Kenangan dan Harapan

Terapi Kamar Mandi

DALAM hidup, selain kenangan, apalagi yang tuan punya?

Banyak. Sungguh banyak. Sungguh bersemerak. Berselerak di sepanjang jalan. Yang dipunya di antaranya adalah harapan.

Kenapa manusia berharap? Karena kesejatian insan adalah lemah tiada berdaya. Karena lemah maka berharaplah ia. Berharap agar kuat. Berharap agar selamat. Berharap agar hebat. Berharap dan berharap.

Oleh karena harapan, manusia hidup dan bergerak. Manusia berbuat dan bertindak. Harapan terkadang dimulai dari ketakutan. Maka usah takut kepada takut. Karena takut adalah benih yang menguntumkan harapan. Tanpa pernah merasa takut, cemas dan khawatir tak akan muncul keberanian. Tak akan timbul kepahlawanan. Keberanian tanpa rasa takut hanya melahirkan kebimbangan. Hanya melahirkan ketidakpastian. Menuai keluhan. Menetaskankan penyesalan. Takut tanpa harapan maka akan selesai sudahlah semuanya. Akan tetapi, jika takut dipelihara berpanjangan, tak muncul pula harapan, tak menguntum pula impian dan mimpi-mimpi indah di sehamparan taman jiwa.

Takut dan harap adalah tunangan, adalah pasangan. Mereka seperti dua sisi mata uang. Tiada berharga jika tak ada keduanya. Mereka saling silang bersilang demi eksistensi kesejatian.

Ketakutan dan harapan adalah kenangan. Demi mengenang takut dan harap maka semua kebajikan dibuat, segala kebusukan dan keburukan ditinggalkan. Demi harapan, kenangan ingin diulang, diurut, dan paling tidak; dikenang. Namun sayang, kenangan selalu ada di masa lampau. Selalu yang tinggal hanya bayangan. Untuk mengulangnya tiada mungkin ‘kan datang. Yang berlalu adalah kenangan. Yang ke depan adalah harapan.

Manusia selalu mengenang, selalu berharap. Jika bukan untuk mengenang-ngenang, kalau bukan untuk mengingat-ingat maka manusia ‘kan melayang. Selalu terbang tak tentu haluan. Ibarat layang-layang, ia akan melanglang hilang. Bila lanlayang putus talinya maka semuanya sirna. Jatuh tak berguna. Semua tinggal kenangan. Segalanya tinggal sesal dalam ingatan.

Ini sudah Desember, puan. Lembaran daun-daun kenangan kembali terkenang. Timbul-tenggelam dalam ingatan. Harapan segera datang. Januari serasa baru kemarin petang.

Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, November telah lalu. Mengalir dalam hari-hari yang mungkin terasa singkat karena banyak kenangan manis dipahat, dilihat dan dikebat. Sebaliknya akan terasa lama bila tragedi pahit dan getir dilalui dalam kelukaan, keperihan dan kenestapaan.

Wah. Jangan larut dan terhempas dalam kesedihan masa silam. Masa depan telah menunggu dengan selaut harapan. Jangan terpenjara dalam bilik-bilik ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran berpanjangan, karena bergubal-gubal harapan, bergulung-gulung kemenangan bila-bila ‘kan datang tanpa diundang. ‘kan tiba tanpa disangka.

Bijaklah sesaat. Merenunglah seketika. Ingat, kenang, panggil memori bayangan masa kelam demi menyusun bertukal-tukal harap masa depan. Yang perit jadi pelajaran dan bahan ajar. Yang manis jadikan harapan yang terus ‘kan diulang dan diimpikan.

Pandanglah bumi sedalam-dalamnya lalu menengadahlah. Tarik napas kehidupan sedalam-dalamnya. Lihat, saksikan langit dan semesta setinggi-tinggi dan sejauh-jauhnya. Berpejamlah sejenak. Merenung dan diamlah barang agak sekejap. Di bumi, apa yang tak tersimpan? Di langit, apa yang tak terbentang?

Demi kenangan, berharaplah. Namun jangan hanyut dalam bayangan karena hidup adalah kenyataan. Sambut dan sonsong esok dengan senyuman. Harapan selalu ada. Ya, selalu ujud dalam setiap langkah. Berharaplah. Melangkahlah. Jangan terbuai dengan mimpi dan janji-janji yang tak pasti. Belajarlah dari kenangan untuk melihat, dan mungkin menggapai bintang-bintang di langit, yang barangkali malam tampak kelam padahal sesungguhnya sebentar lagi fajar di ufuk timur ‘kan menjelang, akan cemerlang menyibak awan, memancarkan sinar terang mencawang.

Kiranya semoga.

Wallahu a’lam.***

Baca : Berhenti

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *