Berhenti

hijrah

SEMAKIN hari manusia modern semakin sibuk. Mereka seolah tak pernah dapat berhenti sejenak dengan kesibukan-kesibukan. Semakin sibuk ia seolah-olah semakin sukses dan jayalah dirinya. Semakin dihargai dan dihormatilah ia oleh kelompok-kelompok sibuknya. Sibuk berpikir, bekerja, berkata-kata dan membuat kesibukan-kesibukan lain, tak peduli siang dan malam, pagi, siang dan petang. Sibuk dan sibuklah ia dalam kesibukannya yang sesibuk-sibuknya. Tak ada waktu lagi untuk berhenti dari sibuk. Sibuk dengan visi dan misinya, sibuk dengan mimpi dan impiannya. Sibuk dengan pencapaian yang tak ada puncaknya, dan tak selesai sudahnya.

Berhenti dari berbagai kesibukan merupakan kodrat manusia. Bahkan Tuhan menciptakan malam agar manusia mengurangi kesibukannya, agar beristirahat sejenak untuk tidak sibuk karena pada siang hari sudah sibuk dengan kesibukan-kesibukannya.

Semakin hari manusia semakin sibuk dengan kesibukan dunianya. Semakin sibuk dengan ambisi dan keserakahannya. Semakin sibuk dan mabuk dengan sibuknya. Semakin sibuk dengan kuat-kuasanya. Sibuk memikirkan masa depannya, masa tuanya, masa depan para kaum zuriatnya. Sibuk dengan pengagum. fans dan pendukung sibuknya. Sibuk dengan sesuatu yang suatu saat akan benar-benar menyibukkannya.

Mereka sibuk mengusir rasa khawatir dan takut; takut kehilangan pengaruh, kuasa, harta, dan tahta. Mereka tak takut pada ketakutan yang setakut-takutnya. Mereka takut kepada hina dan dina, padahal kodrat mereka adalah dhaif dan papa. Mereka tak takut pada suatu hari di mana ketidaktakutannya itu akan diminta pertanggungjawaban yang sejelimat-jelimatnya, seteliti-telitinya, sesibuk-sibuknya.

Mereka semakin sibuk sehingga lupa dengan jalan pulangnya.

Di perantauan, di dunia yang serba menyibukkan, di tempat yang serba melenakan, menyesatkan dan menyesakkan ini, mereka menyibukkan diri dengan sibuk pada hal-hal sepele. Ihwal serius dan bermakna malah terlupakan begitu saja. Lepas luncai tak berharga. Yang terpikir dan teringat terus dan seterus-terusnya hanya lembaran kertas yang dianggap paling berharga, pangkat dan jabatan yang suatu saat ‘kan sirna, hanya sibuk pada rumah-rumah tanpa mushalla, pada kendaraan tanpa suara, pada harga diri yang semakin rendah, pada masa depan fatamorgana.

Berhenti dari berbagai kesibukan merupakan naluri manusiawi. Dalam beragama pun manusia disuruh sejenak berhenti. Dalam shalat ada istilah thuma’ninah yang bermakna berhenti atau berdiam sejenak. Dalam haji adalah istilah wukuf yang secara harfiah juga bermakna berhenti. Yaitu berhenti di Padang Arafah.

Dalam ibadah yang bernuansa sosial jama’i juga dikenal ibadah wakaf yang secara etimologi juga berarti berhenti.  Pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan seorang mukmin diminta I’tikaf (berhenti dan berdiam diri di masjid). Dalam jalan kerohanian menuju Tuhan, dalam tradisi sebagian kaum sufi juga dikenal dengan istilah wukuf (berhenti atau berdiam diri).

Berhenti dalam istilah-istilah kegiatan ibadah tersebut tidak sekadar berhenti. Akan tetapi berhenti sibuk dari kegiatan keduniaan. Manusia diberikan waktu dan dianjurkan untuk berhenti sesaat untuk sibuk melakukan sesuatu yang berkait-mait dengan kehidupan rendah (adna/dunya). Ia diminta sejenak rehat, berdiam diri, berhenti. Henti untuk dunia tapi sibuk dengan Tuhannya. Sibuk untuk jalan pulangnya. Sibuk untuk bekal perjalanan panjangnya.

Kini manusia banyak terlalu jauh berjalan. Saking jauhnya melangkah bahkan tersesat sehingga tak tahu jalan pulang. Mereka tak dapat memanfaatkan kesibukannya untuk kebahagiaan yang sesungguhnya. Mereka berjalan, berlari, bergegas seperti di jalan tak berujung. Mereka sibuk berjalan, bersenang-lenang dan menikmati pemandangan sekelilingnya seolah tanpa lelah. Jika terus dan terus begitu, maka begitu malangnya ia. Begitu sibuknya ia dengan kemalangan-kemalangannya.

Fa aina tazhabun.

Kamu mau pergi kemana? ***

Baca : Pinta

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *