September Kelam

hijrah

INI bulan September. Ada dua pristiwa besar dan hitam terjadi pada bulan ini. Ada tragedi kemanusiaan yang amat memilukan mengemuka, dan membekas hingga kini. Ya, terdapat pristiwa Gerakan 30 September 1965 (Gestapu) yang terus dikenang dan diperingati saban tahun oleh bangsa Indonesia. Peristiwa yang amat pahit dan getir dalam sejarah bangsa ini. Di mana pada saat itu korban sejumlah perwira tinggi angkatan darat, dan pejuang bangsa sebagai puncak dari konflik yang sebelum dan sesudahnya (1965-1966) itu, juga telah menelan ribuan korban jiwa di seluruh negeri ini.

Selain itu, pada bulan ini terjadi pula tragedi 11 September 2001 yang menewaskan sekitar 3.000  orang di Menara Kembar World Trade Center Amerika Serikat. Di mana dua pesawat menabrak, menumbuk gedung megah tersebut bagai adegan dalam film science fiction. Seketika gedung pencakar langit itu runtuh. Pesawat meledak. Ada percikan api menyembur. Asap pun kemudian membubung ke udara. Langit kelabu. Jerit histeris terdengar membahana. Air mata tumpah di seluruh dunia. Orang-orang mengutuk aksi tersebut.

Di lain pihak, Amerika Serikat malu muka. Sebuah Negara yang katanya berjulukan adidaya atau adikuasa itu jatuh wibawa seketika hanya karena dua buah pesawat. Ya, dua buah pesawat. Di mana CIA? Di mana FBI? Di mana Pentagon? Di mana pengamat militer? Di mana orang-orang yang menganggap paling berkuasa di muka bumi itu?

Dalam pandangan awam, saat itu Amerika Serikat ternyata seolah-olah hebat dalam film Rambo. Ya, kacak dan lagak di dalam imajinasi namun rapuh sangat di alam realitas.

Peristiwa 30 September 1965 di Jakarta, dan 11 September 2011 di Newyork tersebut menyisakan dan mewariskan berbagai hal dalam kehidupan. Ada dendam, sakit hati, kecemasan, kebencian, permusuhan, kegetiran, kecurigaan yang mendalam, yang pada akhirnya memunculkan istilah kami dan kalian. Muncul istilah kawan dan lawan. Muncul blok-blok politik, ekonomi, budaya, paham keagamaan dan lain sebagainya.

Dari peristiwa itu ada yang merasa gembira, dan banyak juga yang sedih, perih dan kecewa. Begitulah hidup, keragaman adalah keniscayaan. Namun dalam keniscayaan itu, kebajikan mesti ditunaikan. Kebaikan mesti dilaksanakan. Kebenaran mesti dimenangkan.

Di dunia ini, apapun bentuk kriminal mesti dilawan. Ia merupakan musuh bersama. Akan tetapi memaksa suatu paham kebenaran kepada pihak lain merupakan sesuatu yang tidak baik juga. Jangan melakukan kezaliman atas nama menegakkan kebajikan dan keadilan.

Kebaikan dan kebajikan muncul dan datang bersamaan. Ia diniatkan dan dilakukan dengan cara yang tidak menafikan dialog, rasa belas kasih, rasa cinta yang muncul dalam diri kemanusiaan, terutama karena tuntunan Ilahi yang suci, yang selalu membawa pesan kedamaian. Jika ada kejahatan dan kedurjanaan dalam bentuk apapun dilakukan orang atau sekelompok orang atas nama  perintah Tuhan, itu merupakan pemahaman yang keliru.

Belajar dari dua kejadian dahsyat dan mengerikan itu, sebagai anak bangsa, sejatinya kita mafhum bahwa segala hal perlu dikenang sebagai pelajaran untuk menjalani hari esok yang panjang. Segala hal perlu disiasati agar semua kejadian kelam itu tidak terulang kembali.

Belajar dari pahit getirnya masa lalu merupakan langkah dan upaya bijak dan sanggam untuk tidak diulangi.
Memang, kebaikan dan kejahatan tetap maujud selama dunia terbentang. Karena sepasang, karena ia pelengkap kehidupan. Tetapi berpihak kepada kebaikan dan kebajikan adalah kepastian. Kejahatan dalam apapun bentuknya harus disingkirkan.

Jangan sampai terpuruk di lubang dan kubang yang sama, jangan pernah lagi maujud kejadian serupa, walau orang bijak selalu mengatakan sejarah tetap berulang. Namun tidak bagi kejadian memilukan dan menyakitkan itu bagi bangsa ini, dan dunia yang sedang dipagut ini. Kedua peristiwa itu merupakan bentuk teror, dan itu mesti dilawan dan dikalahkan. Semoga. ***

Baca : Cemas Corona

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *