Cerpen Naila Rafa: Perjuangan

SEORANG wanita yang kedua pipinya tampak bulatan kehitaman tegak berdiri di pinggir jalan. Perempuan bernama Aminah itu selalu menadahkan tangan kepada setiap orang yang berjalan di hadapannya. Ia tampaknya mengharapkan uang recehan dari orang-orang yang lalu-lalang. Bibirnya tampak kering dan pecah-pecah, bagaikan tanah tandus yang mengharapkan hujan. Kabarnya, suaminya meninggal karena serangan jantung beberapa tahun lalu.

Kendaraan dan orang-orang ramai berlalu-lalang, tetapi tidak ada yang memberi sepeser pun uang padanya. Akankah ada orang yang mengasihaninya? Akankah ada orang yang memberinya uang?

Oleh karena tidak ada yang memberi uang, ibu itu pindah ke pinggir jalan lain. Di sini ia terkejut, tiba-tiba seseorang memberinya uang seratus ribu rupiah. Antara percaya tak percaya, sekaligus kaget luar biasa, ia sangat kebingungan melihat uang kertas merah bergambar presiden dan wakil presiden RI pertama itu. Hatinya bertanya-tanya, siapakah orang ini? Kenapa ia saangat baik begini? Biasanya orang-orang yang memberinya uang paling banyak hanya dua puluh ribu saja.

Begitu mendapatkan uang seratus ribu rupiah tersebut, bu Aminah langsung membeli makanan dan pulang ke rumah dengan muka ceria. Sampai di rumah, ia pun mandi dan membersihkan tubuhnya. Selesai salat asar ia pun berdoa agar rezekinya bertambah, agar esok pagi dan esok-esoknya lagi ada orang baik seperti perempuan muda cantik yang ditemuinya tadi.

Rumah bu Aminah hanya gubuk berdinding papan yang atapnya sudah berlobang di sana-sini. Ia tidur di ranjang usang. Kasurnya goni dan sangat tidak layak untuk ditiduri. Bu Aminah paling takut jika hujan turun. Jika air mata langit itu tumpah, ia akan kesusahan membuangnya.

Keesokan harinya, bu Aminah kembali berdiri di jalan yang sama, dan berharap akan diberikan uang lebih. Setelah menunggu lama di jalan tersebut, perempuan muda yang kemarin memberinya uang seratus ribu datang lagi. Ia menyalami bu Aminah, kemudian memegang tangan bu Aminah dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Bu Aminah bertanya. “Saya mau dibawa kemana?”

Perempuan muda itu tak menjawab satu katapun. Ia hanya diam. Perempuan muda berpakaian rapi itu mengambil sehelai kertas dan pena yang tergeletak di dashboard mobil.

“Maaf aku tuli dan bisu, jadi tidak dapat menjawab pertanyaan ibu. Perkenalkan nama saya Lantika, panggil saja Tika.”

“Hoo,” mulut bu Aminah ternganga.

Mobil pun bergerak pelan menuju rumah Lantika. Rumah putih berpagar setinggi kira-kira tiga meter itu bagai istana di tengah hutan. Di halamannya yang luas, di kiri-kanan jalan dari gerbang menuju rumah berjejer pohon pinus. Pas di depan rumah berdiri beberapa pohon palm. Saat sampai di rumah Lantika, perempuan muda yang baik hati itu kembali mengambil kertas yang ditulisnya tadi. Ia tulis kertas di bagian belakang yang masih kosong, “Jadilah ibuku. Aku tidak lagi memiliki ibu.”

Di tengah keheranan, ia pun bertanya lagi, “Kenapa kamu tidak punya ibu?”

Lantika kembali menjawab melalui tulisan, “Aku dari dulu sudah ditinggalkan oleh kedua orang tuaku karena aku memiliki kekurangan. Karena aku cacat. Aku bisa seperti ini karena usahaku menjadi penulis. Umurku 18 tahun.”

Bu Aminah pun menunduk. Ia merasa malu. Ia merasa tak enak hati karena sebenarnya ia masih bisa melakukan usaha apapun, dan masih sehat serta kuat tetapi malah mengemis, meminta-minta di jalanan.

Keesokan harinya ia pun mendaftar jadi asisten rumah tangga (ART) alias pembantu. Saat bekerja, ada-ada saja barang tak sengaja pecah, dan gajinya pun dipotong. Kemudian ia pun dipecat. Ia tak putus asa. Esoknya ia mendaftar lagi bekerja sebagai pembantu.

Walaupun itu sering terjadi, dan berkali-kali pindah tempat kerja tetapi ia tetap bekerja, selalu yakin bahwa di balik masalah yang menimpa, ada hikmah, dan Allah menguji hamba-Nya pastilah sesuai kemampuannya.

Suatu hari Lantika mengajak bu Aminah tinggal di rumahnya. Pada awalnya, hati bu Aminah sangat berat menerima tawaran itu. Akan tetapi Lantika terus memaksanya untuk tetap tinggal di rumahnya.

Walaupun Lantika begitu baik kepadanya, dan di rumah itu banyak pekerja, namun bu Aminah tetap bekerja di rumah itu. Selain ikut menolong pembantu menyapu rumah besar tersebut, ia pun setiap hari membuat makanan untuk Lantika.

Entah beberapa bulan kemudian, Lantika pun disunting seorang lelaki pujaannya, dan bu Aminah merasa sangat bahagia karena selain sangat senang melihat mereka bersanding, pun tidak lama lagi pita suara Lantika akan dioperasi. Ya, tentu tidak berapa lama lagi perempuan muda yang baik hati itu akan dapat berkata-kata, dan hidup bahagia. Dan ia pun tak lagi menjadi peminta-minta. Sejak saat itu ia pun bertekad kuat dalam hati untuk mengatakan selamat tinggal mengemis. ***

Catatan:
Cerpen ini dibuat saat Pembinaan Minat, Bakat, dan Kreatifitas Siswa Pelatihan Literasi Siswa SMP Tahun 2021 di Bengkalis pada 28-30 Oktober 2021.
—————————–
Naila Rafa, lahir pada 5 Juli 2008. Tinggal di kota Duri, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis. Kini merupakan pelajar SMPS IT Mutiara Pinggir Kabupaten Bengkalis, Riau. Motto Hidup : “Kalau bisa yang mudah mengapa bersusah-susah?”. Hobi berimajinasi dan nonton. Pengalaman menulis di sekolah. Cita cita menjadi dokter, psikiater, ustazah, penulis dan ceo.

Baca : Cerpen Ramli Lahaping: Tanah Leluhur

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *