Berislam yang Menggembirakan

Pemuda

IBN Qayyim al-Jauziyyah, salah satu ulama yang sering dijadikan rujukan penting bagi sekelompok umat Islam di negeri ini, memberikan komentar yang menurut saya sangat progresif. Komentar itu, beliau tuangkan dalam kitab I’lamul-muwaqqi’iin, (1980, juz 3:3). Dalam kitab ini, Ibnu Qayyim menyatakan bahwa syariat itu dibangun dan berpondasikan kebijaksanan-kebijaksanaan dan kemaslahatan hamba di kehidupan kini dan kelak. Apa pondasi itu, yaitu: keadilan, kasih sayang, kemaslahatan dan hikmah kebijaksanaan. Oleh karena itu, ketika setiap hal atau masalah yang muncul dari keadilan menjadi kedzaliman, dari kasih-sayang menjadi penindasan, dari kemaslahatan menjadi kerusakan, dan dari hikmah kebijaksanaan menjadi kesia-siaan, maka itu semua bukanlah bagian dari syariat, walaupun engkau memberikan penjelasan.

Petuah Ibn Qayyim itu, mencerminkan sikap asasi dari cara kita memahami syariat atau agama Islam itu sendiri. Sebuah sikap beragama yang semula menindas berubah menjadi kasih-sayang, sikap beragama yang melumrahkan kezaliman menggeser menjadi berkeadilan, sikap beragama yang menonjolkan kekerasan beralih ke kelembutan, sikap beragama yang cenderung merusak berubah menjadi kemashlahatan bersama, dan seterusnya.

Dengan begitu, beragama pada hakikatnya adalah mewartakan akan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia. Dalam bahasa Alquran disebut dengan Nabi Muhammad itu membawa misi untuk “melepaskan beban dan rantai-rantai yang mengikat mereka” (wa yaḍa’u ‘an-hum iṣrahum wal-aglālallatī kānat ‘alaihim, QS. Al-A’raf: 157). Kenikmatan apa yang anda rasakan, ketika anda terlepas dari beban yang menggelayut dipundak anda? Tiada kebahagiaan dan perasaan yang sangat lega, ketika kita bisa terlepas dari rantai yang mengikat badan kita.

Sehingga kata Nabi, “Berilah kabar gembira dan janganlah memberikan kabar yang menakut-nakuti, mudahkanlah dan jangan mempersukar, bersatulah dan jangan berselisih.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim). Di tempat lain, Nabi juga menyadarkan kita untuk selalu Irhamu man fil-ardhi yarhamkum man fis-sama’I, Kasihi dan sayangilah semua yang ada di bumi, pasti kamu dikasihi dan disayangi oleh yang di langit, Allah swt (HR. Bukhari, Tirmizi, Ibn Majah, Malik, Ahmad, dan Darimi).

Di ayat yang lain, Tuhan berfirman “Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati” (QS. Al-An’am: 48). Ayat ini secara terang benderang menyebutkan bahwa misi utama para Rasul adalah memberikan kabar gembira. Prinsip beragama yang membawa kegembiraan ini, semestinya menjadi tema utama dalam mengupayakan penyemaian ajaran agama. Setiap umat beragama harus bergembira dan menggembirakan sesama umat beragama.

Di sinilah pentingnya penguatan kembali pemahaman tentang moderasi beragama, yakni sebuah sikap beragama yang mendahulukan kebaikan atau kemashlahatan umat manusia. Menjadikan moderasi beragama sebagai cara pandang atau sikap dan praktik beragama yang lebih mengedepankan esensi dari setiap ajaran agama masing-masing umat beragama. Karena sesungguhnya, hakikat dari ajaran tiap-tiap agama adalah nilai-nilai kemanusiaan dan menebarkan kemaslahatan bersama.

Agama tidak jarang dipahami sebagai realitas yang serba hitam-putih, kaku, dan menghindari keragaman pemahaman. Hal ini, menjadikan seseorang dengan sangat mudah untuk terjerumus pada sikap-sikap yang saling menyalahkan, dan terjebak pada sikap penghakiman atas mereka yang memiliki pandangan yang berbeda dengan pemahaman yang dimilikinya. Sehingga nilai-nilai kemanusiaan seringkali menjadi terabaikan. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Pola Tirani Mayoritas dalam Beragama

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *