Perempuan dan Sex

Pemuda

PENETAPAN Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) tentang mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi, menuai kontraversi. Ada yang menyambut gembira, namun ada juga yang menolak, tidak tanggung-tanggung, salah satu ormas terbesar di Republik ini, menyatakan penolakannya. Permendikbud Nomor 30/2021 itu, diterbitkan pada 31 Agustus 2021. Penerbitan peraturan ini, menurut Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim merupakan puncak dari keprihatinannya atas situasi kekerasan seksual di Indonesia yang sudah darurat. Karena itu diperlukan kerangka hukum yang jelas terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi.

Munculnya keputusan ini, sesungguhnya tidak lepas dari kondisi “kelam” di beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia yang selama ini “diam” atas paktek-praktek kekerasan seksual ini. Stigma negative seringkali menjadi alasan bagi kampus, ketika ingin membongkar hal tersebut. Selain itu, tiadanya payung hukum, membuat hukuman bagi pelaku menjadi sangat ringan, paling hanya turun jabatan jika dia menjabat.

Dari survey yang dilakukan oleh Kemendikbud di tahun 2020, menunjukkan bahwa 77% Dosen di Indonesia menyatakan bahwa kekerasan seksual di kampus pernah terjadi. Aduan yang diterima oleh Komisi Nasional Perempuan menunjukkan bahwa 27% aduan yang diteima di antaranya adalah mengenai kekerasan seksual di Perguruan Tinggi.

Laporan tentang kasus kekerasan seksual tersebut, sesungguhnya hanyalah peristiwa “puncak gunung es”, demikian kata Menteri Nadiem. Masih banyak kasus-kasus lain, terkait dengan kasus itu, dalam bongkahan es dilapisan bawah. Bisa jadi ada puluhan ribu atau bahkan ratusa ribu kasus yang sebenarnya terjadi di sana. Sudah dapat dipastikan bahwa korban yang paling menderita adalah perempuan.

Sebagaimana teori analisis the Iceberg model dari Otto Scharmer & United In Diversity, bahwa fenomena ini hanyalah peristiwa (event) puncak gunung es, yang dilapisi oleh pola dan kecendurang masyarakat dalam memandang perempuan, juga adanya Tradisi, budaya, kebijakan pemerintah, dan system yang merendahkan perempuan, dan puncak terdalam adanya paradigm yang mengikat kuat pada setiap kepala kita, tentang perempuan.

Pada wilayah puncak atau yang terlihat oleh kita adalah munculnya peristiwa-peristiwa kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan Tinnggi, tidak perduli dia berbasis PT agama atau PT umum. Munculnya peristiwa itu, karena memang sudah muncul kecendrungan seseorang dalam memandang perempuan. Kecendrungan atau pola yang telah mengakar dalam pikiran seseorang itu adalah anggapan bahwa perempuan merupakan “tubuh” yang menjadi objek pemuas hasrat. Kondisi ini, seiring dengan menguatnya budaya patriarkhi di masyarakat. Dalam catatan Sarah Walby, bahwa budaya patriarki sudah merasuk dalam ranah publik maupun privat. Jika dalam patriarki privat perempuan mengalami subordinasi secara langsung oleh individu yakni laki-laki sebagai kepala rumah tangga, sedangkan patriarki publik perempuan memang sudah mampu dan sudah bisa mengakses ruang publik seperti laki-laki namun demikian ia tetap menjadi objek dan tersubordinasi oleh patriarki kolektif (Walby, 2014 : 267-269).

Dalam dunia industi media juga, perempuan diletakkan sebagai “sosok” yang memiliki daya tarik atas kaum laki-laki. Bahkan ada semacam kekuatan ideologis antara tubuh dengan konsep-konsep yang ingin disematkan kepada perempuan, seperti konsep cantik, konsep menggairahkan, dan lainnya. Pada posisi ini, perempuan seringkali mendapati tubuhnya telah dieksploitasi.

Dari pola dan trend serta system structure yang terbangun atas perempuan itulah, kemudian menjadi mental models, bahwa perempuan adalah sosok keindahan yang harus dinikmati oleh kaum laki-laki. Mental model ini, tanpa sadar menggiring seseorang untuk memperlakukan perempuan sebagai objek seksual.

Kondisi ini, mirip dengan masa sebelum Nabi Muhammad menyerukan kesetaraan perempuan dan laki-laki, yaitu masa jahiliyyah. Perempuan pada masa itu seperti layaknya sebuah benda atau obyek yang bebas di “gunakan” untuk apa, kapan dan dimana saja. Ia menjadi kelas kedua, harus siap melayani kaum laki-laki.

Jika Permendikbud Ristek itu menjadi upaya untuk memberikan jaminan atas ketertindasan perempuan, kenapa kita menolaknya? Jika ini bagian dari proses perlindungan atas hak-hak perempuan untuk berani mengatakan “Tidak Mau” atau “Tidak Setuju”, kenapa kita menolaknya? Toh, tujuan atau maqashid Syariah dari peraturan ini adalah perlindungan atau pencegahan atas kekerasan seksual yang terjadi di kampus.

Permendikbud Ristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi menjadi sangat penting sebagai upaya pencegahan atas ketidakadilan relasi antara dosen dan mahasiswa. Karena dalam relasi yang paling tidak seimbang itu terjadi di kampus atau di sekolah-sekolah. Semakin kuat ketidakseimbangan relasi itu tejadi, maka sudah bisa dipastikan akan ada penindasan dan “pemerkosaan”. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Berislam yang Menggembirakan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *