Menabur Budi

Bang Long
Transformasi Teks: Buya Amrizal

Bismillah,
PADA hakikatnya, karya sastra tumbuh berkembang dari lingkungan masyarakat. Sastra merupakan bagian dari kehidupan kita secara pribadi dan sosial. Kehidupan kita itu sebenarnya adalah ragam sastra. Karena itu, wajar saja jika ada teori yang menyatakan bahwa sastra itu merupakan emanasi dari kehidupan. Ragam kehidupan yang kita alami merupakan kekayaan sastra yang luar biasa. Diri kita adalah puisi dan prosa. Lingkungan sekitar kita pun merupakan bank sastra. Alam kehidupan sekitar yang dimaksud bisa berupa diri sendiri, keluarga, dan lingkungan, baik fisik maupun batin. Inilah yang menjadi bank sastra yang selanjutnya diwujudkan dalam berbagai genre (karya) sastra. Sebab itu, pada hakikatnya, (karya) sastra merupakan hasil transformasi dari teks kehidupan atau konteks.

Selain konteks, teks pun bisa menjadi dasar suatu (karya) sastra. Apapun jenis teks merupakan sumber bagi sastra(wan). Keberadaan teks bisa menjadi bahan dasar transformasi, baik berupa segmen maupun teks paripurna. Transformasi bisa menjadi suatu cara yang dipergunakan sastrawan dalam membuat suatu hasil karya. Tranformasi adalah sumber inspirasi atau bahan rujukan untuk melahirkan karya-karya terbaru. Transformasi teks bisa dijadikan materi dasar bagi sastrawan untuk berkarya. Berdasarkan pengalaman proses kreatif, saya menulis novel Tangisan Batang Pudu berdasarkan berita liputan setengah halaman surat kabar Harian Riau Pos. Saya yakin sekali, banyak (karya) sastra lahir berdasarkan transformasi teks.

Makna kunci untuk istilah transformasi adalah perubahan, yaitu perubahan terhadap suatu hal atau keadaan (Burhan Nurgiantoro, 1998:18). Jadi, arti kata transformasi pada intinya adalah suatu perubahan bentuk atau alih rupa dari suatu aspek menjadi hal baru yang tidak sepenuhnya meninggalkan esensi dasar dari aspek yang ditransformasikan serta dapat dilihat hasilnya. Pada intinya transformasi merupakan sebuah proses sebagai upaya seseorang dalam menuangkan sebuah ide ke dalam hal baru yang dipengaruhi oleh suatu hal sebagai sumber inspirasinya. Dalam hal ini ditegaskan dengan argumen Tony Rudyansjah bahwa: Manusia harus berpikir dalam satu kerangka kebudayaan tertentu: yang bisa dilakukannya adalah menyesuaikan, memodifikasi, dan paling jauh mentransformasi apa-apa yang sudah tersedia di dalam jagad raya kebudayaannya agar sesuai dengan aspirasi dan kepentingan yang dihadapinya saat itu (Tony Rudyansjah, 2009:236).

Transformasi tidak akan meninggalkan apa yang menjadi hipogramnya. Istilah hipogram sering digunakan dalam teori interteks karya sastra dalam proses transformasi. Hipogram merupakan karya, tradisi, dan konvensi sebelumnya yang dipandang sebagai suatu tantangan yang perlu disikapi, yang dijadikan dasar bagi penulisan karya lain sesudahnya (Burhan Nurgiantoro, 1998:15.) Pemahaman dalam teori interteks karya sastra menekankan bahwa suatu teks tidak dapat berdiri sendiri. A. Teeuw menegaskan bahwa tidak ada suatu teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti penciptaannya dengan konsekuensi pembacaannya juga, dilakukan tanpa sama sekali berkaitan dengan teks lain yang dijadikan semacam contoh, teladan, kerangka, atau acuan (Burhan Nurgiyantoro, 1998:15).

Tentang transformasi teks yang dikembangkan oleh Julia Kristeva dengan istilah interteks inilah yang muncul dalam karya-karya Amrizal Isa al-Bangkalisi. Amrizal Isa al-Bangkalisi, kami memanggilnya Buya Amrizal memang menabur budi dalam kumpulan cerpennya Menabur Budi. Kumpulan cerpen yang berjumlah dua puluh judul ini diterbitkan oleh Dotplus Publisher pada Juli 2021. Buku ini diberi catatan oleh penyair Indonesia asal Bengkalis, Riau, Syaukani Al-Karim dengan judul Menabur Budi di Jalan Melayu dan Marzuli Al-Bantany Kumpulan Cerpen Tunjuk Ajar Melayu. Kedua penyair ini telah memberikan catatan tersendiri tentang cerpen-cerpen Buya Amrizal sesuai dengan apa yang terkandung di dalam rangkaian peristiwanya. Desain sampul berlatar masjid dan rumah Melayu tentu saja sangat relevan dengan judul buku Menabur Budi ini.

Judul Menabur Budi merupakan substansi yang provokatif. Secara konvensional, kebanyakan sastrawan menentukan judul besar suatu buku berdasarkan judul suatu cerpen, suatu tokoh, atau suatu peristiwa dalam kisah yang dibangunnya, tetapi Buya Amrizal justru membangun judul tersendiri di luar kebiasaan tersebut. Ini sebagai suatu kesadaran penulis memaknai secara menyeluruh isi karyanya. Tentu saja pemberian judul buku ini memerlukan pertimbangan dan perenungan tersendiri pula. Pertimbangan dan perenungan itu juga bisa berkaitan dengan konteks terkini, yaitu kehilangan jatidiri Melayu.

Konteks terkini inilah yang berkelindan dengan keaktualan kisah-kisah yang dibangun penulis dalam karyanya. Kisah-kisah yang dibentangkan Buya Amrizal sangat aktual. Keaktualannya berkaitan dengan lokalitas Melayu yang Islami. Jalinan peristiwa yang dirajut terasa sangat dekat dengan kenyataan dan pengalaman kehidupan kita sehari-hari. Ketika membaca setiap kisah, kita seakan-akan melakukan refleksi terhadap terhadap peristiwa-peristiwa yang pernah dialami. Apa yang dibangun Buya Amrizal dalam Menabur Budi ini merupakan peristiwa-peristiwa pengalaman sederhana, tetapi mempunyai pengaruh besar terhadap karakter tokoh yang dibangun apalagi jika kita kaitkan dengan kehidupan nyata. Selain itu, pesan-pesan yang ingin disampaikan Buya Amrizal juga untuk membangun karakter bangsa (Melayu). Lantas, muncul pertanyaan sesuai konteks saat ini, ”Apakah ini penting?” Kisah-kisah yang di dalamnya bermuatan pembangunan karakter tentu saja bukan penting, tetapi sangat penting. Ketika suatu bangsa mengalami korosi akhlak, kehadiran kisah-kisah pembangun karakter seperti Menabur Budi ini sangat penting. Persoalannya adalah bagaimana membangun minat baca.

Bahan dasar karya sastra adalah bahasa. Kridalaksana dalam Chaer menjelaskan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri (2014:32). Sebagai sesuatu yang arbitrer, walaupun bertujuan untuk mengidentifikasikan diri, bahasa tidak bisa terbebas dari unsur konvensional. Nah, dari segi kebahasaan, Buya Amrizal merajut bahasa dengan sederhana, mudah dimengerti dan dipahami, serta berdiksi kejeniusan lokal. Saya katakan sederhana karena mudah dimengerti dan dipahami. Alasannya karena bahasa yang dipergunakan Buya Amrizal dalam mengembangkan kisah dalam setiap cerpennya lebih denotatif. Saya katakan berdiksi kejeniusan lokal sebab Buya Amrizal menghidupkan kembali diksi-diksi Melayu yang nyaris atau sudah mati. Apa saja diksi itu? Misalnya, (1) disksi berkaitan dengan sapaan kekerabatan, (2) diksi berkaitan dengan penokohan kisah, dan (3) diksi berkaitan dengan hal lain seperti seni bina. Berkaitan dengan segi kebahasaan, dialog-dialog yang disuguhkan dalam Menabur Budi ikut memperkuat sistematika kisah yang dibangun. Tampaknya, Buya Amrizal lebih suka bermain dialog-dialog daripada narasi. Dialog yang dijalinnya pun memiliki kekuatan, termasuk kekuatan amanat cerpen seperti berikut.

”Orang Melayu dalam kesehariannya tidak bersifat individualis atau mementingkan urusan sendiri. Mereka memiliki rasa kepedulian sosial yang cukup tinggi. Bahkan kadang-kadang terkesan selalu ingin tahu hal orang lain dengan maksud mana tahu mereka sewaktu-waktu bisa membantunya. Mereka tak segan-segan akan mengorbankan apa saja yang mereka punya demi menolong kerabat dan tetangganya apabila memerlukan bantuan”, jelas Usman lagi dengan panjang lebar” (Cerpen Kenduri Kawin Melati, h.33).

Cerpen-cerpen dalam Menabur Budi merupakan kisah-kisah transformasi teks. Hipogramnya adalah Tunjuk Ajar Melayu karya Budayawan Riau, Tenas Effendy. Dalam Tunjuk Ajar Melayu disebutkan bahwa tunjuk ajar Melayu adalah segala petuah dan amanah, suri teladan, nasihat dan amanat, yang membawa manusia ke jalan yang lurus dan diridai Allah, yang berkahnya menyelamatkan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dalam ungkapan dikatakan sebagai berikut.

”Yang disebut tunjuk ajar,
Petuah membawa berkah,
Amanah membawa tuah”
”Yang disebut tunjuk ajar,
Tunjuk menjadi telaga budi,
Ajar menjadi suluh hati”
”Yang disebut tunjuk ajar,
Menunjuk kepada yang elok,
Mengajar kepada yang benar” (1994:5).

Tunjuk Ajar Melayu inilah yang menjadi hipogram karya Buya Amrizal. Tunjuk Ajar Melayu berfungsi sebagai teks terdahulu sebagai metriks, sebagai sumber, atau pusat makna dari teks yang terkandung dalam Menabur Budi. Tunjuk Ajar Melayu sebagai pusat makna yang menstrukturkan dan menyatukan keseluruhan teks dalam cerpen karya Buya Amrizal. Semua cerpen karya beliau menjadikan Tunjuk Ajar Melayu sebagai sandaran utama. Sandaran utama transformasi teks ini sangat jelas dalam karya beliau. Kutipan utama yang bersumber dari Tunjuk Ajar Melayu beliau tuliskan pada setiap awal cerpen-cerpennya. Sandaran utama inilah yang merangkum makna yang terkandung dalam setiap cerpen beliau. Misalnya, pada cerpen Magister Rendah Hati. Pada awal cerpen itu beliau tulis sebagai berikut.

Apa tanda Melayu jati
Budi halus dan rendah hati
Lemah lembut sebarang pekerti
Sesama umat ia hormati
Pantang baginya membesarkan diri
Sifatnya tidak tinggi hati
Lidahnya lunak pantang meninggi (2020:213).

Apa yang sudah terangkum dalam Menabur Budi telah menjadi bukti kreativitas Buya Amrizal di bidang sastra. Karya-karyanya ini meraungkan nilai-nilai Melayu ke jagat raya. Paling tidak, tujuannya ingin memberikan tunjuk ajar pula kepada generasi bangsa (Melayu) tentang norma-norma kehidupan yang elok itu. Menabur Budi ini telah menjadi tunjuk ajar Melayu dalam bentuk teks sastra yang lain.

Alhamdulillah.

Bengkalis, Jumat, 03 Safar 1443 H / 10 September 2021 ***

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *