Indragiri Sungai Keruh

barau

Indragiri kuala empat
Empat empat terus ke laut
Ke sana sini mencari tempat
Bagai ajal ditunda maut

INI pantun, pantun warisan pusaka. Pusaka orang Melayu dari Indragiri yang sudah sangat lama. Arsipnya ditemukan sangat jauh pula. Di Perpustakaan Universitas Leiden, Negeri Belanda.

Digubah 1848; sudah 173 tahun usianya.

Tidak disebutkan namanya. Sungai berkuala empat, empat-empat itu terus ke laut itu, sungai-sungai mana saja? Apakah termasuk Sungai Igal, Sungai Mandah, Sungai Batang Tumu, Sungai Belaras – masih banyak sungai lagi. Walaupun kecil tetapi juga langsung bermuara ke laut lepas.

Dapat diduga, yang dimaksud yang empat ini sungai-sungai yang besar-besar saja. Tidak termasuk anak sungai dan suak-suak; anak dari anak sungai atau anak muara.

Pertama, Sungai Indragiri yang berhulu Batang Kuantan. Kedua, Sungai Batang Tuaka, tempat pasukan Melaka pernah tersasar di dalamnya. Ketiga, Sungai Gangsal, pemukiman perkauman Talangmamak di tasiknya. Keempat, Sungai Guntung, Sungai Kateman menumpang muara di kualanya.

Di Sungai Indragiri dulu terletak Kerajaan Indragiri. Negerinya makmur tapi rajanya tersandera di Kerajaan Melaka. Jadi menantu  raja di sana. Tak boleh balik ke negerinya. Akhirnya dijemput paksa oleh menterinya.

Sebelum Sungai Indragiri diberi nama
Disebut orang Sungai Keruh
Nyaris tiada air molek

Berlayar ke Melaka mencari Narasinga
Di dalam negeri selalu gaduh
Raja harus dibawa balik

Sungai Indragiri berdampingan Sungai Batang Tuaka. Di Kuala bersua di dalamnya bercabang rawang pula. Ketika Narasinga dilarikan rakyatnya, prajurit Melaka sampai tersesat di dalamnya.

Panjang riwayatmu, Indragiri.

Dia. Dulu permata. Penghasil lada. Milik Kemaharajaan dari Tanah Jawa. Ketika putri Majapahit dipersunting Sultan Melaka, Indragiri dan Jemaja dengan segumpalan serakan pepulau di Laut Natuna, dihadiahkan kepada menantunya.

Indragiri, dulu perahu berlayar sampai jauh ke hulu. Patin pun mudik sampai ke tasik. Bila teringat rindu pada masa lalu. Kini tinggal kenangan saja yang mengusik.

Lewat Sungai Indragiri pemuda-pemudi pesisir dikirim ke daratan berguru sampai ke perguruan tinggi. Lewat Sungai Indragiri sayur-mayur dan buah-buahan diangkut dari daratan untuk orang-orang di pinggiran lautan.

Indragiri, semua sungainya keruh.

Sungai yang tidak keruh – di hulu-hulu, pun dikeruhkan. Namun lain keruh di hilir dengan keruh di hulu. Keruh di hilir keruh alami. Keruh tempat bertaman ikan dan udang. Keruh tempat bergolek-golek kerang dan ketam. Keruh surga nelayan warga tempatan. Keruh di hulu keruh buatan. Keruh tempat melampiaskan syahwat ketamakan. Keruh bersebab rimba dibabat. Keruh bersebab penyakit masyarakat. Mencari emas sungai diperas-kuras.

Indragiri, kini sudah tak seelok dulu. Alur sungainya mendelta. Di tengah sungai bisa berkebun. Keruhnya pun bukan keruh seperti dulu lagi. Keruh bertaman ikan udang. Keruh berumah kerang dan ketam.

Keruhnya sekarang; bercampur lumpur dengan limbah. Limbah sawit limbah sagu. Limbah tamak limbah syahwat anak-anak hantu keburu. Taman ketam dan udang semakin hilang. Rumah kerang dan semakin punah ranah. Dan, nasib nelayan ke depan makin mengambang.

Makin radang. Macam mana tak meradang?

Tiada pembangunan kesejahteraan ekonomi untuk jelata. Kecuali slogan belaka. Semua untuk para konglomerat semata. Membuat mereka yang sudah kaya semakin kaya raya saja. Para pejabat jadi tali barutnya. Terima upeti di sini sana. Anehnya, masih bisa ketawa-ketawa. Macam orang gila.

“Saudara-mara merana papa kedana bukan urusan saya…”

Jelata Indragiri hidup seperti menumpang di rumah sendiri. Sebagian memburuh ke sana kemari. Sebagian berkebun kelapa tetapi utang membelit pinggang berturun-temurun sampai mati. Para juragan semakin kaya, bisa pula bangun perusahaan di sana-sini. Bolak-balik ke luar negeri.

Indragiri, tidak gemilang lagi. Kini sudah milik orang kayangan. Jelatanya pengemis di kampung sendiri. Nasibnya sama kepinding disambar elang.

Ditindas. Ditindas. Ditindas. Ditindas. Ditindas.

Kepinding disambar helang
Jatuh ke daerah indragiri
Dagang terselit dikampong orang
Pandai pandai membawa diri

Ini. Pantun Warisan Pusaka Melayu, 1848

Maut sudah, ajal belum.

Pekanbaru, Novermber 2021. ***

Baca : Mandah Sagoo

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *