Cerpen Asih Drajad Lumintu: Riuh Rindu

RINAI hujan baru saja turun, saat senja tanpa pelangi jingga menyapu langit yang kelabu. Seorang lelaki paruh baya biasa dipanggil Hatta, tiba di mushola jauh di pinggiran timur kota Metropolitan. Perawakan tinggi kurus, muka bersih dan rambut sedikit masai, bergegas masuk ke tempat wudu. Napasnya tersengal-sengal, mengguratkan kelelahan sehabis perjalanan jauh. Dibersihkannya debu yang menempel kemeja lengan panjangnya, dengan sedikit percikan air yang mengucur dari keran. Lantas berwudu, dan menyisir kusut masai rambut lurusnya dengan jemari tangannya. Wajahnya berseri riang.

Setengah berjinjit, Hatta masuk ke mushola yang tampak kurang terawat. Cat cream dindingnya memudar, dan mengelupas di sana-sini. Pandangannya tajam, mengawasi sekeliling ruangan. “Masih belum berubah…,,” gumamnya pelan. Diambilnya sajadah yang teronggok di pojok ruangan, menggelarnya pesis di shaf depan tengah.

“AllahuAkbar..”, terdengar takbir lirih dari mulutnya. Kemudian sosok itu larut dalam doa-doa khusyuk.

*

Jarum jam di dinding tidak juga bergerak sejak Hatta di sana.

“Baterainya mungkin soak, atau jamnya yang sudah rusak,” batinnya menebak.

“Jam berapa sekarang?”, ..keluhnya. Sebentar lagi gelap turun, bersama derai hujan yang makin deras di luar mushola.

“Ah, di mana orang-orang kota sekarang shalat?. Senja merangkak gelap, mengapa belum juga ada yang tiba di mushola ini untuk sholat berjamaah? “, gumamnya heran.

Bayangan kejadian pagi tadi berkelebat di benak Hatta. “Maafkan mbak Ris, adikmu terpaksa kabur meninggakan rumah itu,” jerit hatinya. Rumah kontrakan yang baru ditempatinya belum genap seminggu, setelah ia bebas.

“Ya, kini aku bebas,” sorak hatinya senang.

Inilah perjalanan pertama yang menggetarkan hatinya, setelah nyaris 23 tahun tidak melihat, selain ruang kamar sepinya dulu. Ruang tempatnya berobat dari penyakit menahun. Entah penyakit apakah ini, orang menyebutnya?. Ada yang bilang dirinya depresi, stres dengan kenyataan hidup. Ada yang menebak, ia kesurupan dirasuk jin hingga kerap menjerit, dan melompat tak beraturan.

Entahlah, tak banyak hal yang diingat Hatta. Kebebasan dirinya, sudah membuatnya gembira. Perawat rumah terapinya menyebut, ia kini telah sehat sehingga boleh pulang ke keluarganya.

Gun adiknya, Mbak Ris, dan suaminya yang menjemput Hatta saat itu. Mereka menyiapkan rumah kontrakan buat Hatta, tak jauh dari rumah mbak Ris.

“Jalani hidupmu dengan tenang ya, Dek,” Urus dirimu saja dulu. Tak usah pikirkan yang lain, “terngiang nasihat mbak Ris.

Tadi saat Hatta memberanikan keluar rumah kontrakan, kegugupan menyergapnya.

“Ke mana kaki ini akan dilangkahkan ?”. Akhirnya ia cuma mengikuti pandangannya, mencari keramaian. Menunggu angkot yang membawanya ke rumah kenangan. Tak dipedulikan lalu lalang manusia, yang sesekali lekat menatapnya.

Sepanjang perjalanan, ia berusaha mengira-ngira batas pemberhentian ia harus turun. Gedung-gedung baru kota Metropolitan di kanan kiri jalan yang di laluinya, sekarang begitu asing, Hatta hanya berpatokan, satu halte sebelum terminal terakhir bus yang mengangkutnya berhenti, ia harus turun. Cuma itu yang diingatnya.

“Aku harus bertemu Sisi.” Pandangan kosong matanya seolah menatap perempuan yang dicintainya 27 tahun yang lalu.

“Hatta, datanglah ke rumah orang tuaku, jika kamu serius, ” tulis surat Sisi yang dikirim lewat perantara temannya. Berkelebat berganti-ganti bayangan episode kenangan di benak Hatta tanpa diundang.

Lelaki pemalu, baik, dan lembut hati adalah julukan yang melekat padanya. Hatta menepati janji dalam akad nikahnya dengan Sisi. Namun, itulah awal keanehan yang dialaminya.

“Bu, aku tak bisa mendengar apa-apa,” keluh Hatta berbisik ke telinga ibunya.

Ibu Hatta yang menemani akad nikah Hatta terpaku sejenak. Mata tua itu berkaca. Firasat yang pernah ada dulu, kini menghantuinya. Segera ditepis rasa gelisahnya dengan isyarat menadahkan tangan, meminta Hatta untuk berdoa.

“Duh Gusti paringono kuat…,” bisik ibu Hatta.

Perempuan tabah yang berjuang menafkahi anak-anaknya setelah suaminya wafat sewaktu Hatta belum lagi baligh, menarik napas panjang dan menghembuskan kembali lewat mulutnya, sekedar mengusir gemuruh dadanya. Kini perempuan itu yang risau. Dipandangi Hatta yang tertunduk di depan penghulu.

“Anakku Hatta lembut hatinya, pantang dikasari. Ucapan kerasku saja sudah membuatmu demam seharian,” batin ibu Ia akan menikah bersama perempuan pilihannya. Memilih, tanpa pernah bertemu, kecuali ta’aruf lewat perantara temannya.

Mengingat saat lamaran dulu, perasaan ibu semakin gundah. “Anakku belum tamat kuliah.”

Terbayang kerja serabutan yang akan dilakukan Hatta untuk mencukupi rumah tangganya. Ibu membisu, saat Hatta menjawab pertanyaan keluarga Sisi, di mana ia bekerja.

Meski Sisi tersenyum, tetapi abang ipar Sisi yang dipanggil bang Ipan itu tidak….”, cetus ibu ketika pulang lamaran Bang Ipan justru memamerkan, seolah dirinya menantu terbaik di keluarga Sisi, keluh Ibu.

*

Sorak sorai anak-anak memasuki mushola, membuyarkan lamunan Hatta. Akhirnya datang juga yang ditunggu. Shaf jama’ah shalat Maghrib didominasi oleh anak-anak yang sesekali berceloteh, meski sang imam selesai bertakbir di rakaat awal. Nostalgia masa kecil Hatta timbul tenggelam di benaknya. Begitulah dulu ia dan Gun adiknya, berlomba lari agar tiba paling awal, tepat adzan berkumandang di mushola. Hatta kerap menang, tiba pertama di shaf terdepan. Keduanya tumbuh besar dengan karakter yang berbeda. Gun mudah bergaul, dibanding Hatta yang kalem

Rasa rindu telah membuatnya sampai di sini. Bukankah obat rindu hanyalah berjumpa dengan yang dirindukan. Bahkan Bilal Bin Rabah bersyair mengobati rindunya pada kota Mekkah yang dirindukan,.

Akankah aku lalui malam di suatu lembah yang penuh dengan pohon idzkir dan jalil. Mungkinkah pada suatu hari, aku akan dekati air majinnah. Dan akankah tampak olehku gunung Syamah dan Thafil ?

Kerinduan yang bisa terungkap sang perindu lewat untaian kata dan doa-doa yang terlantun. Meski kerap jiwa manusia memendam rindu, atau mengabaikan riuhnya.

***

Hatta duduk terdiam di sudut mushola. Sang imam sudah berlalu, dan ruangan sepi kembali. Saat hujan mereda, Hatta beranjak ke rumah kenangan masa kecilnya. Setelah melewati jalan kecil, terlihat rumah antik mencolok di antara rumah lain. Rumah dengan atap sirap kayu ulin belum berubah. Itu yang membedakan dengan rumah sekitarnya. Mendiang ayahnya, suka gaya rumah kokoh, bertiang beton buat menopang rumah tingkatnya.

Kesunyian malam merambat. Rumah itu tegak berdiri di depannya. Namun, penghuninya bukan lagi keluarganya. Firasatnya menebak, Ibu sudah meninggal, saat mbak Ris tak menjawab pertanyaanya dulu. Riuh rindunya, menyisakan tetes bening di ujung mata, dan perih sesak di dadanya

“Aku mesti bertemu Sisi, dan anakku..” Bergegas ia meninggalkan rumah kenangannya. Bus luar kota membelah malam, membawa Hatta menuju rumah mertuanya.

*

Mbak Ris heboh, Hatta menghilang dari rumah kontrakannya. Bolak balik ia menengok ke luar, berharap Hatta muncul, tetapi nihil. Gun yang dihubunginya langsung menebak ke mana abangnya pergi. Diteleponnya pak Sani, tetangga rumah kenangan dulu, sayang terlambat, Hatta sudah menghilang.

“Ke rumah orang tua Sisi,” tebak Gun, sembari mengontak Fani. Keponakannya itu, diminta bersiap menyambut kepulangan ayahnya.

Fajar pagi membelah bumi, saat ketukan pnkan Fani, anak Hatta. Di luar ayahnya tegak, menepis gigil dengan balutan jaket di tubuh kurusnya. Dulu Fani sering menjenguk ayahnya saat pengobatan. Dibimbingnya ayahnya masuk rumah. Sekejap teh manis hangat kesukaan ayahnya sudah siap terhidang.

Penuh kasih ditatapnya mata ayahnya yang berkaca-kaca tersenyum Bahagia.

“Momen yang tepat, bisik Fani.

Sebulan lagi, ia akan menikah. Ia berharap ayahnya akan manjadi wali nikahnya dengan lelaki pilihannya, Tiba-tiba meluncur pertanyaan ayahnya,

“Bunda di mana?”.

Fani terdiam, seolah tak mendengar pertanyaan itu.

“Fani bereskan kamar ayah dulu ya,” sambil menunjuk kamar di tengah ruang keluarga.

“Duh, bagaimana aku menjelaskan rahasia yang belum diketahui ayah. Bukankah bunda sudah tak di sini, lima tahun setelah ayah berobat. Bunda tinggal di rumah nenek saat ayah dirawat, lalu menikah turun ranjang dengan paman Ipan, lantaran isterinya meninggal,” gusar Fani.

*

Berita Hatta dirawat di rumah terapi kembali, benar-benar mengejutkan mbak Ris dan Gun.

“Bagaimana bisa?, bukankah Hatta sudah sembuh?, ” protes mbak Ris kesal, tak bisa berbuat apa-apa.

Keputusan sudah bulat, keluarga besar Sisi akan membawa Hatta berobat kembali ke rumah terapi mental, jauh di luar kota tempat tinggal anaknya.

Daun-daun di pekarangan rumah rawat berguguran di pagi ini. Sepi menyapa, bersama dingin yang menembus kulit Hatta kali ini berbeda dengan biasanya.

“Apa yang salah dengan makanan yang kumakan tadi malam?”, tanya Hatta dalam hati. Perutnya melilit bagai ditusuk, membuatnya kepayahan meregang sakit.

“Bismillah, aku harus kuat, dan sembuh. Sebentar lagi, aku akan berjumpa denganmu Sisi di akad nikah anak kita, Fani, ” senyum getir itu menahan sakit.

Riuh rindu semakin menjerit, menyelingi lirih tahlil yang melantun di mulut Hatta buat mengusir sakit perut yang semakin perih. Terdengar jelas ucap syahadat, mengiringi kelopak mata yang menutup tenang selamanya, tepat sebelum adzan Subuh berkumandang di rumah rawat itu. ***

———————–
Asih Drajad Lumintu, tinggal di Pekanbaru. Perempuan berlatar pendidikan Bahasa Arab IKIP Jakarta dan Pendidikan Islam UIN Suska Riau ini, mulai menekuni dunia tulis belakangan ini. Menggagas Kelas Perempuan Menulis di Komunitas Ceria (Cita Perempuan Indonesia) secara online. Kreasi tulisannya bisa dilihat di: http://Instagram.com/komunitasceria.

Baca : Cerpen Sulistyo Suparno: Peluru Ketiga

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *