Tokoh  

Google Indonesia Tampilkan Sosok Sariamin Ismail

sariamin ismail

LAMANRIAU.COM, PEKANBARUGoogle Indonesia hari ini menampilkan sosok Sariamin Ismail, seorang sastrawati Indonesia yang berjuang menjadi guru hingga politikus. Lahir dengan nama Basariah ini selalu hadir menggunakan nama samaran Selasih dan Seleguri.

Sariamin Ismail lahir di Talu, Talamau, Pasaman Barat, Sumatra Barat, pada 31 Juli 1909 dan meninggal dunia di Pekanbaru pada 15 Desember 1995 dalam usia 86 tahun. Sariamin adalah penulis yang tercatat sebagai novelis perempuan pertama Indonesia.

Menurut laman Wikipedia, novel pertamanya berjudul Kalau Tak Untung terbitkan oleh Balai Pustaka pada 1934. Ia menulis untuk sejumlah surat kabar termasuk Pujangga Baru, Panji Pustaka, Asjarq, Sunting Melayu, dan Bintang Hindia.

Bersama kepindahannya ke Kuantan Singingi sejak 1941, Sariamin naik sebagai anggota DPRD Provinsi Riau setelah terpilih pada tahun 1947. Ia terus menulis untuk sisa umurnya. Ia adalah anak kedua, memiliki tiga saudara perempuan dan seorang saudara laki-laki, dari pasangan Sari Uyah dan Lau.

Kehidupan Pribadi

Sebagai anak seorang ambtenaar, Sariamin dapat masuk ke Sekolah Gubernemen. Dalam usia sepuluh tahun, Sariamin telah menulis syair dan puisi.

Pada 1921, ia mengikuti ujian masuk sekolah guru perempuan Meisjes Normaal School (MNS) di Padang Panjang dan dinyatakan lulus. Dari kehidupan asrama yang dijalaninya sewaktu di MNS, Sariamain menulis catatan dalam bentuk sajak buku kecil yang ia namakan sahabatku.

Tangkapan layar Google Indonesia hari ini yang menampilkan sosok Sariamin Ismail.

Selama sekolah, ia sering mendapat hadiah dari perlombaan menulis karangan prosa dan puisi yang diikutinya. Sajaknya yang berjudul Orang Laut d ibacakan pada setiap kelas oleh para guru. Sewaktu kelas tiga, karena dianggap sudah sering mendapatkan hadiah, ia tidak lagi diberi hadiah dari lomba meskipun mendapat juara.

Walaupun demikian, guru bahasa Indonesianya, Noer Marliah Moro membawanya berlibur ke Padang, hadiah yang paling istimewa baginya karena ia belum pernah menyaksikan laut walaupun ia berhasil mengarang Orang Laut.

Tamat dari MNS, Sariamin mendapat tugas mengajar di Meisjes Vervolg School (MVS) yang ada di Bengkulu. Pada 17 Juni 1925, ia dapat kepercayaan sebagai kepala sekolah dan mencatatkan kemajuan untuk sekolah dengan pertambahan murid selama setahun memimpin. Sejak itu, ia berpindah-pindah domisili mengikuti tugas mengajarnya dan terus menulis sampai sisa umurnya.

Balik Kampung

Sariamin kembali ke Sumatra Barat pada 1926 untuk mengepalai MVS yang ada di Matur dan pindah ke Lubuksikaping pada 1927. Ia bertemu dengan bekas gurunya pada MNS, Noer Marliah Moro yang memberinya dorongan untuk mengirim karyanya ke surat kabar.

Ia menggunakan nama samaran Sri Gunung untuk pertama kali dan tetap sewaktu pindah Lubuksikaping. Ketika mengepalai MVS Lubuksikaping, Sariamin bertengkar dengan schoolopzinener yang menyalahkan keputusannya membeli alat-alat dapur sekolah dengan uang pembeli bangku dan meja.

Pada Mei 1928, setelah memenuhi panggilan inspektur dari Bukittinggi, Sariamin pindah mengajar ke kota itu dan pangkatnya turun hanya sebagai guru Meisjes Leer School (MLS), sekolah untuk murid pindahan MNS Padangpanjang yang gedungnya hancur akibat gempa bumi 1926.

Sewaktu di Bukittinggi, Sariamin aktif mengikuti kegiatan organisasi. Dari tahun 1928 dan 1930, ia mengetuai perkumpulan pemuda Islam Jong Islamieten Bond bagian wanita untuk wilayah Bukittinggi.

Ia bertemu dengan kepala sekolah tempatnya mengajar, Syarifah Nawawi yang merupakan Ketua Serikat Kaum Ibu Sumatra (SKIS) dan menuliskan sajak untuknya.

Setelah gedung baru MNS Padangpanjang selesai pada 1930, Sariamin pindah ke kota itu bersama kepindahaan kegaiatan belajar mengajar MLS ke sekolah tersebut. Sariamin mengetuai cabang SKIS dan menulis untuk majalah Soeara Kaoem Iboe Soematra, majalah yang pengelolaan oleh perempuan.

Selain itu, ia membagi waktunya untuk mengajar sekolah swasta Diniyah School dan menjadi pengasuh tetap Mimbar Putri pada Harian Persamaan.

Jadi Wartawan

Menjelang akhir tahun 1930-an, ia menjadi wartawan dan penulis yang cukup vokal untuk majalah perempuan Soeara Kaoem Iboe Soematra. Ia mengutuk poligami dan menekankan pentingnya hubungan keluarga inti Minangkabau lewat majalan tersebut.

Dalam Harian Persamaan, Sariamin mengkritik ketidakadilan peraturan gaji bagi pegawai wanita, terutama guru wanita.

Sambil mengajar, Sariamin terus menulis untuk menambah penghasilan sehari-hari dan membiayai kegiatan organisasinya dengan menggunakan beberapa nama samaran untuk mencegah kemungkinan tertangkap akibat tulisan-tulisannya oleh Politieke Inlichtingen D ienst (PID).

Dari sejumlah nama samaran, ia lebih akrab dengan nama Selasih dalam novel pertamanya. Sejumlah nama samaran lain yang pernah ia gunakan yaitu Seleguri, Sri Gunung, Sri Tanjung, Ibu Sejati, Bundo Kanduang, dan Mande Rubiah.

Pada pertengahan tahun 1930-an, Sariamin telah menulis untuk majalah sastra Poedjangga Baroe.

Ia menerbitkan novel pertamanya, Kalau Tak Untung pada tahun 1933, yang menjadikannya sebagai novelis perempuan pertama dalam sejarah Indonesia. Terbitkan oleh Balai Pustaka milik pemerintah, konon inspirasi novel ini adalah beberapa kejadian nyata dalam hidupnya yaitu tunangannya yang menikahi wanita lain, dan kisah dua sahabat kecilnya yang saling jatuh cinta namun tak bisa bersatu. Ia kembali menerbitkan novel pada tahun 1937 berjudul Karena Keadaan.

Pindah ke Riau

Pada 1939, ia berhenti mengajar di Padangpanjang karena tuduhan aktif dalam politik oleh PID. Selama dua tahun berikutnya, ia hanya menjadi guru bantu di MVS, Payakumbuh. Pada 1941, ia menikah dan mengikuti suaminya ke Teluk Kuantan, Riau.

Meskipun ia semula berencana hanya menjadi ibu rumah tangga, ia merasa tenaganya sangat butuhkan ketika melihat pendidikan daerah itu jauh tertinggal dari daerah tetangganya Sumatra Barat.

Pada 1942, ia menjadi kepala sekolah MVS yang pertama dan baru berdiri di Teluk Kuantan—bahkan Riau. Sekolah ini membuka asrama untuk murid dari luar daerah yang berdiri di samping rumah Sairiamin, yang sekaligus menjadi pembimbing asrama.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, Sariamin menghabiskan dua tahun sebagai anggota DPRD Riau. Sariamin tetap menulis dan mengajar di Riau hingga tahun 1968. Sebelum tahun 1986, ia telah menelurkan tiga antologi puisi dan sebuah cerita anak-anak.

Ia menulis novel terakhirnya, Kembali ke Pangkuan Ayah pada tahun 1986. Sebelum wafat pada tahun 1995 Sariamin menerbitkan dua antologi puisi lagi dan sebuah film dokumenter tentang kisah kehidupannya. ***

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *