Pola Tirani Mayoritas dalam Beragama

SEBAGAIMANA diketahui bersama bahwa moderasi beragama telah masuk dalam pilar dasar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman akan moderasi beragama bagi umat beragama di negeri ini.

Moderasi beragama ini, lahir karena adanya fakta bahwa Pertama, adanya praktek beragama dari bangsa Indonesia yang menonjolkan sisi kebenaran mutlak atas tafsir yang dimilikinya, sembari menyalahkan tafsir agama yang dimiliki oleh kelompok lainnya; kedua, karena adanya cara pandang umat beragama yang mencoba membenturkan paham keagamaannya dengan ritual-ritual budaya lokal. Misalnya ritual Sedekah Laut itu dianggap sebagai bentuk ekspresi yang bertentangan dengan keyakinan agama yanag dimilikinya; dan ketiga, adanya keinginan sebagian umat beragama untuk mempertentangkan agama dengan Negara, sehingga muncul hasrat untuk menjadikan agama sebagai sistem Negara. Ketiga persoalan tersebut, hari ini semakin menguat dalam praktik beragama di negeri ini, yang kemudian melahirkan konflik antar kelompok umat beragama.

Di antara tantangan penting bagi Moderasi beragama ketika semakin menguatnya gajala mayoritarianisme dalam masyarakat kita. Sikap ini, sepertinya sudah menjadi trend atau model cara bermasyarakat. Kecendungan ini, semakin menggejala di semua daerah. Lihat saja misalnya, di Kota Pekanbaru yang menggunakan APBD-nya untuk kepentingan kelompok agama terntentu. Pada tahun 2019, APBD Kota Pekanbaru menghabiskan 19.2 M untuk 96 rumah ibadah kelompok agama tertentu saja. Alasanya, kelompok agamanya mayoritas, maka sewajarnya dipergunakan untuk kesejahteraan agamanya.

Contoh kasus lainnya adalah persekusi yang dilakukan oleh kelompok tertentu terhadap jamaah Ahmadiyah. Juga umat Islam yang sulit mendirikan Masjid di Papua dan di Bali, sebagaimana sulitnya umat Kristen mendidirkan Gereja di Sumatera Barat dan di Pekanbaru. Dalam catatan Yenny Wahid, setidaknya telah terjadi 200 peristiwa pada tahun 2017, yang melibatkan tirani mayoritas ini melanda kelompok minoritas.

Pola ini, jika terus berlangsung di Negara yang sangat plural ini, tentunya akan melahirkan tirani-mayoritas, sebuah praktik relasi social yang tidak seimbang. Sebagaimana dalam pandangan Kinloch bahwa mayoritas merupakan suatu kelompok yang akan melahirkan kekuasaan; kelompok tersebut menganggap dirinya normal, sedangkan kelompok lain (yang oleh Kinloch dinamakan kelompok minoritas) dianggap tidak normal, kelompok rendah, dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam sebuah Negara yang plural seperti Indonesia ini, maka semua harus tunduk pada dasar Negara Pancasila, yang tidak memberikan ruang sedikitpun munculnya tirani mayoritas maupun tirani minoritas juga. Di negara yang berdasarkan Pancasila ini, tidak ada diktator mayoritas atau tirani minoritas. Dalam kaitan itu, semua umat beragama dituntut untuk saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing.

Pandangan bahwa “mayoritas melindungi dan minoritas menghargai” menjadi penting untuk dihapus dalam memori keberagamaan kita hari ini. ini justru akan memperluas jurang antara Mayoritas dan minoritas. Persoalan ini sesungguhnya murni persoalan kesetaraan dan perlakuan yang sama dalam menikmati dan mengakses ruang-ruang public yang menjadi hak warga bangsa. Bukan persoalan jumlah. Pemahaman sebagian besar orang Indonesia yang melihat jumlah sebagai tolak ukur dikotomi mayoritas-minoritas pada akhirnya hanya melahirkan legitimasi moral semu yang berperan besar melanggengkan diskriminasi dan tirani mayoritas.

Secara psikologis, umat Islam yang mayoritas selalu berada pada posisi yang di atas. Apalagi jika dibandingkan dengan keberadaan umat muslim di negara-negara yang mayoritas berpenduduk non-muslim. Apa yang dirasakan umat Islam Indonesia tentu tidak sama dengan yang dirasakan umat muslim di negara-negara Eropa, Australia dan Amerika. Problem relasi mayoritas-minoritas sebetulnya adalah problem khas minoritas. Maka jika umat Islam yang mayoritas harus berbicara tentang hak-hak minoritas tentu hal ini menjadi sesuatu yang menantang (challenging).

Lebih-lebih pada saat ini, politik identitas menguat kembali yang seringkali meminggirkan kelompok minoritas. Otoritas mayoritas, sebagai “pemenang”, menjadi pengelola dan penentu kebijakan. Gejala ini, merupakan kecenderungan umum di sejumlah daerah di Indonesia. Lewat pintu demokrasi, berkembang tuntutan, aspirasi dan warna kebijakan politik yang ditentukan dan dikendalikan oleh mayoritas (majority rule). Karena ditentukan oleh logika mayoritas, akibatnya di sejumlah daerah banyak muncul kebijakan yang kurang berpihak bahkan meminggirkan keberadaan kelompok minoritas, sebagaimana kasus-kasus di atas. Wallau a’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Matinya Nurani Intelektualisme Kita

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *