Revolusi Pandir

kambing covid

“Lempar batu sembunyi tangan
telunjuk lurus kelingking berkait
sungguh susah mencari makan
ruang gerak terus dipersempit”

“Lidah orang yang berakal berada di belakang hatinya,
sedangkan hati orang bodoh berada di belakang lidahnya”
(Ali Bin Abi Thalib).

TANPA terasa hampir mendekati satu dekade (delapan tahunan lebih), istilah atau pun ihwal revolusi (ke-revolusi-an) tersebut hujam-tenggelam. Kalau saja tak ada yang bersedia mengingat-ungkit, maka alamatlah kapal akan tenggelam hilang lenyap di telan bumi. Syukur Allahamdulillah, WHO (World Health Organization), organisasi kesehatan dunia terbesar sepanjang sejarah dunia “membawakan berkah pandemi” yang bukan untuk negeri ini saja, negeri lain pun sama.  

Belajar cerdas nan cerdik dari negeri tercinta ini, bahkan viral di media online (kecuali media mainstream mungkin), jika WHO pernah gagal dalam upaya “mempandemisasi” negeri ini sebelumnya. Alhamdulillah, berkah kepiawaian nan cerdik-cerdas mantan Menteri Kesehatan kebanggaan anak negeri, Dr Siti Fadila Supari, upaya “pandemisasi” organisasi kesehatan dunia terhebat itu untuk negeri ini batal terjadi.

Belajar dari “kegagalan WHO”, dan keberhasilan Dr. Siti Fadilah Supari tersebut, mengusik nalar logis untuk men-Jengah dan men-Jenguk ihwal dua istilah yang susah untuk dipisahkan yakni revolusi dan pandir. Revolusi sederhananya dimaknai sebagai perubahan cepat. Berbeda dengan revolusi, pandir dalam KB2I (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah bodoh atau dimaknai lain dengan bebal.

Bersagang pada revolusi satu dekade sebelumnya yang berkutat-tumpu pada perubahan mental yang diharap cepat, Revolusi Pandir sebaliknya. Revolusi ini bukan anti tesis dari revolusi sebelumnya jika dimaknai sebagai proses dialektika: tesis, antitesis dan sistesis.

Berbeda dengan Revolusi Prancis (1789–1799), Revolusi Industri (1750-1850), Revolusi Bolshevik (1917), Revolusi Pandir belum banyak yang tahu bahkan boleh dikatakan tidak ada jejak digitalnya. Sementara Revolusi Prancis, Industri, dan Bolshevik menjadi tritunggal (tiga dalam satu) revolusi yang dinilai mempengaruhi progresif perubahan dunia.

Sederhananya Revolusi Pandir berkutat-tumpu pada respon dampak negatif terkait “keberhasilan dan kesuksesan pandemi C-19 produk WHO” dalam waktu singkat (perubahan cepat, lebih kurang hampir dua tahun) memporak-porandakan negeri ini dari berbagai sisi kehidupan. Setali tiga uang, plandemi, maaf salah pandemi ini juga sukses membawa negeri tetangga Malaysia yang PM Muhyidin Yasin sedang diterpa isu undur-undur.

Begitulah realitas sejarah yang selalu berubah-ubah, yang asbabnya tak atau belum banyak yang tahu. Sejauh ini menurut Saya, tak banyak yang tahu jika tritunggal revolusi tersebut bertitik-tolak yang diilhami melalui cara berpikir. Revolusi Industri, misalnya esensinya bukan perubahan bidang pertanian, transportasi, teknologi dan lainnya. Revolusi ini dipicu oleh karena perubahan cara (seseorang) manusia berpikir tentang teknologi industri pertanian, atau apalah namanya. Ingat, sumber yang menuntun cara berpikirnya.

Esensi Revolusi Prancis asbab ketidakadilan penguasa pemicunya. Sementara Revolusi Bolsevik tampaknya, tak jauh berbeda yang disasar adalah kekuasaan sang raja yang mirip dengan di Prancis.

Bermunasabah dampak dari “pandemi C-19” yang menjadi altar perlunya gagasan Revolusi Pandir. Artinya, revolusi ini menghendaki perlunya perubahan cara berpikir cerdas (intelijen) tangkas cermat (CTC) yang cepat, agar tidak lagi pandir (bodah atau bebal). Cara berpikir ini penting, mengingat pandemi bersandar amatan Jengah dan Jenguk telah menghasilkan K3 (Kebodohan, Ketakutan dan Keserakahan). Dengan bahasa lainnya tidak salah Jengah dan Jenguk menilai jika K3 telah bermetamarposis, bukan bermutasi, berubah seperti (menjadi) virus (V-K3).

Menimbang-timbang cermat seksama V-K3 dapat diidentifikasi bersandar berbagai fenomena yang menjurus pada lakon laku “kepadiran”. Beberapa contoh sederhana dapat dijelas-ulas sepintas berikut ini.

[1]. Kebodohan (V-K1). Pandemi susah disangkal membuat orang-orang (banyak personal) menjadi pandir. Belakangan menelusur realitas kehidupan bernegara dalam hubungan dengan di sebuah kelembagaan pendidikan tinggi (perguruan tinggi). Cermat sederhana, sebuah regulasi dibuat tentu untuk mengatur agar organiasi berjalan sesuai aturan. Begitulah filosofis aturan tersebut dibuat-adakan.

Uniknya, jika personal (aktor) yang melanggar aturan lembaga, cerdasnya personal yang wajib dipermasalahkan. Sayang seribu kali saya, pandirnya untuk menyelamatkan si pelanggar aturan, regulasi (undang-undang) yang diubah. Ini hanya salah satu contoh ihwal kependiran itu. Jika dicermati lebih saksama diyakini masih banyak contoh lainnya. Silakan dicari lagi. Dianjurkan cari sebanyak-banyaknya.

[2]. Ketakutan (V-K2). Pandemi telah membuat orang-orang menjadi ketakutan (penakut yang berlebihan). Dengar-dengar ketakutan tersebut dapat melebihi ketakutan kepada atasan. Selama ini “atas nama perintah atasan” semua yang diperintahkan dijalankan saja walaupaun melanggar aturan. Yang berbahaya, misalnya jika disuruh membunuh pun akan dilakukan karena perintah atasan. Ini tidak boleh terjadi.

Kepandiran ketakutan dalam hubungan V-K2, misalnya saja ihwal keberadaan virus dan vaksin. Analogi ahli hisap (“pecinta tobacco”) menarik untuk diungkap-paparkan. Semua orang tahu, kecuali si buta hurup bahwa di dalam kemasan berbagai produk “cigaretee” dulu hanya tertulis bla-bla-bla. Sementara, kekinian bukan lagi tulisan juga disertai gambar-gambar yang sulit untuk dibayangkan. Tulisan beserta gambar tersebut menunjukkan bahwa produk ini amat sangat berbahaya terhadap “kesehatan”. Walapun berbahaya, produk ini tetap saja laris manis. Indikatornya mudah, mohon perhatikan secara seksama, siapa di antara sepuluh orang terkaya di nusantara ini?

Poin penting dalam konteks V-K2, terkait dengan ketakutan tentu saja khusus bagi “orang-orang yang menolak” di vaksin (terlepas vaksin masih dalam perdebatan antara hak dan kewajiban). Rasa takut yang mengganggu psikologis adalah jika mereka (orang-orang itu) dianggap sebagai pandir. Lalu pertanyaannya:  apakah sama orang-orang yang menolak dengan seorang dokter spesialis (ahli) paru yang juga sebagai ahli hisap, misalnya?

[3]. Keserakahan (V-K3). Dampak pendemi tidak dinyana justru memuncul-cuatkan lakon laku serakah. Ktergantungan yang tinggi dengan obat-obatan dan peralatan kesehatan (medis) pada impor menjadikan pandemi pemicu keserakahan. Rencana pemberlakuan “vaksin gotong-royong”, walaupun dibatalkan, pertanda jika jiwa-jiwa serakah sedang bergentayangan.

Kalimat “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” (sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali) (Al-Baqarah:156), menjadi wajib dipikir-renungi. Manusia yang “bahan dasarnya tanah” filosofisnya dapat dimaknai jika sakit tentu saja obat-obat yang lebih mujarab juga berasal dari tanah (tumbuhan, herbal). Beragam tumbuhan yang berada di atas tanah nusantara berpotensi menjadi bahan dasar pengobatan manusia nusantara. Pertanyaannya: mengapa obat-obat kimia, diimpor lagi yang menjadi skala prioritas?

Mencermat-telaahi dampak negatif pendemi yang mengaltari muncul-mencuatnya V-K3 memberikan pelajaran yang sangat berharga. Revolusi Pandir secepat-cepatnya, sedini mungkin wajib diantisipasi. Kalau pun akan, sedang dan sudah terjadi, tentu saja semua anak bangsa di nusantara ini punya kewajiban yang sama untuk mencegahnya.

Pertanyaannya: bagaimana cara mencegahnya? Apakah dengan revolusi juga? Revolusi Akhlaq misalnya? Atau ada yang lain?

Wallahualam bissawab. ***

Baca : Imuno Makar Plan-Demi

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *