Rumah Singgah Burung

rumah singgah

Pulau Basu di Kuala Indragiri
Surganya di dunia unggas lokal
Rumah singgah burung antarbenua

Harapan jadi kawasan konservasi
Agar kehidupan alami tetap kekal
Demi keseimbangan rotasi dunia

PULAU Basu pernah jadi “buruan”.

Pulau ini terletak tasik di tengah pulau di muara Sungai Indragiri ini. Dikeliuling lumpur. Akar-akar tunjang bakau yang melingkar-lingkar. Hutannya hijau. Sayangnya, di sekitarnya sudah pula ada perkebunan sawit.

Itulah nodanya.

Di tengah pulau ini ada sebuah danau besar. Danau yang konon belum “terjamah”. Danau berawa ini berfungsi sebagai tempat pemijah ikan, udang, kepiting serta beragam jenis hayati pantai lumpur lainnya.

Di sini pulalah, kawanan superbesar burung bangau antarbenua dari Australia bermigrasi setiap tahunnya. Selain “bangau pendatang” ada juga “bangau pribumi” atau bangau putih susu (milk stork/mycteria cinerea).

Asean Webland Beareu (1996) mencatat, populasinya di dunia hanya tinggal 5.500 sampai 6.000 ekor. Ternyata di Pulau Basu masih ada sekitar 500 ekor.

Inilah yang pernah ingin diupayakan pemerintah daerah Inhil. Membuat “Rumah Singgah” bagi burung migrasi antarbenua dan “Rumah Besar” bagi segala burung@satwa lokal. Terjaga lingkungannya. Tersedia asupan konsumsinya. Dengan harapan, wujud sebuah “mimpi”; Pulau Basu sebagai kawasan konservsi atau tanaman hutan rakyat (Tahura) di Riau.

Nun jauh di sebuah benua di balik benua, seorang gubernur di Amerika juga perlu sampai bertungkus-lumus. Untuk membantu menyelamatkan kawanan burung bangau menentukan arah migrasi selama musim semi hingga musim gugur, Andrew Cuaco, Gubernur Negara Bagian New York itu, memadamkan lampu-lampu di seluruh kota pada semua gedung pemerintahan, dari pukul 23.00 sampai menjelang matahari terbit.

Hal ini dilakukan selama puncak musim migrasi burung.

“Ini langkah sederhana untuk membantu melindungi burung-burung yang bersarang di hutan, danau, dan sungai New York untuk bermigrasi,” kata Cuomo.

Memaksimalkan gerak cepatnya, Cuomo juga mengumumkan peluncuran laman daring I Love NY Birding yang akan menyediakan informasi kepada khalayak ramai yang hendak memantau pergerakan burung dan berpartisipasi dalam aksi pemadaman lampu. Ke depan, sejumlah kota di Amerika, seperti Baltimore, Chicago, dan San Francisco, akan turut berpartisipasi dalam menyelamaatkan burung bangau migrasi ini.

Apa pasal sampai perlu memadamkan lampu?

Konon burung-burung yang bermigrasi diyakini menggunakan cahaya bintang untuk menentukan arah. Namun, mereka dapat mengalami disorientasi karena lampu-lampu terang perkotaan. Fenomena yang disebut ‘fatal light attraction’ itu diperkirakan menewaskan sedikitnya satu miliar burung setiap tahun di AS.

Daniel Klem, profesor yang khusus meneliti burung dan konservasi di Muhlenberg College, mengatakan, fenomena tersebut mengkhawatirkan karena spesies yang mampu bertahan hidup justru akan turut rontok bersama spesies yang lemah.

Klem berhujah, “Anggota populasi yang sangat penting akan mati. Karena itu, penting untuk menjaga mereka.”

Di Inhil tidak perlulah sampai memadamkan lampu. Tersebab lampu listrik di sini memang sudah malap sejak awalnya, sebagaimana kota-kota serupa di seluruh negeri kaya minyak bumi ini. Bagaimanapun, begitu mulianya perbuatan pemerintah daerah yang berjauhan benua serta suak-sungai ini.

Tidak aneh, bila Masyarakat Mangrove Indonesia juga sempat memberikan apresiasi yang tidak biasa kepada daerah di Kuala Sungai Keruh ini. Musababnya sangat jarang hasrat mewujudkan kawasan konservasi itu datang dari pemerintahan daerah. Bahkan boleh dikatakan tidak ada.

“Biasanya keinginan mewujudkan kawasan konservasi atau Tahura itu selalu diinisiasi masyarakat atau penggiat-penggiat lingkungan,” kata Amelia Rainita dari Masyarakat mangrove Indonesi.

Dukungan pun datang bertubi-tubi dari macam-macam aktivis dan lembaga lingkungan.

Menurut Lukita Awang, di Indonesia Tahura berbasis ekosistem hutan bakau belum ada.

“Kalau ini disetujui pemerintah pusat maka Pulau Basu akan menjadi Tahura atau kawasan konservasi pertama yang berbasis hutan pantai,” sebut Kabid Teknik Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau suatu ketika dulu.

Ya, kita cuma mengingatkan, asal saja jangan Tahura ini jadi seperti Tahura Sultan Syarif Kasim yang “tercogok” di pusat Provinsi Riau; Kota Pekanbaru, dengan tiga kabupaten lainnya – Siak, Kampar, dan Bengkalis. Tapi tidak usahkan untuk menyelamatkan satwa-satwa serta flora fauna di dalamnya. Tanah yang beribu-ribu hektar pun habis dibabat-lantak, dijual oknum aparat pemerintahan kepada mafia perkebunan.

Celakanya lagi, ketika waktu sudah berjalan bertahun-tahun, tidak ada kabar hasrat ini lagi. “Adem ayem” saja.. Atau mungkin lebih tepatnya: macam ayam sakit saja; hidup macam tidak sanggup tapi hendak disembelih takut kena makan.

Saking “cuek-nya” pada kawasan paru-paru dunia ini.***

Baca : Pengakuan Duit Haram

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *