Hidung Kempis Kumis Kembang

MAKHLUK rimba nusa raya di pulau besar di tengah dua samudera itu sudah kehabisan kata-kata. Mereka sudah menyampaikan semua keluh-kesah mereka. Ke mana-mana. Di mana-mana. Kepada siapa saja. Termasuk kepada tunggul kayu yang amat besar, yang mereka sebut patung Raja Boneka.

Masalahnya, apa?

Kehidupan makhluk rimba nusa raya terancam di sini sana. Hutan makin binasa. Persediaan macam-macam makanan di alam belantara semakin tak tampak di depan mata. Makin bertambah hari semakin banyak rimba berubah menjadi kota raya. Mereka tidak tahu, harus berbuat apa? Harus tinggal di mana? Harus enyah ke mana?

Menghadapi kondisi yang makin rawan, para makhluk ini rapat di tengah secempis hutan. Dalam kondisi menggigil, mati ketakutan.

“Yang kita tempati ini bukan saja hutan yang tersisa. Tapi kita, kita juga adalah makhluk hidup yang tersisa. Sudah begitu banyak hutan rimba habitat kita binasa. Sama, dengan sudah banyak kekawan kita yang binasa. Tidak dapat dihitung jumlahnya. Setiap hari ada saja tanah kita yang digusur. Sebentar lagi kita semua pun akan mampus.  Mati terkubur! Dalam keadaan kebulur.”

Suara ketua makhluk rimba ini menggaung, menyampaikan kondisi mereka dengan lantang. Rakyatnya menyimaknya dengan hati panas radang. Hidung kempis. Kumis kembang.

“Setelah kita jalani. Setelah kita alami. Setelah kita amati, apakah kita biarkan saja nasib badan kita begini? – Setelah kita menyampaikan keluh-kesah ke sana kemari tetapi tiada yang peduli?”

Sang ketua bertanya pada hadirin.

Suara hadirin langsung bergemuruh. Sangat riuh. Namun banyak juga yang terdiam, dengan air muka yang sangat keruh. Berpikir keras, jalan apa yang mesti ditempuh. Ini, makhluk-makluk yang tidak suka buat gaduh, tetapi bisa tak kuat juga bila hati mereka terus dibikin rusuh.

Setelah suara riuh agak tenang, sang ketua meminta siapa saja maju ke depan, untuk mengabari kondisi, atau memberikan masukan.

Sesosok kepala suku maju ke depan.

“Kepada saudara semakhluk, bangsa rimba raya semuanya. Ada kabar untuk kita. Saya tidak tahu, apakah kabar baik atau kabar untuk semakin buruk takdir kita.”

Satu suara dari tengah hadirin tetiba menyeruak. “Jangan banyak mukadimah. Sampaikan saja langsung.”

“Ok. Langsung. Kalau kita bertahan di hutan yang tersisa ini, kita akan mati kojol. Sebab hutan sisa yang seketul ini sudah ada dalam proposal proyek mereka. Jadi jadi negara satelit.”

“Wow! Negara dalam dusunlah ‘tu..? Hyperjenius..”

“Kalau kita bertahan di sini kita akan mati sebelum mesin buldoser mereka yang akan menggarap lahan ini berbunyi.”

“Dilindas buldoser?”

“Tulangnya. Sebelum itu kita mati kebuluran.”

“Sungguh mengerikan.”

“Saudara semakhluk, bangsa rimba raya semuanya,” sang pemberi masukan bicara lagi. “Ada tawaran untuk kita. Lagi-lagi saya tidak tahu, apakah kabar baik atau kabar untuk semakin buruk takdir kita.”

“Sebutkan saja.”

“Kita ditawari hidup pola dan gaya baru. Hati tetap binatang. Tetapi bisa senyum seperti manusia. Nyengir-nyegir sedikit pun tak apa-apalah.”

“Wow!”

“Untuk itu kehidupan kita ditanggung semua.  Makan, minum, pakaian dan sebagainya. Termasuk hp yang canggih dan pulsa selamanya.”

“Wow! Wow!”

Tetiba sesosok dari kerumunan muncul bertanya, “Apakah kita bisa makan dengan makanan yang biasa mereka makan? Kita kan biasa makan buah-buah segar. Mereka biasa makan nasi beras, telur, ayam goreng..”

Belum sempat pemberi masukan menjawab, alih-alih muncul pula sosok lain menimpali.

“Nah! Macam mana itu? Aku dengar juga berasnya kekadang beras plastik, telurnya telur palsu. Bisakah kita memakannya itu? Lebih-lebih makan ayam, makan sesama makhluk, bisa..? Digoreng pula itu.. Uhh..!!’

Hadirin terkikik-kikik mendengarnya. Sempat sejenak mereka lupa derita mereka. Sempat sekejab mereka lupa ancaman hidup terhadap mereka.

Pemberi masukan sempat geli juga mendengarnya. “Tapi tenanglah dulu. Kita coba saja dulu menjalaninya ya?”

“Oh.”

“Kalau ternyata ada yang tidak bisa makan sama dengan makanan mereka nanti bagaimana, Tuan? Boleh protes tidak?”

Sang pemberi masukan tersenyum macam manusia. “Di sana tidak boleh ada protes. Asal mau ikut kita semua akan diberi macam-macam kesedapan. Termasuk bini instant, gundik gendak dari layar kaca.”

“Oh! Ooohh..!!!”

“Kalau protes juga, Tuan?”

“Diembat cecacing dan ular-ular petugas raja naga..”

“Uuuu… ! Takuuut…”***

Baca : Indragiri Sungai Keruh

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *