Puisi-Puisi Karya SP Rida K Liamsi

Laksamana, Dimana Negeri Kita

1511
Di ujung selatan jazirah Melaka
Angin laut berkabar, Melaka jatuh ke tangan peringgi
Pesara Laksamana renta dalam usia, termangu menjalani titimangsa

: Runtuh juga benteng Melayu yang aku tegakkan dengan darah dan air mat
Tak tagak Hang Nadim sendiri mengangkat panji
Sementara Mahmud sang pencinta
Mabuk asmara di istana Kayu Ara
Membiar para penghianat membuka pintu Kota
Membiar Musuh berdiri di depan istana dengan moncong meriam membidik singgasana

Angin laut berkabar
: Laksamana, peringgi ingin Tuanku kembali ke Melaka
Mereka hendak memberi kuasa dan harta benda

Dada Laksamana berdesir
Bayangan perangkap dan hianat
Membayang bagai sihir
Angin semenanjung bergolak
Bersisik ombak Laut Temasik .
Laksamana memandang arah bintang, mencium maung malam ,
dan aroma dendam

: Tidak, beta tak kan kembali ke Melaka
Gemuruh jantung memberi isyarat
Petaka menunggu darah tua ku Bentangkan layar, angkat jangkar
Turunkan dayung, kisarkan cikar
Kita berlayar !

: Laksamana, dimana negeri kita ?
Angin laut berdesir, musim menghembus bau anyir

: Ke Bintan lah kita, ke tanah tempat
Pertama Beta mengorak langkah,
Menggengam keris, membuka silat.
Tanah yang mengajar beta darah pendekar

Angin, ombak dan gemuruh rindu menyatu
Dalam desau musim dan rasa lelah pendekar tua

: Aku sudah memayar bakhtera Samarluki
Aku sudah membelah bahtera laksamana Haru
Aku sudah menghirup setanggi Istambul
Aku sudah menyaksikan lenggok penari jepun
Kini biar aku rehat dan menyimpan kenangan ku
Dari Bentan, kelak biar aku melimau keris para pewaris
Darah Laksamana tak boleh kikis
Tradisi kesatria Bentan tak boleh khalis
Melaka, jangan menangis

Biar yang lahir kemudian menghunus keris
Tak ada kuasa asing yang takkan habis
Tuah negeri Melayu,
Daulat Raja Iskandar Zulkarnain
Kuasa Bukit Siguntang
Takkan Melayu hilang di dunia

Angin selatan berarak
Ombak utara memutih
Gemuruh rindu mengetuk pintu

: Selamat datang Laksamana
Ke Bentan, jantung negeri Melayu

2020

Angin Santubong

: Kepada Sri

Aku mendengar angin Santubong
Mendesau ke segenap rantau
Menembus kabut dan tebing gunung
Menuju laut mencari jejak
Merindu Bentan, negeri ingatan

Merdu suara rindu
Seperti nyanyian para bunian
Peri angin yang mengejar ingin
Peri waktu yang memburu rindu

Wahai kerinduan
Aku mendengar ketukan di tingkap
Angin gunung yang bercakap
dan aroma cinta yang terperangkap
: masihkah kau ingat
bait puisi ku seperti azmat
Bermunajat menjelang tidur mu yang hidmat ?

Wahai kerinduan, masihkah kau simpan
Dalam ingatan sepenggal bisikku
sebelum malam berakhir
Dan fajar menghujat syair sebagai sihir

Angin Santubong menderu
Membawa risau ke ceruk rantau
Mencari jejak ingin, mencari jejak mau
Mencari tanda rindu
Di sisa sisa basah tubuh mu

Masihkah seperti aroma bentan
Tempat semua harap disimpan
Tempat wangi bunian menulis ingatan
Sisa berahi sebelum pagi menyuruhnya pergi
Sebelum Santubong menutup pintu
Mengunci hasrat dari ingin
mencari laman bermain

Aku mendengar Santubong mendesau
Menuju teluk rantau mencari kau
Wahai kehendak yang tak mungkin terjangkau

Alangkah risau

Oktober 2020

Taubat

Sosok compang camping
Dari masa lalu
Bertabik di pintu
: Beri aku sajadah
Dan pintu itu pun terbuka
Lalu terdengar isak tangis seperti puisi yang dibacakan
di malam yang kehilangan detak jarum jam nya.
Menyembilu.

2020

Taubat ( dua )

Jangan berseteru
Dengan masa lalumu
meski hanya sebutir pasir
Masa lalu adalah pondasi
segala takdir
Berdepan dan bertabik lah
Siasat dan sayat topengmu
Buka dan dedah siapa kamu

Jangan menista masa lalu
tempat yang kau pijak kini
Adalah keringat masa lalumu
yang menjadi batu
Adalah Oksigen masa kinimu
Berdepanlah
Selongkar siapa dirimu

Sosok compang camping di masa kini sempoyongan berjalan ke masa depan
Meski hanya sehela nafas yang tersisa
Itulah diri yang kau bawa terus ngembara

Masa lalu adalah pintu yang kau buka
Untuk masuk ke masa depan
melalui pintu masa kini
Kau yang menutup pintu masa lalumu
Kau yang membuka pintu masa kini mu
Kau yang merancang pintu masa depanmu

Jangan angkuh
Jangan mencerca
Jangan menyesal

Kau cuma sebutir debu dari masa lalu
yang melayang ke masa kini,
dan tak tahu adakah kau masih sempat bermimpi tentang masa depan mu

2020

Dayangku Laut ( dua )

O, Dayangku Laut

Berhentilah menangis saat bulan mengambang.
Airmatamu tak lagi manjur jadi sihir. Kemewahan sudah membeli hidup .
Cinta telah terpuruk ke dalam keranjang sampah.
Sudahlah !

O Dayangku Laut,

Ngembaralah ke laut dalam,
ke palung palung baru di benua lain
yang airnya masih terasa garam.
Yang lautnya masih biru menyimpan gemuruh rindu
Disini, padang lamun tempat kau bersembang setiap petang,
semakin kelam, berlinyang.
Kapal kapal membuang ballas, menyamak kehidupan laut.
Meremuk karang, membunuh biota. Palung rindumu telah jadi ruang kematian.

O Dayangku Laut

Musim ombak, musim angin
sudah tak lagi berurut.
Tiap waktu membuat laut selalu surut
Kau tak lagi boleh berenang
sambil mengenang berahimu yang hanyut menuju celah celah batu dan terumbu
Meneteskan keturunan yang baru
Para pemburu kemejan kini berubah jadi pembunuh.
Mengasah tempuling setiap petang menunggu kau timbul dan berenang pulang
Para penjaring mengganti benang jaringnya dengan nilon
agar dapat menjerat lehermu
ketika kau berenang pulang
Para pemukat menebar perangkap semakin dekat ke darat
menyekat kibas ekormu
ketika kau berenang pulang

O Dayang ku Laut

Berhentilah berharap kekasih mu
akan kembali ke laut setiap palung surut
Riwayatmu kini hanya ada dalam buku buku
Menjadi canda para mahasiswa yang menulis skripsi sarjana.
Mereka tak pernah tahu mengapa kau menangis .
Bila kau menangis.
Luka cinta apa yang telah mengiris

O Dayangku Laut

Pergilah ngembara ke laut lepas,
ke palung baru, ke benua lain
Berhentilah menangis
Jangan biarkan bulan bulat di langit barat menghanyutkan rindumu, menyayat lukamu
Dedaunan setu sudah terkulai diluka musim
Tak ada lagi musim bermain
Simpan airmata mu
Di bibir pantai, di sampan sampan,
di perahu perahu,
pancing, jaring, pukat dan tempuling, mengintip taring mu,
memimpikan tulang tulangmu
merindukan daging daging mu.

O Dayangku Laut

Riwayatmu, mitos mu, legendamu
telah tamat.
Sejarah telah berubah.
Sudah lah !
Pergilah ngembara
ke laut laut dalam.
Ke palung palung baru
Ke benua benua lain

O Dayangku Laut

2020

Kehilangan adalah …..

: SDD

Kehilangan adalah hujan yang menulis puisi di jalan jalan. Tidak hanya di bulan juli. Hujan telah berubah jadi duka
Mengekalkan pedihnya di semua celah waktu

Kehilangan adalah puisi yang tak pernah selesai ditulis. Yang tak bisa menunda hujan meski mendung pergi diusir angin
Perasaan yang membumbung bersama kata kata menjadi garam waktu dan mencairkan duka kembali menulis puisi di jalan jalan

Kehilangan adalah duka yang kerap bangkit seperti butir air yang menguap
Yang kembali jadi hujan ketika kata kata mengetuk kaca jendela dan kita menengadah ke langit dan mendengar waktu berkata kata, dan kita merasa ada sesuatu yang tak kembali, dan menjadi hujan yang menuliskan puisinya di jalan jalan.

Tanjungpinang, Agustus 2020

Rida K Liamsi, lahir di Dabo, Singkep, Lingga, Kepulauan Riau, 17 Juli 1943, adalah sastrawan dan budayawan Melayu. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa puisi yang dipublikasikan di berbagai surat kabar. Ia adalah pemrakarsa diselenggarakan Festival Hari Puisi Indonesia yang dimulai sejak tahun 2014, bertempat di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki. Selain sebagai sastrawan, Rida K Liamsi juga menekuni profesi sebagai guru dan pewarta. Atas ketokohannya dalam dunia sastra, ia telah menerima banyak penghargaan dari berbagai pihak, kerap dapat undang di banyak perhelatan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menjadi pembicara masalah-masalah kebudayaan, khususnya kebudayaan Melayu, ekonomi, dan sosial, serta membacakan karya-karyanya antara lain di Melaka, Johor Bahru, Kuala Lumpur, Seoul, dan Hanoi. ***

Baca : Puisi-puisi Karya Penyair Ariya Ermiles

*** Laman Puisi terbit setiap hari Minggu. Secara bergantian menaikkan puisi terjemahan, puisi kontemporer nusantara, puisi klasik, dan kembali ke puisi kontemporer dunia Melayu. Silakan mengirim puisi pribadi, serta puisi terjemahan dan klasik dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected] [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *