihkan adalah bercerai mati dengan anak semata wayang? Inilah cinta tanpa batas. Cinta yang tak memerlukan alasan dan balasan. Cinta yang hanya tahu memberi tanpa pernah berpikir untuk menerima dari yang dicintai. Inilah cinta hakiki.

Ibrahim juga seorang pejuang kebenaran sejati. Mampu menjadi pionir, mengambil tongkat komando di barisan paling depan untuk menentang penguasa zalim ketika semua orang merasa tak berdaya, serta menerima keadaan dalam situasi dan kondisi menderita lahir dan batin.

Ibrahim menjadi lambang perlawanan terhadap tiran lalim. Ia tak pernah merasa gentar dan takut kepada selain Tuhannya. Baginya yang ditakuti, dikagumi dan ditaati secara hakiki hanya Ilahi. Untuk itu, semua kebenaran yang datang dari Tuhannya harus diperjuangkan dan dipertahankan walau apapun resikonya. Ia pernah dilempar Namrudz ke dalam pohonan api yang menyala dahsyat. Akan tetapi dengan izin dan bantuan Allah Swt, Ibrahim pun selamat.

Ibrahim menjadi suami luar biasa. Ia mampu meyakinkan istrinya Hajar untuk hidup berdua dengan bayi mereka di gurun yang tandus tanpa ditemani siapa pun. Ia mampu menyakinkan hajar bahwa Allah Swt merupakan Maha Pelindung.
Ibrahim juga mampu menaklukkan rasa cinta seorang ibu kepada anak semata wayangnya, sehingga tak berontak dan unjuk rasa ketika tahu bahwa Ismail akan dizabih atau disembelih Ibrahim. Semua itu ditanamkan Ibrahim kepada istrinya bahwa di hadapan Tuhannya, manusia bukan siapa-siapa. Untuk itu sandarkan hidup ini hanya kepada Dia Yang Maha Kuasa.

Ibrahim juga menjadi ayah yang hebat. Mampu mendidik anaknya bahwa cinta kepada Allah Swt jauh lebih berharga daripada cinta kepada dunia dan seisinya, termasuk cinta kepada ibu dan ayah kandungnya sendiri. Hal ini terlihat jelas pada figur Ismail AS yang tak berontak sedikitpun ketika berita rencana penyembelihannya disampaikan nabi Ibrahim kepadanya.

Ibrahim merupakan manusia yang selalu berpikiran logis. Pencariannya dalam dunia spritual tak mengenyampingkan kekuatan rasionya. Akal tetap menjadi panglima ketika ia hendak melakukan dan menempuh sebuah perjalanan ruhani. Untuk mencari jawab dari pertanyaan relung batin terdalamnya. Ini terlihat ketika ia melihat bintang, bulan dan matahari yang dijadikan Tuhan oleh kaumnya. Bahwa semua itu makhluk karena datang dan pergi. Hilang dan tenggelam. Itu bukan Tuhan karena Tuhan adalah sesuatu yang kekal dan abadi.

Begitu juga ketika ia menghabisi dan memusnahkan patung sesembahan Namrudz dan kaumnya yang sesat. Ia menyuruh Namrudz untuk menanyakan kepada patung besar yang masih ada tentang siapa yang telah menghabisi patung-patung kecil di sekeliling patung besar itu.

Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu jika mereka dapat berbicara.” (Q.S: Al-Anbiya: 63). Tentu saja patung itu tak dapat berbicara. Kalau begitu, kenapa manusia menyembah sesuatu yang tak melakukan apa-apa? Bukankah Tuhan yang patut dan pantas disembah adalah yang mampu melakukan apa saja? Innallaha a’la kulli syai in qadir: Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

Siapa yang menjadi penyambung estafet semangat Ibrahim?

Wallahu a’lam. ***

Baca : Kurban

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *