Relasi Agama dan Negara dalam Konteks Moderasi Beragama

JIKA anda melakukan googling dengan mengetik “Moderasi Beragama”, maka akan menemukan 1.290.000 hasil. Hal ini, menunjukkan bahwa istilah ini, telah menjadi “buah bibir” dalam dunia maya. Dalam konteks ke-Indonesia-an, istilah ini ingin menegaskan kembali cara pandang kita atas agama yang kita yakini. Yaitu sebuah sebuah cara pandang yang terkait dengan proses memahami dan mengamalkan ajaran agama agar dalam melaksanakannya selalu dalam jalur yang moderat. Moderat di sini dalam arti tidak berlebih-lebihan atau ekstrem. Jadi yang akan “dimoderasi” di sini adalah cara beragama, bukan agama itu sendiri.

Sekali lagi, yang dibahas bukan “agama” namun cara beragama. Hal ini, penting untuk disampaikan bahwa seringkali kita tidak mampu membedakan antara “agama” yang bersifat normative, absolut, mutlak, doktriner, dogma, dengan “beragama” yang sudah bersifat historis.

Agama yang kita yakini memang sudah sempurna, yang datang dari Tuhan yang Maha Sempurna. Namun, ketika “ditangkap” oleh manusia, kemudian ia dipahami dan diamalkan sesuai dengan pemahaman atas agama itu, maka ia menyejarah. Ia menjadi “tafsir” atas agama itu sendiri. Karena tafsir ini melibatkan pemahaman (akal) manusia, maka pesan-pesan agama menjadi sangat beragam.

Persoalannya adalah ketika kita berusaha memaksakan kehendak agar hasil “tangkapan akal” manusia itu, dijadikan sebagai bagian dari agama itu sendiri. Kita menganggap bahwa apa yang kita tafsiri dari agama itu, merupakan representasi dari kehendak Tuhan. Nah, cara pandang beragama seperti ini yang kemudian berdampak pada tindakan atau perilaku beragama yang ekstrim, berlebih-lebihan. Ia akan dengan mudah memaksa orang lain untuk sama dengan apa yang dipahaminya, karena ia yakin bahwa apa yang ia pahami sesuai dengan “kehendak Tuhan”.

Di antara hal penting terkait cara pandang kita dalam beragama ini adalah bagaimana memahami hubungan antara agama dan Negara. Kapan Negara menjamin hak-hak warganya untuk melaksanakan kebebasan beragama? Perlukah Negara mencampuri urusan cara beragama warganya? Bolehkah Negara menjadikan symbol agama sebagai identitas bersama di ruang public? Dan seterusnya.

Persoalan yang mungkin bisa dijelaskan adalah pertanyaan kapankah Negara terlibat atau mengatur dalam urusan agama dan kapan tidak? Pertama, Negara (Pemerintah Pusat dan Daerah juga) boleh mengatur cara-cara umat beragama dalam menjalankan ritualnya, demi menegakkan nilai-nilai universal, seperti persoalan hak dalam beribadah. Hal ini, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Pasal 29 yang menegaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Negara wajib menjamin kemerdekaan warganya untuk bebas memeluk agama dan bebas menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan warganya.


Kemudian Negara juga boleh mengatur cara beragama warganya, ketika sebuah hukum atau syariah dalam agama, berkait erat dengan penegakan nilai-nilai universal dari agama itu sendiri. Namun demikian, hal ini mensyaratkan akan adanya pengakuan umum (ijma’) bahwa hal itu memperoleh dukungan kebenaran dari semua umat beragama. Tidak ada khilafiah terkait persoalan ini. Misalnya, berkaitan dengan hari libur umat beragama, memfasilitasi ibadah warganya, penegakan hukum perzinahan, pemerkosaan, pencurian, dan seterusnya.

Kedua, Negara boleh terlibat, yaitu mengatur dan mengontrol organisasi dan operasioanal sebuah agama. Namun Negara tidak boleh mengatur substansi dari agama itu sendiri. Kondisi ini berlaku pada saat sebuah praktik keagamaan yang meskipun hanya diakui oleh sekelompok agama atau satu agama atapun satu mazhab tertentu, namun ia bersifat massal dan terkait dengan ketertiban umum. Misalnya ibadah haji atau ibadah qurban. Meskipun ibadah ini hanya berlaku hanya umat Islam saja, namun karena melibatkan persoalan ketertiban umum dan bersifat massal, maka Negara boleh mengatur dan terlibat di dalamnya. Tetapi Negara tidak boleh terlibat dalam hal tata cara ritualnya.

Ketiga, Negara tidak boleh terlibat dalam praktik pemahaman beragama warganya. Yaitu ketika sebuah hukum atau syariat agama yang bersifat khilafiyah, sesuatu yang diperdebatkan kewajiban atau tidaknya oleh salah satu agama atau mazhab ataupun ia berupa syariat yang bersifat individual. Dalam hal ini, Negara boleh “diam”, Negara tidak boleh melarang maupun mewajibkan warganya. Karena, ketika Negara mewajibkan salah satu pemahaman beragama itu di ruang publik misanya, sementara ia bersifat khilafiah, maka akan terjadi “benturan”. Misalnya soal cara berpakaian. Negara tidak boleh memaksa “Berpakaian seperti ini lah yang paling benar”. Wallahu a’lam Bi al-Shawab. ***

Baca : Membangun Resiprokalitas dalam Beragama

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *