Kematian yang Manis

Bang Long

Bismillah,
BATAS akhir kehidupan adalah kematian. Tidak seorang pun manusia mengetahui secara pasti tentang kematiannya. Kematian itu memang rahasia Ilahi. Kapan, di mana, dan bagaimana cara manusia mati merupakan misteri. Bila kematian sudah tiba, semua kenikmatan dunia menjadi sirna. Dunia bagai sesuatu yang tiada berguna. Fana.

Dalam ungkapan Melayu, kata senja selalu bermakna konotasi. Senja mendekati kematian. Misalnya, ungkapan di rembang senja atau umur senja. Ungkapan tersebut bermakna usia seseorang yang mendekati kematian. Namun, sekali lagi, kematian itu misteri. Kematian tidak mengenal usia. Namun, tentu saja kita bisa “memilih”: mati dengan manis atau mati dengan pahit? Ini juga suatu misteri. Para eksistensialis mengangkat masalah kematian sebagai tema filsafat yang penting. Kematian merupakan peristiwa yang tidak dapat dihindarkan dan merupakan refleksi dari keterbatasan manusia. Menurut Sartre dan Camus, kematian dipandang sebagai puncak absurditas hidup manusia. Manusia yang berasal dari ketiadaan mengakhiri keberadaannya dengan kematian. Ada juga para eksistensialis yang memandang kematian dengan pandangan yang lebih optimis. Kekompok tersebut mempunyai kepercayaan bahwa dengan penerimaan yang tulus atas kematian dapat membantu manusia untuk hidup lebih autentik dan bahagia (Koeswara, 1987: 6).

Pada Senja yang Basah (selanjutnya saya singkat PSyB) merupakan kumpulan cerpen karya sastrawan Riau asal Bengkalis, Marzuli Ridwan Al-Bantani. Puisi ini diterbitkan oleh Dotplus Publisher (2021). Sampul buku ini didominasi warna langit senja sesuai dengan diksi senja pada judulnya. Warna utama jingga itu dipadukan dengan warna hitam bergambar separuh masjid dan reranting pohon. Semua perpaduan itu diselimuti renyai hujan. Tulisan judul pun mengutamakan pada kata senja sehingga kata tersebut mendapat porsi lebih besar daripada kata-kata lain. Paling tidak, ini memberikan matlamat bahwa diksi senja dalam karya Marzuli ini memiliki makna tersendiri.

Fenomena senja ternyata tercatat dalam Al Quran, Surah Al-Kahfi:Ayat 28. Artinya, dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya…Lalu, diksi senja pun tercantum dalam Surah Al-Inshiqaq:16, “Maka Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja.” Warna senja yang menyepuh langit menyuguhkan keindahan dalam pandangan kita. Berdasarkan kajian ilmuan, keindahan di balik senja itu ada fenomena tersendiri. Ahli meteorologi, Steven Ackerman mengatakan bahwa warna matahari terbenam dihasilkan oleh fenomena yang disebut hamburan. Kata beliau, saat senja, molekul dan partikel kecil di atmosfer mengubah arah sinar cahaya yang menyebabkan sinar tersebut menyebar. Fenomena hamburan juga terjadi ketika matahari terbit. Menurut KBBI, senja adalah bagian waktu dalam hari atau keadaan setengah gelap di bumi sesudah matahari terbenam.

Saya mencium aroma kematian ketika membaca PSyB karya Marzuli ini. Sastrawan ini, menurut saya, menjadi “pembunuh” tokoh utama dalam cerpennya. Melalui sebagian cerpennya, Marzuli bermain dengan kematian. Sadar atau tidak, sastrawan ini ingin agar makhluk mengingat kematian. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan kenikmatan, yaitu kematian (HR Tirmizi). Bahkan, Al Quran pun mengingatkan kita tentang kematian. ”Setiap yang bernyawa akan merasakan mati” (QS Ali Imran:185). Lalu, “Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya akan menemui kamu. Kemudian, kamu akan dikembalikan kepada Allah, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Lalu, dia diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS Al Jumuah:8). Tema besar karya Marzuli dalam buku PSyB adalah kematian.

Cerpen bertajuk Lelaki yang Tiba Sebelum Adzan Zhuhur Berkumandang, misalnya, mengisahkan Dalam suatu kisah, lelaki tua senantiasa menjadi orang pertama berada di masjid. Lelaki tua itu terus berupaya tiba di rumah cahaya sebelum azan dilaungkan muazin. Kata lelaki tua itu, ”Hanya mereka yang datang dengan amal kebaikan sajalah yang akan dinaungi kasih sayang Tuhan. Sementara mereka yang datang dengan amal keburukan, tentu akan merasakan panas dan perih azab-Nya.” Akhir cerpen ini, penulis mengabarkan bahwa lelaki tua yang disapa Atuk itu meninggal dalam kemuliaan.

Selanjutnya, dalam cerpen Senyum Terakhir Cikgu Ahmad, berkisah tentang pengabdian seorang Cikgu pada suatu madrasah. Karakter ikhlas dan penuh semangat ditampilkan penulis melalui tokoh ini. Di tengah aksi demo memperjuangkan kesejahteraan, Cikgu ini justru berkebun sesuai kemampuannya. Dia juga bekerja dengan ikhlas sebagai guru honor. Honor kecil diterimanya dengan bahagia. Perjuangan kawan-kawannya untuk kesejahteraan sudah berhasil, tetapi tokoh Cikgu Ahmad tak dapat merasakannya. Dia meninggal dalam keikhlasan pengabdian yang luar biasa. Kemudian, tokoh Awang menjadi korban fitnah dalam cerpen Fitnah-Fitnah yang Berterbangan. Beberapa kasus pencurian di kampungnya, Awang yang menjadi kambing hitamnya. Akhirnya, nyawa Awang ditikam oleh pemfitnahnya, yaitu tokoh Bubun. Awang mati. Lalu, ada Tuk Kamil yang hilang di tengah hutan dalam cerpen Telaga Hitam di Tengah Hutan. Marzuli membumbui kisah ini dengan misteri lewat kehadiran tokoh misterius berpakaian serba hitam. Mitos pun berkecamuk dalam cerpen ini. Tokoh Tuk Kamil diyakini meninggal. Meninggalnya Tuk Kamil diyakini berkaitan dengan misteri telaga hitam tersebut.

Kemudian, cerpen Pada Senja yang Basah berkisah tentang tokoh Hasan yang bersimbah darah karena ditikam orang yang tak dikenal. Cerpen ini menjadi judul utama buku ini. Sebagaimana saya tulis pada awal tulisan ini, cerpen yang berdiksi senja ini mendapat tempat utama oleh penulisnya. Di tengah kesibukan akan dilaksanakan doa selamat, tiba-tiba dihebohkan dengan kecelakaan yang menimpa Hasan. Namun, dalam cerpen ini, penulis mempermainkan pembaca dengan akhir terbuka (open ending). Penulis tidak menyebutkan apakah tokoh Hasan mati atau masih hidup.

Selain sembilan cerpen konvensional yang biasa kita kenal, Marzuli pun menyuguhkan empat cerpen tiga paragraf yang sering disingkat pentigraf. Pentigraf ini pada dasarnya cerpen mini yang hanya terdiri atas tiga paragraf. Pentigraf bukan penemuan baru. Sejak lama cerpen mini seperti ini sudah ditulis. Pentigraf Sepetak Tanah Warisan mengisahkan tokoh Ngah Braim berniat mewakafkan sebagian tanah untuk kepentingan masyarakat di dusunnya guna membangun surau. Akhirnya, Ngah Braim meninggal setelah niat baiknya terlunaskan.

Sejumlah cerpen Marzuli tersebut bermain-main dengan kematian. Penulisnya ingin menyampaikan beberapa pesan kepada kita. Pertama, kematian bisa datang kapan saja. Kedua, kematian bisa terjadi dengan beberapa cara. Ketiga, kematian merupakan cara terakhir kita untuk bertemu dengan Tuhan. Keempat, kita tak pernah tahu bagaimana kita mati. Demikianlah kematian! Kematian telah menjadikan kehidupan tidak bermakna: absurditas. Kematian menjadi pisau yang memutuskan kenikmatan dunia. Kematian seperti apa yang kita inginkan? Buku kumpulan cerpen karya Marzuli telah memberikan jalan terbaik tentang kematian, yaitu kematian yang manis. Awal cerpen berjudul Lelaki yang Tiba sebelum Adzan Zhuhur Berkumandang, mengisahkan kematian yang manis. Pada cerpen akhir, yaitu pentigraf berjudul Tanah Warisan, juga mengisahkan kematian yang manis. Inilah suatu pesan khusus dari Marzuli, yaitu mati di jalan Ilahi. ”Janganlah seseorang mati, kecuali dia dalam keadaan berbaik sangka terhadap Allah Taala (H.R. Muslim). Allah Yang Maha Tahu.***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Sabtu, 04 Safar 1443 H / 11 September 2021

Baca : Menabur Budi

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *