Sandiwara Konstitusi

Gunung

Kembang sepatu bunga raya
gulai ikan rasa sayuran
konstitusi laksana kuda troya
bukti negeri hampa negarawan

Cincin berlian barang hiasan
dipakai orang sebagai ikatan
adakah pertanda regulasi pesanan
tengah jalan hilang pengakuan

Buah durian buah rambutan
dimakan keluang hilang ingatan
siapa lagi hendak dikorbankan
puluhan aktivis sudah dibuihkan

SECARA konseptual terasa susah menghubung-kaitkan antara sandiwara dan konstitusi. Jika pun merujuk KB2I (kamus besar bahasa Indonesia), tetap saja perlu ada peristiwa aktualnya. Menurut KB2I, sandiwara dimaknai [1]. Pertunjukan lakon atau cerita (yang dimainkan oleh orang). [2]. Perkumpulan drama (teater, tonil). [3]. Kejadian (politik dan sebagainya) yang hanya dipertunjukkan untuk mengelabui mata, tidak sungguh-sungguh.

Sementara konstitusi dimaknai sebagai [1]. Segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan (undang-undang dasar dan sebagainya). [2]. Undang-undang dasar suatu negara. Yang menarik dari konstitusi karena selain dimaknai sebagai UUD, diikuti pula kata dan sebagainya. Dan sebagainya inilah peluang peristiwa aktual kebersamaan (simultan) antara sandiwara dan konstitusi menjadi satu kesatuan ‘sandiwara konstitusi’.

Mengklid-klindankan situasi kekiniana tidak berlebihan jika ‘sandiwara konstitusi’ dimaknai sebagai pertunjukan lakon-cerita ihwal keputusan dari sebuah lembaga kenegaraan. Lembaga atau institusi negara yang memutuskan perkara prihal uji matari sebuah regulasi terkini headline-viral. Dalam hubungan ini pula Jengah Jenguk Cendekia (J2K) berupaya mengulas-hikmahnya. Ulas-hikmah bukan dimaksudkan menasehati apalagi mengadili. Bukan. Sekali lagi bukan. Jelas, mengadili adalah tugas mulia para hakim konstitusi.

Sebagai warga negara (masyarakat umum), tidak berlebihan menjadi bagian menyampaikan pesan amanah konstitusi sekaligus mengingatkan bahwa dalam pembukan UUD 1945 terdapat lanskap cara bernegara. Yakni mencerdaskan bangsa. Oleh karena itu, elok bijak walaupun kapasitas hanya mengingatkan, tentu tidak terlepas sebagai bagian anak bangsa negeri ini.

Riak ritme bersagang berbagai fenomana respon-ragam pendapat yang mengemuka terkait hasil yang diputuskan para hakim konstitusi tersebut, kata kunci berupa pertanyaan: Masih adakah negarawan? Mohon maaf di negeri yang “hampa negerawan”, mustahil akan mempunyai solusi strategis melepaskan beban yang teramat sangat berat dari semua watak serakah. Bahasa agak lebih ilmiahnya, negeri ‘hampa negarawan’ mustahil sanggup “mengusir kaum oligar-ortodok. Kaum model ini disebut dengan oligar-korporatokrasi. Jika ingin terkesan lebih akademis-ilmiah silakan ditelusur maknanya. Boleh jadi mbah google dapat membantunya.

Ulas-tutup, J2C jujur kebingung-bimbangan guna menjawab pertanyaan yang hanya berbentuk dugaan. Maaf, bukan tuduhan ya. “Jangan-jangan semua ini hanyalah sebuah ‘sandiwara kolosal’ yang sudah disediakan sutradaranya”, duga seorang kawan. Skenario, para pelakor, eh salah, pelakon (aktor-aktris) dan penulis juga sama.

Misalnya ada dugaan ‘sandiwara kolosal’ alur cerita utamanya seputar mengakrobati ihwal pasal tiga puluh tiga UUD 1945. Dugaan boleh saja. Masalahnya jangan sampai menuduh. Apalagi tanpa bukti. Namanya fitnah. Itu perbuatan keji.

Kalau saja fitnah itu keji. Bertanya tentu saja tidak. Artinya, bertanya boleh kan? Pertanyaannya: Siapa sutradaranya? Dari dalam atau dari luar? Apakah terdapat hubungan dengan kata poros?

Wallahu a’lam bishawab. ***

Baca : Gelombang Spekulasi?

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *