Pinta

Muslim Paripurna

MEMINTALAH hanya kepada-Nya. Sebab Dia pencipta, pemilik, pengatur, pemelihara, dan segala-galanya. Meminta dengan bahasa doa merupakan ibadah. Oleh sebab itu jika dilakukan dengan sepenuh kekhusyuan dan kerendahan hati serta dengan kesantunan atau beradab di depan-Nya akan mendatangkan pahala dan akan berbuah hasil yang nyata.

Berdoalah dengan sembunyi-sembunyi. Jika perlu, berbicaralah, berbisiklah, berkatalah dengan suara hati kepada-Nya, yang hanya kamu dan Dia yang tahu.

Meminta kepada-Nya menunjukkan kerendahan hati sekaligus ketinggian derajat. Meminta kepada selain-Nya menunjukkan kerendahan dan kehinaan diri.

Jika meminta kepada selain-Nya maka bersiaplah untuk kecewa dan menderita. Akan tetapi jika meminta dan bermohon kepada-Nya, bersiaplah untuk bahagia.

Jika bertanya kenapa harapan dan doa banyak yang tidak dikabulkan-Nya? Semua itu karena berbagai hal, di antaranya karena Dia ingin mendengar rintihan hamba yang dicintai-Nya, selain itu barangkali apa yang diminta tak sesuai dan cocok buat para pendoa atau peminta. Ibnu ‘Athaillah al-Iskandari mengingatkan, “Jangan sampai tertundanya karunia Tuhan kepadamu, setelah kau mengulang-ulang do’amu, membuatmu putus asa. Karena dia menjamin pengabulan doa sesuai pilihan-Nya, bukan sesuai pilihanmu; dan pada waktu yang diinginkan-Nya, bukan pada waktu yang kau inginkan.”

Seperti apa adab dalam berdoa?

Doa merupakan bahasa indah yang keluar dari suara hati untuk memohon sesuatu kepada Dia yang memiliki segalanya. Doa bukan saja berisi keinginan atau proposal hamba kepada Tuhannya, akan tetapi juga merupakan ibadah. Ketika doa dilantunkan, seperti banyak terdapat dalam Alquran dan hadis maka itu merupakan ibadah yang bernilai pahala jika disampaikan. Selain itu, doa juga merupakan ungkapan atau bahasa hati dari harapan dan keinginan terdalam yang disampaikan dengan kata-kata sendiri. Doa dapat seperti munajat yang muncul di kesunyian, di kesepian, di gelapnya hari.

Berdoalah kamu kepada Tuhanmu dengan tadharru’ dan suara lembut. Sesungguhnya Dia (Allah) tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S: Al-A’raf atau 55).

Tadharru’ dapat berarti merendahkan diri. Artinya, di hadapan-Nya, engkau bukan siapa-siapa. Engkau dhaif, papa dan lemah. Engkau tak berhak mengatur-Nya. Engkau bukan raja yang berkuasa atas pelayan dan rakyatnya, yang berbuat sesuka hati dan sekehendak nafsu. Kepada Tuhan, engkau bukan atasan yang memerintah bawahannya. Tuhan bukan pekerja yang dapat disuruh, diarah dan diperintah ini dan itu. Di hadapan-Nya engkau rendah dan tak berarti. Engkau hina dan bukan sesiapa.

Untuk itu rendahkan dirimu, rendahkan hatimu, rendahkan suaramu. Bukankah Tuhan telah tahu apa yang kau inginkan karena Dia yang telah melintaskan sesuatu dan memasukkan keinginan dan harapan di hatimu sebelum engkau mengucapkannya? Jika begitu, bukankah Tuhan telah tahu apa yang kau inginkan? Kalau begitu kenapa kamu mendikte Tuhan agar mengabulkan ini dan itu yang kau ingin dan harapkan? Kemudian bukankah Dia juga yang menciptakan diri dan kebutuhan-keperluanmu? Jika begitu, kenapa berkeluh kesah, kenapa memaksa-Nya seolah Tuhan tak tahu apa yang telah menimpa?

Bila mau berkaca dan membaca, bukankah banyak orang-orang saleh, kekasih-Nya berdoa dan berusaha sekian lama, bahkan sampai tumbuh uban di kepala mereka, baru doa, permintaan dan harapan mereka dikabulkan Tuhan? Lihatlah nabi Zakaria as dan nabi Ibrahim as. Nabi Musa as sendiri kabarnya menunggu 40 tahun, baru usaha dan doanya dikabulkan sebelum tenggelamnya Fir’aun.

Mereka para kekasih Allah, para Nabi-Nya, namun permintaan mereka tak segera direspon Tuhan. Semua harapan mereka baru direspon ketika mereka berusia senja. Sekarang bandingkan dirimu dengan mereka itu. Siapa engkau di mata-Nya bila dibandingkan dengan mereka? Ja’far Shadiq al-Shadiq mengingatkan: bila kamu ingin tahu posisimu di sisi Tuhan, lihatlah di mana posisi Tuhan di hatimu. Artinya, seperti apa pengabdianmu kepada-Nya? Betulkah diri ini menjadi hamba-Nya atau malah budak nafsu, hamba dunia? Jika begitu, masihkah berharap kepada-Nya untuk meminta prioritas diri yang bukan siapa-siapa kepada-Nya?

Tuhan berpesan agar jangan melampaui batas. Dalam hidup ini, banyak sekali yang diinginkan, diucap dan dilakukan manusia melampaui batas. Begitu banyak manusia melakukan pekerjaan yang semestinya itu merupakan pekerjaan Tuhan.

Selain itu, sebelum berdoa semestinya ber-muhasabah. Yaitu menghitung berapa banyak kebaikan yang pernah dilakukan, dan seberapa banyak pula dosa yang dibuat. Untuk itu lakukan taubat dengan penuh kesungguhan, dan isi amal kebaikan di detik-detik akan berakhirnya masa memakai dunia. Kemudian ber-muraqabah. Artinya merasa diri selalu diawasi Allah Swt. Dengan begitu, maka diri ini akan selalu mengikuti keinginan-Nya karena Ia selalu mengintai dan melihat apa pun yang sedang diniat, diucap, dan dibuat. Sebelum berdoa juga sejatinya ber-ma’rifah mengenali diri. Jika tahu betapa berharapnya diri kepada-Nya, maka segala hal akan menunduk, merunduk dan bersimpuh penuh harap kepada-Nya.

Wallahu a’lam.***

Baca : Ingat-Ingat

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *