Di Bengkalis Suatu Waktu

Muslim Paripurna

HES masih berdiri di pantai itu. Matahari belum muncul. Namum bias jingga telah merona di langit, mewarnai tumpuk-tumpuk awan yang bergerak ke tengah laut. Beberapa orang laki-laki dan perempuan sudah menikmati pagi di pantai itu. Sepasang lelaki-perempuan tampak duduk berjuntai di kaki tebing. Menikmati hempasan gelombang yang menyapu kaki mereka. Mereka tersenyum pada HES. Mungkin mereka pasangan suami istri.

HES terus melangkah menuju dermaga di ujung sana. Tak jauh dari bangunan yang beratap biru, ia menjumpai dua orang gadis sibuk berbincang yang sesekali terdengar derai tawa mereka. HES mendekat. “Boleh minta tolong, Dik?” pinta HES.

“Minta tolong apa, Pak?” Tanya salah-seorang dari mereka.

“Tolong fotokan saya.”

“Oh boleh, Pak,” kata yang paling tinggi.

Hes mengulurkan hp-nya. “Maaf, coba potret dari sana ya,” pinta HES sambil menunjuk ke arah yang berlawanan dengan laut.

“Baik, Pak,” kata gadis itu. Gadis berkulit hitam manis dengan rambut tergerai sebahu itu pun membidikkan kamera hp ke arah HES.

“Sudah, Pak?” Tanya gadis yang memakai celana training tersebut setelah menjepret beberapa kali.

“Terima kasih ya,” ucap HES setelah menerima hp-nya kembali.

HES melihat dirinya dalam foto yang baru dijepret gadis itu. Mata HES terbelalak. Pemandangan yang luar biasa tersaji dilayar hp-nya. Ia berpeci hitam dengan baju putih dan celana krem. Di lehernya melilit syal putih bergaris-garis hitam. Pakain yang dipakainya sepulang dari masjid. Di belakangnya hamparan laut begitu tenangnya. Di langit, gumpalan awan kelabu menggantung di sela-sela warna jingga yang sedang bertahta.

Keindahahan pagi dapat ditangkap foto itu hampir sempurna. HES berdecak kagum pada foto hasil jepretan anak kelas satu SMA tersebut. Sungguh kagum ia.

HES cepat-cepat pulang ke hotel. Ia ingin mengabarkan keindahan pagi itu kepada istri dan anaknya di rumah, juga pada sahabatnya di layar maya. Foto-foto itu mengobati hatinya yang sedikit gundah.

Menanti matahari bangkit di Selat Bengkalis. Edisi safari di ujung tahun, tulisnya di status FB. Dua dari tiga foto yang sangat disukainya itu terpajang di bawahnya. Oh ya, HES lupa menanyakan nama gadis pemotret itu. Semestinya ia menyertakan namanya pada foto yang diunggahnya. Bukankah foto juga punya hak cipta?

Ya, setiap karya, termasuk fotografi punya hak cipta. Siapapun yang memakai dan memajang suatu karya lukis, termasuk karya foto di media apapun termasuk media sosial sejatinya minta izin kepada pemotretnya. Namun HES hanya menulis di bawah foto-foto itu: (Foto-foto ini dijepret orang tak dikenal. Terima kasih wahai Fotografer tak dikenal). Kalimat-kalimat itu dibuatnya untuk sedikit mengobati rasa sesalnya.

Kemudian ia menulis:

resah tiba di bilik sunyi/
gelap pekat tak lagi peduli/
pagi/pagi/pagi/
sungguh tiada sabar menunggu hari/
menanti pagi/
dipagut mentari.

Ya, ia sedang resah. Bertimbun tugas sedang menanti. Berpikul beban sedang menunggu. Ia gamang. Ia risau. Sebentar lagi akan memberi materi untuk memperkenalkan dan mengajak anak-anak remaja berenang di dunia tulis menulis, karang mengarang. Selain itu, nanti malam pembukaan sidang pertanggung jawaban sebagai penilai buku pendidikan agama Islam bagi pelajar se-Indonesia pun akan berlangsung. Baik tidaknya, bermutu tidaknya buku pelajaran dan bacaan pengayaan bagi siswa minimal setahun ke depan berada di pundaknya.

Ia mendapat giliran pagi untuk mempertanggungjawabkan hasil penilaiannya. HES senang nian. Sesuatu yang dirisaukannya tak terbukti. Ia malah gembira karena supervisor menyukai hasil penilaian dan sejumlah alasan yang ia kemukakan. Begitu juga dengan penilai yang satu lagi. Penilai juga senang kepada HES. Yang membuat HES senang juga, rerupanya temannya sesama penilai buku yang sama adalah seorang profesor.

Menjelang tengah hari, prosesi sidang penilai buku berakhir. HES masih dalam rasa senang tak terkatakan. Ia lega sekali setelah sekian lama merasa terbebani.

Waktu salat Jumat sudah hamper masuk. HES dan pembicara yang lain serta panitia berangkat menuju mesjid.

Pukul 13.30 WIB, HES mulai berinteraksi dengan para siswa. Kebahagiaan HES kian bertambah. Siswa SLTP berjumlah 95 orang yang hadir sangat antusias. Setiap ia minta bertanya, hampir semuanya menunjuk langit. Ketika ia menanyakan sesuatu kepada mereka, hanya satu dua orang saja yang tidak mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaannya.

Mereka yang terpilih mendapat bonus. Ya, satu dari sekian karya HES akan mereka dapatkan sebagai hadiah.

Esok harinya HES masuk lagi. Ia coba mengoreksi dan menyunting hasil karangan anak-anak itu.

HES melihat dan merasa, bahwa matahari memang akan bangkit dari Bengkalis suatu hari nanti. Ya, matahari sastra akan kembali terbit dari sini seperti pernah juga di masa lalu ketika Soeman HS dan beberapa pengarang lainnya pernah muncul dan menakik sejarah emas sastra Indonesia dari pulau ini.

Bengkalis pun disungkup malam. HES esok pagi akan kembali ke Pekanbaru. Ia pun menulis lagi:

Selamat malam kenangan/
daku pulang/
keharibaan sunyi/
menanti sepi/
di tepian pagi. ***

Baca : Etos Kerja Melayu

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *