Akal Tak Sekali Tiba

Bang Long

Bismillah,
Akankah kita adalah kayu-kayu yang tersandar?
Membisukan otak dari ibadah
Pikiran tiada mencapai kebenaran

Akankah kita adalah orang-orang yang kurang akal?
Melewati batas-batas Allah?
….
(Puisi Tak Malu Kita Jadi Melayu, 2019:7).

ALLAH Taala menciptakan makhluk terbaik dan terindah, yaitu manusia. Keindahan itu semakin sempurna ketika Sang Khalik menghadiahkan akal dalam otak di kepala manusia. Akal merupakan sesuatu yang abstrak, sedangkan otak sesuatu yang konkret. Otak bukan cuma dimiliki manusia. Namun, cuma manusia yang mempunyai akal. Hanya manusia menggunakan akalnya secara baiklah yang menjadikannya terindah.

Dani Vardiansyah dalam buku Filsafat Ilmu Komunikasi suatu Pengantar (2008) menjelaskan bahwa akal merupakan suatu peralatan rohaniah manusia. Akal berfungsi sebagai pembeda yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat tergantung luas pengalaman dan tingkat pendidikan formal maupun informal. Akal bisa didefinisikan sebagai peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan, menganalisis, dan menilai apakah sesuai benar atau salah. Namun, karena kemampuan manusia dalam menyerap pengalaman dan pendidikan tidak sama, maka tidak ada kemampuan akal antarmanusia yang betul-betul sama. Musa al-Kadzim mengatakan, akal adalah lawan dari jahil (jahl) atau kebodohan/kejahilan. Akal berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘aql. Secara bahasa, diksi ini bermakna pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Cyril Glasse berpendapat, dalam kehidupan sehari-hari, akal sering digunakan sebagai pengertian pikiran. Namun, sesungguhnya akal memiliki makna yang lebih tinggi dan metafisis dalam terminologi filsafat Islam, yaitu serasi dengan pengertian intelek atau nous dalam filsafat platonisme. Akal merupakan suatu potensi yang terpendam dalam mikrokosmis dan berwujud dalam bentuk jiwa/spirit (1996).

Bagi bangsa Melayu, akal mendapat tempat khusus. Dalam akal, ada daya-upaya berpikir. Daya-upaya berpikir ini bertujuan untuk memahami suatu objek, baik nyata maupun gaib. Akal juga dapat dimaknai sebagai cara, jalan, atau ikhtiar untuk menggapai suatu tujuan. Karena itu, ada ungkapan cari akal yang bisa disamakan dengan cari cara, cari jalan keluar, atau cari ikhtiar. Di sisi lain, akal pun bisa bermakna negatif. Misalnya, ungkapan main akal yang bermakna tipu daya, muslihat, atau kelicikan. Bahkan, ada ungkapan tak berakal yang mengacu pada makna kurang pengetahuan/pengalaman.

Makna kata akal bukan semata mengacu pada peralatan rohaniah kita, tetapi juga berorientasi pada daya-upaya kita dalam berikhtiar, berusaha, atau bekerja. Tentang bekerja ini, muncul ungkapan skeptis tentang bangsa Melayu, yaitu pemalas. Padahal, sifat pemalas itu sangat individual, bukan merujuk suatu bangsa atau suku tertentu. Berdasarkan kajian kegemilangan di masa silam, Melayu bukanlah bangsa pemalas. Mana mungkin bangsa pemalas bisa membangun kerajaan besar dengan berbagai prestasi di bidang pemerintahan, bahasa, sastra, seni bina, dan beragam tamadun serta mati-matian melawan penjajah. Mati-matian melawan penjajah ini termasuk memaksimalkan fungsi akal sebagai ikhtiar secara indah.

Dalam buku Tunjuk Ajar Melayu karya Tenas Effendy (1994), ada butiran khusus yang berkaitan dengan kerja keras, rajin, dan tekun. Kejayaan suatu bangsa bergantung pada kerja keras dan ketekunan atau bersungguh hati ketika bekerja/berikhtiar. Sikap bersungguh hati ini merupakan acuan dalam menilai kepribadian seseorang sehingga bisa menjadi teladan. Sikap ini akan membentuk rasa tanggung jawab sehingga menjadi orang yang patut dihormati. Kalau Melayu hendak berjaya, bekerja keras dengan sesungguhnya. Siapa rajin, hidup terjamin. Siapa tekun, hidup rimbun.

Kerja keras, rajin, dan tekun merupakan jatidiri bangsa besar yang mendulang kegemilangan. Jatidiri ini berkaitan dengan cara kerja akal. Kerja keras bermakna berusaha sekuat tenaga. Rajin berarti mengerjakan dengan sepenuh hati/giat. Tekun mengerjakan sesuatu dengan tunak, pantang mundur. Ketiga jatidiri ini mengajarkan kita untuk melakukan suatu ikhtiar sekuat tenaga, sepenuh hati, tidak malas, dan pantang berputus asa. Dengan kata lain, kalau mengerjakan sesuatu, kita tidak jemu/tidak muak. Ini juga merupakan jatidiri manusia berilmu. Apa tanda Melayu berilmu, bekerja keras tiada jemu. Apa tanda Melayu yang bijak, bekerja yang tekun mengikuti syarak. Apa tanda Melayu bijak, dalam bekerja ianya tunak, begitu yang dikalamkan dalam Tunjuk Ajar Melayu (1994:140;141).

Berusaha mestilah berulang-ulang. Berpikir pun hendaklah dibiasakan berulang-ulang. Tiada kata berhenti dalam berikhtiar. Ibarat makan, minum, dan beribadah, semuanya kita lakukan secara berulang sehingga menjadi pembiasaan. Pembiasaan ini akan membentuk tamadun pada bangsa kita. Akal tak sekali tiba, begitulah semestinya.

….

Dengan akal, akankah kita berpaling
menjadi fasik?
TIDAK?

Alhamdulillah.
(Puisi Tak Malu Kita Jadi Melayu, 2019:7).

Bengkalis, Sabtu 22 Rabiul Akhir 1443 / 27 November 2021.

Baca : Menghormati Guru

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *