Pengakuan Duit Haram

rumah singgah

PADA satu hari berkonferensilah Segumpalan Duit di dalam sebuah kopor seorang pemungut pajak. Mereka saling bagi pengalaman menarik. Masing-masing Ikatan Duit itu menunjuk Wakilnya sebagai Juru Cakap.

PERWAKILAN DUIT I:
(Mulai bercakap)

Kita semua pada dasarn¬ya asal usulnya adalah kertas putih. Fitrah. Tidak ada warna. Tidak ada corak. Tidak ada angka-angka dan tidak ada harga. Orang-oranglah yang menentukan nasib kita. Sebagian orang-orang itu malaikat berwujud orang. Sebagian lainnya setan berwujud orang-orangan.

PERWAKILAN DUIT II:

Ah.., kalau itu yang dibicarakan, semua Duit sudah tahu. Sekarang kita tak perlu bermukadimah-mukadimah seperti itu. Yang perlu sekarang sampaikan bagaimana perjalanan pengalaman kita masing-masing, setelah menjadi Bangsa Duit sejak dari Kertas Putih.

PARA DUIT:
(suara peserta konferensi)

Setuju…!

PERWAKILAN DUIT III:

Interupsi! Kalau ingin kita kisahkan semua perjalanan kita sebagai Duit. Mulai dari Kertas Putih sampai gentayangan di pasar ikan, di super market, di warung padang, di komplek pelacuran, di meja judi, dan sebagainya akan panjang sekali memakan waktu. Untuk itu saya mengusulkan masing-masing peserta hanya mengisahkan satu peristiwa ketika kita dijadikan sebagai Duit Haram….!

PARA DUIT
(berteriak riang):

Setuju…!

***

PERWAKILAN masing-masing DUIT itu lalu berkisahlah peristi¬wa pada satu ketika mereka diperlakukan sebagai alat tukar yang ‘’tak betol’’.

PERWAKILAN DUIT I:

Pertama keluar dari Bank kami dimiliki seorang Pedagang. Tiba-tiba kami (Duit) ‘’dirampok’’ oleh preman. Sebagai Duit tentu kami tak bisa berbuat apa-apa. Tetapi hati kami panas. Dengan kekuatan magnetis, kami arahkan emosi para perampok itu menghambur-hamburkan kami di meja judi, tempat maksiat, dan meminum minuman keras. Sehingga mereka mabuk-mabuk sampai badan mereka panas radang. Jadi karena mereka mendapatkan kami secara panas, keluarnya juga panaaas…!

PERWAKILAN DUIT II:

Seketika keluar dari Bank kami dimiliki seorang cukong kayu. Cukong itu mendapatkan kami dengan menyuruh para pribumi merampok kayu di hutan rimba Riau dan membayar kayu dan tenaga kerja dengan murah sehingga dia mendapat keuntungan yang berlimpah-limpah. Hati kami tentu tak mendongkol.

Dengan kekuatan magnetis itu, kami arahkan para pejabat, oknum aparat, dan preman mengompas sang cukong itu sehingga duitnya banyak berkurang. Jadi dapat dengan memeras keluar dengan diperas juga.

PERWAKILAN DUIT III:

Pertama kali keluar dari Bank Kami dijadikan sebagai Duit Korupsi oleh seorang pejabat. Lalu dari Kami dibangunnya rumahnya yang mewah. Mobil yang mewah. Baju anak-anaknya yang mewah. Lalu kami tanamkan roh atau ‘semangat’ meradang kami pada setiap barang yang dia ‘jadikan’ dengan mema¬kai kami sebagai alat tukar. Lalu rumahnya terbakar. Mobil terta¬brak rumah orang miskin yang terpaksa dia ganti. Dan pakaian anak-anaknya kami jadikan transpran, singkat, padat, lantas tersingkap-singkap, sehingga auratnya sering kali dijahili para mata keranjang.

PERWAKILAN DUIT IV:

Ketika pertama keluar dari Bank, Kami dimiliki oleh seorang pengusaha. Sebagian dari kami sebetulnya adalah Duit Halal, yaitu keuntungan dari hasil penjualan dari produk perusahaan. Tetapi sebagian dari kami adalah dari Duit Pemotongan pendapatan karyawan atau yang seharusnya diterima para karyawan yang dipangkas secara diam-diam secara sistematis lewat SK Kerja.

Duit pemotongan ini dia berikan pada istri dan anak-anaknya. Lalu Kami arahkan bininya membeli emas berlian dan segala perhiasan dan anak-anaknya kami arahkan agar menggunakan Kami secara hura-hura dan beli obat-obatan terlarang alias narko¬ba. Emas berlian bininya lantas selalu hilang begitu saja. Se¬dangkan anak-anaknya menjadi selalu teler tak keruan. Sekolah tak betul. Kelakuan tak betul. Karena Bapaknya mengambil Duit dengan cara tak betul, bini dan anaknya kami buat nasibnya tak betul juga.

PERWAKILAN DUIT V:

Pertama kali keluar dari Bank Kami dijadikan sebagai Duit Penipuan oleh seorang konglomerat. Menipu Negara dengan kredit macet. Lalu kami arahkan supaya dia membeli makanan dan minuman yang sedap-sedap saja. Lalu lewat makanan kami kirim kuman ‘’penyakit’’ menuju ke jaringan tulang-belulangnya dan jaringan otaknya.

Alhasil, sakitnya menahun (kronis).

Lalu Duit yang didapatnya dengan menipu itu kami arah¬kan ‘’dihabiskan’’ untuk beli obat-obatnya yang mahal tetapi tetap tak mujarab untuknya. Kadang-kadang obat yang mahal itu terbuat dari tahi kuda saja… hihihiii… Biar dia tahu rasa…!

PERWAKILAN DUIT VI:

Aku
(selembar Duit Kumuh mewakili dirinya sendiri).

Sudah banyak pengalamanku diperlakukan sebagai Duit Haram. Satu kali aku dijadi alat tukar untuk maksiat setelah transaksi ‘’permesuman’’. Lantas aku dipegang oleh seorang pela¬cur bau kencur, yang baru habis lembur. Iiiih…, menggigil rasanya aku…! Hancuurr…..!

PARA DUIT:
(ketawa terbahak-bahak)

Ha ha ha haaaa….!!!! ***

 

Pekanbaru, 99201321

Baca : Bangunan Seni Melayu

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *