Kerukunan Riau

Jalaluddin As-Suyuti

“…Adapun negeri Indragiri, setelah Raja Narasinga masuk Islam sebab dimenantukan oleh Sultan   Mahmudsyah, Sultan Malaka, maka raja itupun dirajakan di Indragiri. Mulanya ia ditolak oleh orang Indragiri, namun karena kedatangan orang Talang di sana yang mengangkatnya sebagai raja, maka mufakatlah mereka membuat perjanjian. Perjanjian itu menyatakan bahwa orang Talang mengaku sebagai rakyat Indragiri. Raja pun memberitahu mereka tentang adat Melayu, sehingga mereka mufakat untuk memakai adat itu kala mereka hidup di dalam negeri Indragiri. Di dalam kampungnya, mereka tetap memakai adat mereka…” (Wan Galib dalam buku Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan, hal. 504)

Mencengangkan, itulah kata yang dapat diucapkan dan dirasakan ketika baru-baru ini disampaikan hasil survey dari suatu lembaga bahwa indeks kerukunan di provinsi Riau pada 2019 berada di urutan 30 dari 34 provinsi di Indonesia.

Kenapa tercengang dan terkejut? Karena sudah sejak ratusan tahun lampau, negeri ini telah sangat terbuka dan toleran kepada orang-orang yang datang ke negeri ini. Dan dari tulisan Wan Galib tersebut di atas dapat dilihat, orang yang awalnya berbeda agama pun diterima dengan lapang dada, bahkan dijadikan menantu dan suatu ketika diangkat menjadi raja di negeri ini, yang namanya harum sampai saat ini. Dan, menurut keterangan seorang pendeta di Indragiri Hulu beberapa hari lalu, di komplek pemakaman raja pun terdapat batu nisan salib.

Selain itu, jauh di hilir Rengat dan sekitarnya, yaitu di Tembilahan dan sekelilingnya, tepatnya di Indragiri Hilir berhimpun-pepat berbagai macam suku bangsa. Hingga saat ini tak terdengar kabar terdapat kerusuhan berat seperti di Poso, Sampit dan lain sebagainya akibat pertentangan suku, puak dan agama. Hal itu sudah berlangsung selama puluhan tahun, bahkan berabad-abad lamanya. Begitu juga di Rokan Hilir dan sebagainya. Bahkan di negeri seribu kubah itu, di Kota Bagan Siapi-api, tradisi Bakar Tongkang yang merupakan kebudayaan masyarakat Tioghoa sendiri menjadi kebanggaan bersama masyarakat di sana.

Mendengar hasil survey itu, timbul sejumlah pertanyaan dari berbagai kalangan, seperti apa metode penelitiannya? Siapa respondennya? Apakah data angket disebar melalui hp atau gadjet atau langsung kepada respondennya secara face to face?  Bagaimana teknik samplingnya? Apakah respondennya hanya pada sebaran di daerah tertentu seperti pada masyarakat urban saja? Apakah cukup dengan menyodorkan sejumlah pertanyaan dalam angket tanpa menyaksikan kondisi ril di lapangan? Dan berjujai-jujai pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Akan tetapi sudahlah, hasil survey itu tidak perlu dipertanyakan lebih panjang, lagi pula itu hasil survey 2019. Jika kini dilakukan tentunya hasilnya akan berbeda. Yang terpenting dan terbaik adalah membangun Riau ke depan supaya lebih harmoni, bahwa negeri ini pernah menjadi contoh di nusantara betapa terbuka dan rukunnya dalam menata kehidupan masyarakat dari berbagai suku, ras dan agama. Bahkan berabad-abad lampau, raja atau penguasanya dan masyarakatnya sudah mencontohkannya, sudah amat terbuka terhadap kedatangan pihak-pihak dari mana saja. Mereka menjadi masyarakat yang hidup rukun, penuh toleran, damai dan sejahtera. Penduduk asli Riau yang notabene Melayu yang kini sudah heterogen, selain karena hati mereka yang lembut, sebagian mereka juga telah dididik dengan berbagai nilai-nilai luhur budaya Melayu dan nilai-nilai asas budaya Melayu yang menjadi jatidiri mereka, nilai yang sekait kelindan dengan nilai budaya dan agama apapun.

Jika hasil survey tentang indeks kerukunan di atas sudah memenuhi standar penelitian, dan tentu saja ini sudah sesuai standar penelitian karena dilakukan oleh lembaga terpercaya, maka sejumlah pihak yang berkompeten di Riau, seperti pemerintah daerah dan stake holder lainnya perlu mencari akar penyebab dan solusinya. Gerakan sadar kerukunan yang dilakukan di negeri ini semestinya sudah benar-benar bukan seremonial dan sambil lalu saja. Sudah semestinya dilakukan secara masif, terukur, terencana, terprogram, terlaksana, terkontrol dan terevaluasi dengan baik. Selain itu, menanamkan nilai-nilai luhur budaya Melayu dan nilai-nilai asas budaya Melayu kepada anak negeri ini perlu dilakukan sejak dini, baik melalui lembaga pendikan formal, non-formal maupun informal.
  
Tabik. ***

Baca : Kenangan dan Harapan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *