Longkang

Bang Long

Bismillah,

SETIAP rumah, kantor, atau sekolah selayaknya punya longkang. Dari longkang inilah, limbah-limbah tersenyum. Limbah rumah, limbah alam, dan limbah penghuni rumah, baik lahir maupun batin, bertarung dalam alur yang beragam. Alur itu bisa lurus, berkelok, bahkan kusut masai. Limbah-limbah itu menggelinding dan bergumul bagai darah dalam nadi kita. Ragam benda padat dan cair membentuk rangkaian benda dalam longkang.

Pada mulanya, longkang dalam kehidupan sosial masyarakat kampung, hanya berbentuk aliran yang dibuat di bawah pelantar rumah. Pelantar merupakan bagian seperti beranda (teras). Pelantar merupakan tempat proses pembuangan limbah-limbah itu. Beranda terletak di bagian depan rumah, sedangkan pelantar di bagian belakang rumah (biasanya menyatu dengan dapur) pada rumah panggung. Seiring perjalanan waktu, longkang pun berubah wujud. Longkang tidak hanya sekedar aliran sederhana yang dibuat pada tanah di bawah. Namun, sekarang longkang sudah dibuat seperti parit beton melalui pipa-pipa plastik. Saluran pembuangan itu berevolusi.

Longkang ibarat negara atau negeri. Longkang laksana provinsi. Longkang bagaikan kabupaten/kota. Longkang bak kecamatan, kelurahan, atau desa-desa, dan kampung. Bahkan, longkang seperti perkantoran dan perusahaan. Jika longkang diibaratkan negeri dan sebagainya itu, ia bisa ditusuk-tusuk dari belakang karena tak paham dengan masa depan. Akan lahir kesedihan sepanjang sejarah. Seumpama negeri yang tak bernegarawan dan amnesia tentang kepemimpinan. Lalu, para pemimpin negeri itu bergeser dari terjajah menjadi penjajah bangsa sendiri.

Suatu negeri yang berada di poros bumi menggigil dalam kedinginan. Negeri itu seperti pelacur. Ia selalu telanjang dan telentang. Semua pengelana dari belahan dunia menjadikannya selimut. Negeri itu dieksploitasi, dijarah, dan digerayangi sampai nyaris mati. Setiap jengkal tubuhnya menjadi klaim penguasa. Penguasa itu berbaju demokrasi. Negeri itu terjebak dalam kangkangan utang. Longkang semakin kelam karena kepala rumah negeri itu menjadi boneka yang terbenam dalam.

Lalu, penguasa itu berevolusi menjadi pemimpin longkang.

“Demokrasi adalah Aku,” begitu katanya seperti mengutip puisi karya Muchid Albintani. “Aku pemimpin rakyat/ tetapi jangan dimaknai/ yang tak memilih ku/ bukan rakyat/ atau penduduk.

Longkang kian terancam karena langit reformasi menghitam. Mendung. Kemurungan muncul di langit reformasi itu. Jika hujan, longkang itu akan meluap. Tentu saja beragam limbah itu menusuk-nusuk hidung rakyat. Air dan tanah dalam longkang berbaur menjadi satu. Kata Muchid, “Tanah menjadi liberal” dan “Air ku terasa kapital“. Jika longkang menjadi liberal dan kapital, dia akan disekat oleh sampah kebiadaban. Kemanusiaan terketik jauh. Keadilan pun. Upeti menjadi. Rakyat jadi kuli dalam longkang itu.

Sudah selayaknya longkang itu membentuk jaringan menyatu. Ia semestinya menyatu antar-rumah, antar-kantor, atau antar-perusahaan, bahkan antar-negeri agar tidak ada lagi orang sangsi dengan persatuan dan kesatuan. Jika longkang besar tak pernah mengaliri longkang kecil, itu bermakna telah memupuk ketidakpeduliaan, melayukan pucuk persatuan dan kesatuan. Aroma longkang akan menjadi kutuk karena tanah dan air menjadi hitam oleh pat gulipat dan umpatan.

Tiba-tiba saja, semua menjadi longkang. Bukan hanya negara atau negeri serta perkantoran atau perusahaan, tetapi juga rupiah. Longkang menjadi tersumbat jika tidak diurus dengan benar. Begitu pula halnya dengan rupiah. Kata Muchid dalam puisinya Rupiah yang Terlupa, mata uang tersebut diibaratkan longkang yang tak terurus atau salah urus dan terlupakan. Gara-gara reformasi pun, rupiah tercampak ke jurang. Hingga saat ini, kita masih merasakan dampak negatifnya. Rupiah dipuisikan sebagai sesuatu yang diketepikan. Muchid mengibaratkan mata uang ini sebagai pekerja yang diremehkan laksana melupakan jasa pahlawan devisa. Keinginan penyair dalam puisi ini seperti keinginan rakyat pada umumnya. Penyair menginginkan rupiah sebagai pengangkat marwah, bukan dipermainkan oleh longkang yang berlecah.

Bagi Muchid, longkang adalah simbol kepedihan, kesedihan, dan kekurangajaran penguasa suatu negeri, bahkan negara. Ini dapat kita pahami dari puisi-puisi yang ditulis beliau dalam kumpulan puisi bertajuk Revolusi Longkang. Ada lima bagian dalam kumpulan puisi tersebut. Satu bagian di antaranya diberi tajuk Sajak Revolusi Longkang. Masing-masing bagian, termaktub sepuluh puisi. Kesepuluh puisi tersebut mengajuk imanijasi kita tentang pemaknaan longkang sebagai metafora tentang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ada satu puisi bertajuk Dari Negeri Longkang. Dalam puisi ini, penyair berkisah tentang revolusi longkang itu. Longkang sebagai simbol suatu negeri berubah wujud. Negeri yang kaya dan bermarwah menjadi beku dan meneteskan air mata. Ada fitnah dan berbagai bau dalam longkang. Berjibun beban sumpah, limbah, dan kelaknatan di dalamnya. Semuanya menyumbat tali air longkang hingga tersendat. Tiada yang mengurusnya. Nyaris semua melupakannya. Lalu, kita nyaris membiarnya terkapar dan menggelapar. Dalam puisi ini, Muchid mengkritik para peneraju negeri yang semakin tenggelam dalam longkang.

Longkang menjadi kata menarik dan kuat pada puisi Muchid. Kata yang tinggal di kampung ini tiba-tiba menjelma dalam dunia politik. Kata longkang melompat dalam negara, negeri, rupiah, limbah, ekonomi, refformasi, bahkan revolusi. Longkang melambangkan ketekunan kita atau sebaliknya dalam mengurus sesuatu dalam kehidupan sehari-hari. Longkang sebagai cerminan lancar atau tersendatnya kehidupan. Bila longkang adalah suatu negara atau negeri, apakah penerajunya selalu membersihkan dengan benar? Atau apakah penerajunya justru memperparah longkang sehingga menjadi sesuatu yang dieksploitasi sedemikian rupa dan menyumbatnya dengan beragam sampah kebusukan. Kita tentu berharap agar longkang di rumah kita senantiasa bersih, tidak tersumbat, dan tidak berbau. ***

Alhamdulillah.
Bengkalis, 26 Rabiul Awal 1443 / 02 November 2021

Baca : Sumpah

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *