Jalan ke Kanan

Bang Long

Bismillah,
“KALAU mau melangkah, mulailah dengan langkah kanan,” itulah pesan yang sering kita tangkap melalui telinga. Lazimnya, pesan sakral itu meluncur dari lisan kedua orang tua kita, nenek, atuk, atau Pak Cik, dan Mak Cik kita. Tentu saja mereka mengingatkan kita juga untuk memulainya dengan doa. Mungkin semua orang tua kita pernah berpesan seperti itu. Lantas, kita tentu bertanya mengapa harus dimulai dengan yang kanan? Kanan merupakan lambang sesuatu yang mulia dan baik. Langkah kanan merupakan metafora yang bermakna mujur, beruntung, atau dalam keadaan yang menyenangkan. Tentang memulai sesuatu dengan yang kanan ini, Imam Nawawi Rahimahullah berkata, “Kaidah syariat yang terus berlaku bahwa segala yang berkaitan dengan kemuliaan dan keindahan dianjurkan untuk memulainya dengan sebelah kanan”. Demikian pula dalam metafora golongan kanan: Alangkah mulianya golongan kanan itu.

Sejak lama, entah sejak kapan memulainya, metafora kanan masih tetap bertahan. Meskipun dalam aturan baris berbaris dimulai dengan langkah kiri, tetapi masyarakat umum masih tetap meyakini bahwa kanan merupakan sesuatu yang elok dari segi apa pun. Kemuliaan kanan masih lekat dalam alam bawah sadar kita. Bahkan, lambang negara kita burung Garuda pun menoleh ke kanan. Mengapa? Alasannya karena kanan merupakan lambang kebaikan dan kebenaran. Lambang Garuda yang menoleh ke kanan itu bisa saja mengisyaratkan agar negara kita tercinta ini selalu berada dalam jalan kebenaran dan kebaikan. Pesannya untuk mengingatkan para pemimpin supaya senantiasa istikamah ber-jalan ke kanan dalam menakhodai suatu bangsa dan negara.

Adalah Ibnu Sabir dalam cerpen Jalan ke Kanan karya Griven H. Putera (GHP). Cerpen ini terangkum dalam buku cerpen Nisan-Nisan Berbunga (Yogyakarta, 2021). Nama tersebut bisa bermakna orang yang sabar atau anak yang sabar. Nama Ibnu Sabir memang sejalan dengan jatidiri kesabarannya. Setelah tiga bulan, Ibnu Sabir terbuang dari rumah mertua. Entah apa pasalnya. Dia menderita amnesia juga. Pada malam dia diusir, dia terpaksa melewati jejalanan sempit dan disimbah hujan. Bukan hanya dia sendiri, tetapi sekeluarga mereka harus mencari tempat berteduh baru. Sambil mengendarai Vespa tua, mereka berlima beranak terpaksa bersempit-sempit di atas kendaraan roda dua itu. Ibnu Sabir terpaksa membawa keluarganya pergi sejauh mungkin dari pesantren tempat ia belajar dan mengabdi selama ini.

Tidak tahu pasti mengapa mereka terusir dari rumah mertua. Dia masih heran apa kesalahannya kepada mertuanya. Yang jelas, ia menurut saja. Terkadang, ia sedih juga ketika memandang wajah isterinya, Zainab dan ketiga anak mereka: Hamdan, Naila, dan Mursyid. Sambil menarik gas Vespa tuanya, malam itu Ibnu Sabir terus melaju. Tujuannya tidak tentu. Pada setiap persimpangan, dia hanya mengikuti kata hati: belok ke kanan. Dia pasti belok ke kanan jika berada pada persimpangan. Ke kanan, ke kanan, ke kanan, begitu kata hatinya. Dalam bepergian itu, mereka tidak lupa salat. Ibnu Sabir tak bisa tidur semalaman selama berteduh di suatu pondok ladang karena ia berpikir berbagai kemungkinan yang tidak menyenangkan. Selanjutnya, dia terus saja memacu Vespanya sampai merasakan bahwa kendaraannya itu tidak bergerak. Tangannya pun terasa kejang.

Tiba-tiba saja, Ibnu Sabir berbaring. Di sampingnya, berbaring juga perempuan cantik. Perempuan itu hanya tersenyum ketika Ibnu Sabir bertanya tentang anak dan isterinya. Lalu, lelaki muda mirip dirinya muncul. Lelaki itu mengisyaratkan agar perempuan tersebut beranjak. Lelaki muda yang mirip dirinya dan perempuan cantik itu pun meninggalkan dirinya sendirian. Dalam terbaring itu, Ibnu Sabir hanya mendengar suara-suara ketiga anaknya. Dia juga hanya berdoa agar segera dijumpakan dengan anak dan isterinya tercinta. Ia membaca Al-Fatihah.

Di sisi lain, Bu Zaleha, janda kaya yang tidak memiliki keturunan dan saudara, berbincang dengan Zainab. Bu Zaleha berpesan kepada Zainab, kalau Ibnu Sabir sudah sadar, katakan bahwa rumah dan tanah diwakafkan kepada keluarga mereka. Bu Zaleha menganggap Ibnu Sabir dan keluarganya sebagai anak angkat. Bu Zaleha adalah orang baik yang menyelamatkan mereka setelah Vespa terguling malam itu. Zainab tidak menghiraukan pesan Bu Zaleha. Ia hanya berdoa dan berharap agar suaminya segera sadar dari pingsan.

GHP dalam cerpen Jalan ke Kanan yang pernah dimuat di Republika itu sepertinya ingin menguatkan tentang makna kanan. GHP yang juga penulis esai Celana Tak Berpisak itu ingin mengatakan bahwa kanan memang bermakna kebaikan atau keberuntungan. Ibnu Sabir hanya mengikuti kata hatinya untuk menelusuri jalan ke kanan di setiap simpang,

Ibnu Sabir seorang kepala keluarga. Beliau laksana camat, bupati, presiden, atau raja. Ibnu Sabir adalah pemimpin. Keselamatan yang dipimpinnya sangat bergantung pada keputusan dan kebijaksanaan pemimpin. Keputusan dengan hati nurani yang mengarah ke jalan kebenaran–jalan ke kanan–merupakan keputusan tepat dan bijaksana. Keputusan berdasarkan kebijaksanaan dan kebenaran inilah yang berakhir dengan kegembiraan atau kemenangan.

Suatu keputusan tentu mengandung risiko, apapun keputusan itu. Keputusan yang benar juga berisiko apalagi keputusan yang salah. Jalan ke kanan yang dipilih oleh Ibnu Sabir bermakna jalan kebenaran. Banyak risiko yang dialaminya. Dalam perjalanan, mereka diguyur hujan dan badai. Risiko puncaknya adalah ketika Vespa yang mereka gunakan terguling. Ibnu Sabir pingsan. Keluarganya berada ruang risau. Risiko yang dialami bukan hanya menimpa dirinya, tetapi juga keluarganya. Di akhir kisah, keluarga yang selalu mengikuti kata hati untuk ber-jalan ke kanan ini dihadiahi tamasya. Inilah pesan besar tentang kesabaran dan kebenaran. Kesabaran dan kebenaran adalah puncak menara.

Hanya Allah Taala Yang Mahatahu.***

Alhamdulillah.

Bengkalis, Sabtu, 18 Safar 1443 H / 25 September 2021.

Baca : Kematian yang Manis

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *