Tunduk Padi

Terapi Kamar Mandi

TUNDUK, Runduk. Ya, menunduk dan merunduk merupakan dua kata yang memiliki arti dan maksud yang hampir sama. Tapi tentu saja bermakna berbeda. Namun pada inti dan hakikatnya tetaplah sama. Sikap menghormati yang lain. Sikap merendah karena sesungguhnya ia tinggi. Ya, ketinggian diri, kemuliaan budilah yang membuat orang merunduk, membuat orang menunduk, membuat orang menjura hormat kepada yang lain.

“Kubur dirimu di tanah kerendahan, apapun yang tumbuh tanpa dikubur tak akan sempurna hasilnya.” Demikian pesan Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari.

Kira-kira 35 tahun dahulu, seorang nenek berpesan kepada cucunya, “Yung, jangan pernah lupa ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk.”

Saat itu sang cucu tidak begitu paham filosofi dan apa maksud perempuan yang ingatannya seolah photografic memory itu berpesan kepadanya demikian. Apakah karena sang nenek melihat dalam diri cucunya ada benih yang bakal muncul sifat dan sikap meninggi, atau barangkali ia melihat sesuatu yang lain. Entahlah. Akan tetapi yang paling jelas, bahwa fatwa itu tetap tak lekang dari ingatan sang cucu. Pesan itu hadir hampir saban saat tanpa diundang dalam minda sang cucu.

Kata padi banyak dipakai orang Melayu dalam mutiara pengajaran mereka. Kenapa? Di antaranya karena ia merupakan sesuatu yang amat penting dan mustahak, ia menjadi makanan pokok manusia di rantau ini yang diolah menjadi beras. Setelah beras ditanak ia pun berubah menjadi nasi. Saat itu nasi pun siap menjadi asupan pokok bagi orang Melayu untuk mendayung perahu kehidupan. Tak disebut makan kalau tak berbahan beras. Tak ada istilah sarapan pagi, yang ada makan pagi. Bila berbicara makan, maka beraslah bahan pokoknya.

Saat padi menjadi nasi muncul lagi petuah yang lain; jangan sampai nasi menjadi bubur. Artinya kalau sudah jadi bubur, kalau sudah hancur maka semuanya pun lebur. Bubur memang dapat dimakan tapi tak seperti nasi. Di tekak sebagian orang Melayu, yang namanya bubur tak akan mengenyangkan.

Selain itu, betapa hormatnya orang Melayu kepada padi. Sehingga cara menanam dan mengolah padi pun punya etika dan estetika tersendiri. Begitu juga cara menyimpan dan memasaknya hingga mengosumsinya. Jangan sembarangan pada padi. Tergamang hati jika melihat padi dipukul-pukul, dilecut-lecut, digiling-giling dengan cara kasar dan keras. Jangan sampai makan menyisakan remah dan membuang nasi tanpa alasan yang jelas. Padi punya marwah. Padi memiliki derajat. Padi punya hati, padi punya sri dan seri, punya rasa dan perisa.

Konon dahulunya, biji padi itu sebesar buah kelapa, namun karena manusia tak pandai menempatkannya pada anjung tinggi, tak pandai memuliakan dan menghormatinya, maka bulir padi berubah menjadi kecil. Banyak tak percaya dengan cerita itu, tapi kabarnya sampai saat ini, kulit padi sebesar kelapa itu masih disimpan di rantau ini. Ya, masih tersimpan di dalam sarah atau peti, sebagai bukti bahwa cerita-ceriti tentang padi besar itu benar adanya. Ia bukan mitos. Ia bukan legenda usang yang digadang-gadang.

Sang nenek melarang keras cucunya jika makan di pinggan menyisakan nasi walau sebutir. Jangan-jangan pada sebutir itulah yang akan menjadi darah daging. Jangan-jangan pada padi sebiji itu yang membuat tubuh kuat dan dapat beribadah menyembah-Nya. Jangan-jangan gegara sebiji padi, sebutir beras atau nasi dapat menghilangkan rezeki setahun bahkan seumur hidup. Hormati dan hargai padi. Ia amat berjasa dalam hidupmu.

Padi merunduk tanda ‘lah masak. Alamat boleh dituai. Sekejap lagi akan diirit hati-hati untuk memipil atau memisahkannya dari tangkai, lalu dijemur di sinar mentari, kemudian ditumbuk pada lesung dengan alu serentak, dan dengan perasaan riang gembira. Bunyi alu bertembung lesung menjadi alunan music yang sulit dilupakan. Ditingkah sorak-sorai tawa gumbira para dara jelita yang jungkat-jungkit sedang asyik bahagia di atas lesung.

Tak ada padi yang boleh terserak. Tak boleh ditaruh di sebarang letak. Simpan dengan baik di lumbung, lengkiang atau di kepuk padi.

Sebagai ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Hanya padi hampa yang tegak lancang. Itulah cerminan manusia pilihan. Pantulan insan berbudi. Air beriak tanda tak dalam. Kaleng beras kosong bila dipukul nyaring bunyinya.

Hari ini banyak manusia yang sulit untuk menunduk. Payah nian nak merunduk. Diri merasa gagah perkasa. Berjalan mendada itik. Melihat, mata menjeling juling. Kepala lebih banyak mendongak ketimbang menunduk. Sikap dan kata selalu jumawa. Tak ada yang kaya, berpangkat, terhormat dan berilmu tinggi selain kita. Semua orang dilapah dan dipandang rendah dan hina. Selalu beraja di mata dan bersultan di nafsu.

“Kalau bukan karena siburuk kepak ini, maka tak akan jadi ini dan itu di sini,” demikian kata yang selalu diucap sabil mendabik dada. Demikian kalimat yang dibendangkan ke mana-mana dengan pongah. Okh. Kalau begitu, siapakah yang hina-dina? Siapakah yang buruk jiwa, jelek rupa?

Tenas Effendy dalam tunjuk ajar Melayu berpesan: Wahai ananda haluskan pekerti/ janganlah suka meninggi-ninggi/ besar kepala orang membenci/ hidup sengsara hinalah diri.

Sayyid Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad dalam kitab Risalat al-Mua’awanah wa al-Mudhaharah wa al-Muwazarah menjelaskan tanda-tanda manusia rendah hati itu di antaranya adalah lebih senang tidak dikenal daripada menjadi orang terkenal; bersedia menerima kebenaran yang bersumber dari siapapun; mencintai fakir miskin dan tidak segan serta malu duduk bersama mereka; bersedia mengurus dan menunaikan hajat orang lain dengan sebaik mungkin; berterima kasih kepada orang-orang yang telah menunaikan hak yang dibebankan atas mereka.

“…Tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim).

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Q.S. al-Isra: 37).
Wallahu ‘alam. ***

Baca : Perjalanan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *