Visibilitas Hijrah

Pemuda

“Tiada hijrah setelah Al-fath (Fathu Makkah), akan tetapi jihad dan niat…”. (HR. Bukhari dan Muslim)

SALAH satu peristiwa sangat penting dalam perjalanan kenabian Muhammad SAW adalah peristiwa hijrah. Peristiwa agung ini, ditandai dengan perjalanan Rasulullah dari Mekkah ke Madinah sebagai upaya untuk mempertahankan ajaran Nabi dari “gempuran” kaum Quraisy.

Sebagai sebuah perstiwa sejarah, maka tidak heran jika dalam prosesnya, peristiwa ini diwarnai dengan beberapa peristiwa heroic; misanya kerelaan Ali untuk mati terbunuh, karena menggantikan Nabi tidur di tempat tidur yang biasa Nabi pakai; keteguhan Abu Bakar yang dengan rela menahan sengatan kala jengking, demi membiarkan nabi beristirahat di pangkuannya ketika di Gua Tsur; dan banyak lagi cerita-cerita yang menggetarkan iman umat Islam pada peristiwa hijrah ini.

Yang pasti dari peristiwa ini adalah bahwa hijrah nabi dari Mekkah ke Madinah tersebut merupakan babak baru dari perjuangan Nabi. Telah terjadi perubahan besar dalam dakwah Nabi, ketika beliau memasuki Madinah. Perubahan ini, terjadi tidak saja karena perolehan dukungan penuh dari penduduk Madinah, tetapi juga menyangkut strategi dan isi (content) dakwah Nabi itu sendiri.

Pilihan Madinah sebagai tempat hijrah juga menarik untuk diketahui. Sebagaimana kita ketahui bahwa yatsrib waktu itu adalah kota multi etnis dan agama. Maka, semangat ajaran yang dibangun oleh Nabi tentu memliki visibilitas yang berbeda dengan di Mekkah. Itulah sebabnya dalam Studi Alquran ada istilah Makkiyah dan Madaniyyah, karena memang terjadi perbedaan ayat-ayat yang turun sebelum hijrah dan sesudahnya.

Di daerah yang plural ini, nabi kemudian mencetuskan sebuah kesepakatan bersama yang disebut dengan Piagam Madinah (Constitution of Madinah). Jika konstitusi ini merupakan cerminan dari kalimatun sawa (titik temu) bagi masyarakat Madinah yang plural, maka di Indonesia Pancasila juga merupakan bagian dari kalimatun sawa, karena telah menyatukan aneka ragam etnis, suku, bahasa, dan agama. Piagam madinah dan Pancasila juga memiliki visi yang sama untuk membangun masyarakat yang majmuk berdasarkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan bersama.

Dalam konteks keberagamaan Indonesia saat ini, peristiwa hijrah fisik yang telah dilakukan oleh Nabi sesungguhnya sudah usai, sebagaimana hadits di atas, bahwa pasca pembebasan Makkah (Fathul Mekkah) tidak ada lagi hijrah, yang ada adalah hijrah dalam bentuk substansial, yaitu jihad dan niat.

Oleh karena itu, memaknai hijrah secara substansi atau essensi menjadi penting. Hijrah tidak lagi dimakanai secara supervisial, tekstual, dan sesuatu yang terlihat. Misalnya perubahan cara berpakaian, perubahan nama, perubahan penampilan fisik tubuh, merupakan bentuk-bentuk hijrah yang fisikal.

Jika merujuk pada hadist di atas, niat itu sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh manusia, kecuali Allah sendiri. Artinya, pemaknaan atas hijrah dalam konteks hari ini adalah berkesungguhan (jihad) untuk menjunjung tinggi persaudaraan, keadilan, dan kesetaraan, sebagaimana yang dilakukan Nabi dalam piagam madinah. Wallahu a’lam bi al-Showab

Baca : Penerapan Syariah Islam

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *