Gelombang Spekulasi?

Makan jantung berulam hati
ragah rempala dicampur keladi
usahlah meramal untuk menakut-nakuti
supaya bisnis lancar abadi

Rambut hitam dioles kemiri
bangun pagi membuka jendela
kecerdasan masyarakat usah kebiri
walau propaganda bisnis merajalela

Buah kedondong buah kesemek
dibuat rujak campur pepaya
kalau penguasa golongan tamak
gelombang spekulasi sentiasa digjaya

WAJIB diakui terlalu seringnya inkonsisten tentang pilihan tajuk. Seharusnya tajuk Jengah Jenguk Cendekia (J2C) hari ini, “Varian Adat”, tetapi diganti menjadi “Gelombang Spekulasi”. Walaupun perubahannya tanpa rencana, tetap saja ada rekan yang komplain. Dua alasan yang mengemuka terdengar samar.

Pertama, ihwal ke-adat-an, selain sensi teristimewa fungsinya yang berubah-ubah (variatif), sebelumnya sudah ada “Mutasi Adat”. Kedua, dampak “mutasi adat” dikhawatirkan akan berubah ragam-variannya. Silakan diramal akan ke mana lembaga ini empat atau lima tahun mendatang? 

Berusaha untuk tidak membela diri atau berapologia. Jujur tajuk pertama, akan tetap sangat krusial dua, tiga atau empat tahun ke depan. Sementara ihwal “Gelombang Spekulasi”, walaupun dijamin isunya akan tetap aktual, kredibel dan popular bahkan diramalkan menjelang akhir tahun sudah ada regulasi bersandar level-levelan. Ditambah tajuk bahasan ini dimaksudkan, agar J2C, tetap menjadi rubrik yang analitis, kritis, dinamis tentu daja diminati.

Walaupun berulang kali berupaya melacak melalui jejak digital. Hasilnya berulang-sambung, belum ada ditemukan istilah “Gelombang Spekulasi” yang disingkat menjadi GS (bukan general service). Pada sisi lain, judulnya dalam berbagai Bahasa, sama belum ditemukan. Simpulannya sederhana, judul serta bahasannya sungguh orisinal-otentik minimal.

Bersagang orisinal-otentik perlu disampaikan jika J2C merupakan opini personal yang masih boleh diperdebatkan. Oleh karena sebuah opini, tidak sunat apalagi wajib untuk “ditelan setengah masak” apatah lagi mentah-mentah. Lebih esensi menelannya dimasak terlebih dahulu. Dari sinillah pentingnya membangun diskusi yang berkeadaban, kritis dan cerdas. Sehingga istilah “viva aqal cerdas” dapat menjadi “kode pikir” (kredo-akademis) setelah mencermati bacaannya.

Berpedoman pada kredo-akademis “viva aqal cerdas” dapat dimaknai mengulas-singkat ihwal GS bersandar pendekatan pengantar investigasi riset/IR (research investigation) dan riset jurnalistik/RJ (journalism research). Pendekatan ini mengargumentasikan pemahamannya tidak hanya pada satu sisi, melainkan banyak. Misalnya dalam memahami GS, tidak hanya didekati bersandar ramalan yang berhati-hati (antisipasi), melainkan juga cerdas, kritis dan argumentatif. Misalnya saja istilah “gelombang ketiga beserta berbagai variannya (varian terbaru: delta, alfa, gamma, beta atau apalah namanya) terkait “benda (sesuatu) tak kasat mata yang serba dalam ranah kegelap-butaan.

Berpijak pendekatan pengantar IR dan RJ dapat membantu menjelaskan fenomena Gelombang Spekulasi (menggunakan istilah gelombang terkesan untuk menakut-nakuti berbanding sebagai antisipasi kewaspadaan). Ulasan tajuk ini mohon maaf, walaupun sepintas   terkesan berat, sesungguhnya ringan. Sederhananya, sedikit tak banyak dipastikan aktual juga diharapkan menarik perhatian.

Dalam penjelasan yang subjektif jika ulasannya menyangkut “informasi yang sifatnya ramalan dapat dimaknai sebagai antisipasi, kewaspadaan juga untuk berjaga-jaga. Yang menjadi masalah adalah ketika sebuah ramalan berkarakter menakut-nakuti. Terlepas diakui atau tidak (katakankah tidak ambil untung misalnya), tetap saja karakter ini terselip langsung atau tidak sebuah “bisnis besar” yang ber-angka jutaan dolar (triliun rupiah). Artinya ada variabel “bisnis besar” yang mengekor dibelakangnya.

Bersagang hujah tersebut ihwal GS, keberadaannya boleh saja terdapat bias analisis. Namun tidak terlalu salah jika gelombang-gelombang (dari gelombang satu, dua, tiga atau sepuluh sedekade mendatang) beserta ragam-variannya adalah asesoris yang dapat dinilai spekulatif (berkarakter spekulasi). Ini dilandasi argumentasi hampir semua kegiatan di era pandemi ini didukung struktur kekuasaan.

Yang paling anyar tentu saja regulasi perjalanan yang sudah di vaksin bahkan dua kali, tetap saja “wajib mengikuti tes-tes an”. Di lain sisi ada daerah (DKI Jakarta, misalnya) yang sudah tinggi capaian vaksinasinya hampir 100 persen. Pertanyaan retoriknya: Apakah sudah sampai atau justru melebihi target kekebalan komunitas (hard community)? Apakah Jakarta masih diberikan level-levelan? Apakah warga Jakarta yang sudah vaksin ke-2 masih juga wajib mengikuti “tes-tes an”? Apakah “tes-tes an” ini untuk mendeteksi C-19, atau “untuk bisnis-bisnis an”? Benarkah Jakarta adalah barometernya?

Belajar dari DKI memahami serba rigid realitas kekinian yang menurut konon kabarnya (berdasar media mainstream) dunia sedang dilanda “musibah pandemi”, tentu banyak yang prihatin. Pada sisi lain, tidak tertutup kemungkinan terjadi sebaliknya. Ada kalangan yang merasakan (perasaan subjektif) jika situasi ini bukan musibah, melainkan “ladang bisnis”. Perasaan ini tentu saja sulit untuk dibantah. Realitas dunia (yang masih diliputi misteri dan penuh teka-teki) dalam musibah (merugi), dan sebaliknya (untung) ini, ada yang berpandangan bahwa GS merupakan pendapat yang bermuatan analisis.

Mengulas-ringkas keberadaan GS berdasar pendekatan pengantar IR dan RJ dapat membantu setidaknya dengan mencermat-pahami fenomena keaktual-kinian yang sedang berlangsung.

[1]. Sumber Covid. Keberadaan GS, dalam pendekatan IR dan RJ menghujahkan sebelumnya ramalan pergelombangan (dari satu, dua, tiga entah nanti sampai berapa) terlebih dahulu semua negara yang berdampak pandemi wajib bertanya kepada WHO ihwal sumber pertama C-19? Sumbernya di Wuhan (China), Amerika Serikat, Israel atau negara lain, misalnya? Tanpa jawaban objektif, akademis-ilmiah, maka normal-wajar  memunculkan GS?

[2]. Akurasi Proporsional Instrumentasi Tes C-19. Berpedoman pada pendekatan pengantar IR dan RJ dalam GS, amat sangat diperlukan audit investigasi terhadap keberadaan instrumentasi tes C-19. Ini dimaksudkan untuk menghindari jelek sangka bisnis alat tes yang membabitkan penyelenggara negara.
Persoalannya bukan pada mendapat atau tidak keuntungan, melainkan penentuan standar harga tes yang “manusiawi”, tentu bukan yang “hewani”. Logika anak milenial (kalau diumpamakan anak kecil, khawatir banyak yang tersinggung), sudah divaksin: Mengapa ada tes? Murah, eh salah, mahal lagi?

Audit investigasi yang jujur, netral dan independen membabitkan banyak ahli adalah jalan tengah yang objektif, elegan dan bertanggungjawab. Dalam Bahasa lain merupakan jalan menuju sama-sama menang (win win solution). Masalahnya, tinggal para pihak yang berwenang mau atau tidak. Jalan sudah diberi. Silakan dilalui.

Mengulas-tutup bahasan ihwal GS, menjadi penting untuk disampaikan. Esensinya adalah agar ramalan yang dilakukan pihak berwenang terkait pergelombangn beserta ragam-variannya, tidak terindikasi sekadar menakut-nakuti. Dua solusi sebelumnya adalah jalan tengahnya. Esensinya jangan sampai jika gelombang yang dimaksud dimaknai sebagai Gelombong Spekulasi alias GS.

Seorang kawan bertanya: Apakah boleh ada gelombang yang lain? Gelombang Manipulasi, misalnya?

Wallahualam bissawab. ***

Baca : Hari Pengkhianat

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *