Gurau

MANUSIA  punya fitrah bersenda gurau. Dunia ini diciptakan Tuhan pun penuh dengan permainan (la’ibun) dan gurauan (lahwun). Maka orang-orang pun bercanda dan bergurau. Senda gurau mendatangkan kebahagiaan, keceriaan dan refreshing tersendiri. Bahkan kecerdasan seseorang terkadang dapat dilihat dan diukur dari kadar nilai gurauan, kelakar atau selera humornya.

Namun gurauan terkadang menyebabkan petaka. Tak sedikit sahabat menjadi musuh hanya karena salah gurau. Atau terkadang, orang menggurau-guraukan orang lain karena maksud menyepelekan atau menghina, sehingga terciptalah permusuhan dan pertentangan. Gurauan dijadikan sarana atau media untuk mengolok-olok, mengejek, mencemooh, menyindir dan lain sebagainya.

Akibat gurauan yang berlebihan, tidak sedikit melahirkan penyesalan. Orang tua Melayu telah berpesan: kalau duduk di dalam surau/ingat-ingat membaca kitab/kalau duduk bersenda gurau/ingat-ingat tersalah cakap.

Kini orang tidak saja duduk dalam majelis pertemuan face to face akan tetapi secara daring atau via virtual. Manusia dari berbagai belahan dunia seolah-olah hidup dalam satu bilik sempit. Berbekal gadjet atau handset mereka pun berkomunikasi, bertukar pikiran, bahkan berdebat dalam berbagai hal. Pikiran mereka disampaikan oleh jari-jari lihai yang meloncat-loncat di papan media seperti handphone tersebut.

Handset atau gadjet itu pun menjadi micropone atau juga menjadi ruang diskusi untuk bercakap-cakap dalam tema yang macam-macam. Mulai hal yang sepele hingga yang berat-berat. Mulai saling sapa hingga saling gurau.

Media seperti Whats App (WA) pun amat berjasa mempertemukan orang-orang yang tidak saling kenal atau sudah kenal tapi jarang bersua. Di grup WA berbagai hal terungkap. Perbincangan tentang kenangan masa lalu, masa kini hingga masa depan diperbualkan dan diperbincangkan. Mereka pun berbagi informasi yang terkadang overload atau sesuatu yang telah diulang-ulang hingga pulhan kali. Mereka bertegur sapa, bersalam mesra. Bahkan tidak sedikit kembali merajut keindahan dan kemesraan yang terbengkalai, yang mungkin terputus saat masih sekolah.

Namun malangnya, persendaan itu pun tak jarang melahirkan bencana. Grup WA pun terkadang menjadi sarana saling caci, hujat dan sindir menyindir, termasuk dengan cara senda gurau. Maka pada akhirnya, sebagian mereka pun out dari grup atau di-outkan oleh admin WA tersebut. Mereka pergi pun penuh membawa sejuta rasa kesal, sesal, marah, dendam, dan tentu saja sakit hati.

Jika dalam grup-grup tersebut terdapat orang-orang yang dihubungkan tali darah, atau persahabatan yang demikian kuat-lekatnya, maka saudara-mara atau para sahib dari orang yang juga, dan keluar juga.

Melihat situasi ini, sejatinya manusia pengguna teknologi ini diajak supaya lebih bijak untuk mengenali orang lain. Komunikasi antar sesama mesti diperhatrikan dan diperbaiki. Pertemanan sepuluh atau dua puluh tahun lalu tentu tidak sama dengan hari ini. Dahulu masih sama-sama sekolah, masih punya status sama sebagai pelajar atau mahasiswa.

Namun hari ini semua telah berubah. Sudah ada yang jadi pejabat, ulama, pengusaha, intelektual dan lain sebagainya. Semua jabatan dan pangkat yang melekat itu, terlihat atau tak tampak, terasa atau pun tidak terpikir, telah mengubah banyak hal. termasuk cara berkomunikasi.

Jika semua anggota grup merasa masih seperti puluhan tahun lampau, dan memperlakukan orang lain seperti zaman-zaman tersebut maka inilah salah-satu urat pangkal terjadinya ketidak-harmonisan suatu perkumpulan, terutama dalam grup-grup media sosial.

Kalau sekali pergi ke surau/dua kali nak pergi ke masjid/kalau sekali menjadi gurau/berkali-kali menjadi penyakit. Demikian pesan Tenas Effendy dalam Tunjuk Ajar Dalam Pantun Melayu.

Akan tetapi yang paling penting untuk merawat kebersamaan dan kemesraan itu adalah berpuncak-puncai dari hati. Jika hatimu tulus mengatakan sesuatu dalam berbagai bentuk komunikasi, maka yang keras ‘kan terasa lunak. Yang pedih ‘kan terasa lirih. Yang tak sedap didengar dan dirasa akan terasa berperisa dan punya makna. Yang benci pun ‘kan jadi rindu. Apalagi memakai hati yang diulang pengucapannya hingga dua kali. Ya, “hati”-“hati”. Tentu hati-hati ini menjadi cara yang bijak dan mangkus dalam menjalin hubungan silaturahim melalui sarana apa saja.

Agaknya begitulah.

The man behind the gun.***

Baca : Musafir

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *