Truk Menuju Kota

AKU menumpang sebuah truk milik perempuan berambut keriting bernama Brenda. Aku tak tahu asal-usul perempuan itu, tapi dalam kondisiku yang kacau dan tak punya apa-apa selain baju yang kukenakan dan sedikit uang, peduli setan dengan asal-usul.

Seharusnya aku takut kepada Brenda. Dia cukup jangkung dan suaranya terdengar berat. Brenda adalah perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki. Tentu saja, aku tak bermaksud membicarakan fisik orang lain, sebab diriku sendiri bukan orang yang enak dipandang. Kurasa apa pun tentang Brenda mengerikan, dan membuat orang tak sengaja memikirkan betapa aneh penampilannya dan betapa bisa saja ia ternyata penjahat atau bahkan pembunuh berdarah dingin.

Aku tidak ingin membayangkan itu. Aku menumpang truk milik Brenda agar dapat mencapai kota tujuanku yang masih sangat jauh, sedangkan jarak yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki meski harus melewati hutan. Jadi, antara aku dan si Brenda hanya ada kegelapan, pohon-pohon, sebuah truk, dan beberapa helai tisu basah.

Brenda menyimpan helai-helai tisu basah itu di dashboard, entah untuk apa. Dia bilang, di sana ada tisu basah, sembari kami membahas cuaca atau kondisi kota yang baru saja ditinggalkan truk Brenda, serta apa kira-kira yang kuperbuat di kota tujuanku nanti.Sementara menjawab beberapa pertanyaan Brenda, dengan agak merinding kucoba mengarang beberapa bagian. Misal kubilang di kota itu nanti aku bertemu teman lama yang berprofesi sebagai polisi.

“Aku disuruh bantu di tempat bisnisnya,” kataku.

“Orang sepertimu berteman dengan polisi? Jangan tersinggung, ya.”

“Aku memang bertampang mencurigakan, tetapi tidak ada catatan kriminal.”

Kebohonganku bukan cuma soal teman lama yang seorang polisi, melainkan juga soal keadaanku yang penuh utang dan tidak punya apa pun saat ini. Brenda percaya apa yang kukatakan, dan sembari tetap menyetir, sesekali dia bicara soal dirinya sepotong demi sepotong. Obrolan dengan cara ini terjadi tak lebih dari lima belas menit.

Sesudahnya Brenda diam dan sesekali bergumam tidak jelas. Aku cemas sekalipun kusampaikan kebohongan yang mungkin saja menjagaku dari kematian. Entah kenapa aku yakin wanita besar dan bersuara berat ini boleh jadi psikopat, yang bisa membunuh tanpa perlu alasan. Jika saja aku bisa melindungi diri, alasan terbaik adalah polisi. Tidak tahu kenapa malam ini terasa bagai malam tersial bagiku.

Kenapa aku menjadi paranoid adalah karena tubuhku ceking. Meski aku lelaki dan dia perempuan, dalam keadaan kami saat ini, mau tidak mau, peran kekalahan hanya berlaku untukku; Brenda mendapat sisanya dan dapat pulang lalu tidur dengan nyenyak. Aku benci memikirkan bahwa tubuh cekingku tidak pernah punya kegunaan, kecuali menumbuhkan rasa takut akan sesuatu yang mungkin tak tepat.

Apakah Brenda adalah pembunuh berdarah dingin?

Aku belum tahu.

Sepanjang perjalanan menuju kota tujuanku, satu-satunya yang terpikir olehku tak lain cuma bagaimana ketika aku turun dari truk ini. Apakah Brenda menolak memberiku kesempatan turun? Apakah dia menurunkanku di tempat sepi dan gelap?

Aku cemas kalau-kalau Brenda membiusku dengan memakai tisu dari dashboard tadi. Kemungkinan itu paling besar kalau dugaanku benar. Di kepalaku berputar-putar berbagai kemungkinan:

1. Brenda berpura-pura batuk, lantas mengeluarkan dahak dan berdalih mengambil tisu; padahal tisu itu akan dia gunakan untuk membiusku.

2. Brenda mengambil makanan dari belakang kursi, lalu menelan itu dan dengan demikian alasan mengambil tisu menjadi lebih wajar; tentu tisu itu untuk membiusku.

3. Brenda berhenti tiba-tiba dan menggasak kepalaku sampai pandanganku buram, lalu aku pingsan, dan dengan begitu dia bisa membawaku ke suatu tempat untuk segera dibantai.

Aku ketakutan untuk sekadar membayangkan. Pikiran ini membuatku teringat akan seorang teman yang senang berkata, “Kamu itu berlebihan. Hal-hal kecil saja dianggap besar. Segala sesuatu yang belum tentu terjadi sudah kamu anggap bakal terjadi!”

Aku tidak pernah bisa menyerang balik serangan temanku yang bicara semacam itu, jadi aku cuma diam dan berpikir kenapa aku dilahirkan dengan kebiasaan merasai takut pada segala sesuatu yang belum tentu layak untuk ditakuti? Karena tak bisa menemukan jawaban, aku tetap saja begini.

Dan, sekarang, di sinilah diriku, bersama perempuan yang kukenal secara terpaksa karena aku harus meminta tumpangan pada seseorang demi tidak berjalan kaki melewati hutan sendirian dari malam hingga besok siang. Kalau saja ada sesuatu lain, yang bisa memberiku keamanan hingga tiba di kota tujuanku, kuharap aku tidak ketemu Brenda.

Namun, Tuhan mengirim Brenda demi menolongku terhindar dari kegelapan hutan.

Benar-benar bangsat. Tetap saja aku yang selalu sial. Kalau aku memohon Brenda menurunkanku sekarang, misalnya, toh aku berada di hutan yang tidak kalah seram di otakku.

Teror ketakutan yang diterbitkan oleh sosok perempuan jangkung ini cukup parah, tetapi tidak lebih parah dari teror yang mungkin dapat dilahirkan oleh hutan. Akan ada banyak rasa takut; bukan hanya tisu basah pembius, pembunuh berdarah dingin, dan jasadku yang ditemukan beberapa hari (atau bulan) setelahnya, tapi juga binatang buas dan berbagai mitos atau legenda perkotaan yang melingkupi di kawasan ini.

Entah bagaimana kemudian Brenda kembali memecah keheningan dengan berkata tentang pacarnya yang bunuh diri empat tahun lalu. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kupikir diam lebih baik. Tanpa kuminta, ia bercerita tentang bagaimana cara sang pacar mati.

“Kamu tahu tikus?” katanya. “Tikus hutan, besar dan rakus, jauh lebih besar dari tikus rumahan. Pacarku punya empat. Dia ada masalah dengan seorang hakim laknat di suatu daerah; jangan tanyakan kenapa aku menyebutnya laknat. Intinya hakim itu punya masalah dengan pacarku dan membuat pacarku kesusahan. Suatu hari, dia ke rumah dan berkata sudah membunuh hakim itu. Aku tidak percaya, lalu dia tunjukkan foto hakim itu mati dengan perut koyak moyak. Hakim itu sengaja dia kurung dan diikat dalam ruang bawah tanah. Ada wadah kaca, tikus hutan, dan api. Semua itu cukup membunuh si hakim, tanpa perlu kujelaskan bagaimana. Tetapi, kamu tidak akan percaya apa yang pacarku lakukan besoknya setelah sadar dia bakalan diburu oleh teman-teman si hakim. Pacarku mati dengan menjatuhkan diri dari puncak gedung berlantai dua puluh!”

Selama berkata-kata itu, Brenda terlihat penuh emosi, sehingga suaranya tanpa dia sadari begitu menggelegar dan membuat kupingku berdenging. Aku tetap diam tentu. Dia terus bercerita tentang pemakaman sang pacar hingga usaha memburu teman-teman hakim laknat itu agar dirinya sendiri tidak diburu.

Sampai di bagian ini, aku merasa telah tiba di puncak ketakutan. Brenda mendadak berhenti cerita dan menatapku dalam-dalam tanpa menghentikan laju truknya. Dengan wajah yang terlihat tenang, tetapi masih menyisakan buliran keringat bekas emosi masa lalunya, dia bilang, “Aku tahu kamu bukan datang untuk membunuhku, karena tidak mungkin hakim laknat itu punya teman sepertimu.”

“Memang tidak mungkin. Sebenarnya aku sendiri tidak ada teman polisi!” jawabku yang lepas kendali karena rasa takut. Aku minta Brenda menghentikan truknya, padahal jarak kota tujuanku masih jauh. Aku tak peduli dan cuma ingin turun.

Kupikir Brenda menolak dan bakal menghantamku dengan tinjuan supernya, tetapi dia hentikan truknya dan membiarkanku turun tanpa memberiku ancaman apa-apa. Lalu, truk itu menjauh dan sekarang aku berada di tengah kegelapan hutan. Aku tidak paham kenapa aku dilahirkan penuh rasa takut begini. Entah bagaimana aku bisa segera bebas dari rasa takutku saat ini, sebab hutan bukanlah Brenda. Hutan tidak punya pacar. Hutan tidak bisa bicara dan tidak bisa mengemudikan truk menuju suatu kota tempat di mana seorang pacar sedang menungguku.***

Gempol, 2017-2021
Dikutip ulang dari Ayotasik.com

Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media cetak/online. Buku terbarunya: Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Baca : Akhir Riwayat Biola Tua

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *