Foucault dan Pendidikan Kita

Pemuda

MENDISKUSIKAN pendidikan sesungguhnya tidak akan pernah selesai, karena ia berkait erat dengan manusia itu sendiri sebagai aktor dalam pendidikan tersebut. Hiruk pikuk yang mewarnai pendidikan di Indonesia, justru terselip aroma “busuk” dalam prosesnya. Mulai dari kasus “pemerkosaaan”, intoleransi, hingga ruang-ruang belajar yang tanpa ada dialog, tanpa ada penghargaan atas pesera didik. Kondisi ini, menjadi cerminan bagi ketidakmampuan pendidikan dalam memberikan transformasi pengetahuan dan nilai yang kondusif, damai, dan toleran bagi peserta didik kita. Model pembelajaran kita, masih berada pada pola “pemaksaan” kehendak dan pemahaman yang hanya satu arah saja. Model pembelajaran hanya berkutat pada sikap keagamaan yang tidak kritis, rasional dan obyektif serta tidak memberikan ruang akan pentinya penghormatan terhadap paham atau pemahaman orang lain.

Model pembelajaran seperti itu, memang agak meringankan seorang guru atau dosen dalam proses pembelajaran. Karena, dosen atau guru tidak akan memperoleh kritik. Guru atau dosen tidak akan disibukkan oleh penjelasan maupun kritikan dari peserta didiknya. Guru atau dosen hanya tinggal memberikan informasi pengetahuan (transfer of knowledge), yang tunggal dan dimaklumi sebagai sebuah kebenaran an sich, sementara peserta didik cukup menjadi pendengar, mencatat dan diwajibkan untuk menerima dan mengikuti apa yang disampaikan oleh guru atau dosennya.

Jika model pembelajan seperti itu masih menguat di dalam sistem pembelajaran kita, apalagi di Perguruan Tinggi, maka tidak heran jika cara-cara penyelesaian masalah dengan mengedepankan “pokoknya”, menjamur di tengah masyarakat kita. Ketika diplomasi “pokoknya” dikedepankan, maka proses mediasi apapun akan tumbang. Yang muncul justru pemaksaan dan intimidasi. Kesediaan untuk memahami berbagai perspektif atas sebuah persoalan, menjadi kering dan hilang dalam diri peserta didik.

Di sini, pendidikan tentu tidak boleh melahirkan “anak haram” berupa kesadaran naif, melainkan harus menghasilkan apa yang oleh Paulo Friere sebut sebagai critical consciousness, kesadaran kritis. Karena hanya pendidikan yang kritis, dialogis, dan praksis yang memungkinkan memanusiakan manusia.

Model pembelajaran tesebut, bagi Foucault merupakan bagian dari upaya “pendisiplinan” tubuh. Menurutnya, sejak dahulu kala, tubuh telah menjadi obyek dan target dari kekuasaan; ia telah dimanipulasi, dibentuk, dan dilatih; tubuh juga dipaksa patuh dan dikendalikan agar menjadi terampil dan meningkatkan kekuatannya. Upaya ini, bertujuan agar tubuh menjadi jinak (docile), sehingga ia mudah digunakan, digiring, diprovokasi, dirubah bentuknya, atau ditingkatkan. Lebih-lebih lagi ketika tubuh telah menjadi obyek investasi angkuh oleh kekuasaan, atau yang memiliki kuasa, bisa guru, dosen, polisi, ulama’, atau siapa saja yang mampu memberikan cengkraman dan pembatasan, maka tubuh akan mirip wayang yang setiap gerak langkahnya dibawah pengaruh seorang Dalang.

Dalam prosesnya, kekuasaan itu bekerja tidak selalu melalui penindasan dan represi, tetapi biasanya melalui normalisasi dan regulasi. Dalam Discipline and Punish Foucault mencontohkan bahwa strategi kuasa tak selalu berwujud penindasan atau represi tetapi melalui normalisasi dan regulasi yang disebut juga dengan “disiplin”. Salah satu ranah normalisasi dan regulasi itu adalah “tubuh”.
Tubuh didisiplinkan atau dinormalisasi dan diatur melalui regulasi tertentu.

Normalisasi dilakukan dengan penciptaan-penciptaan kategorikal; ini perilaku normal – tidak normal, ini paham liberal – bukan liberal, ini muslim – kafir, dan seterusnya. Sementara kontrol regulatif meliputi penguasaan wilayah-wilayah strategis yang mampu memberikan monopoli kekuasaan. Kekuasaan biasanya dipolitisasi sebagai upaya amar ma’ruf nahi mungkar. Hanya dengan merebut wilayah-wilayah strategislah, kemungkaran bisa diberangus.

Proyeksi tersebut, dalam sistem pendidikan terlihat bagaimana pendidikan mengontrol tingkah laku, tindak-tanduk, bakat, ketangkasan, bahkan pemahaman dan performa (tampilan berpakaian, gaya rambut, gaya janggut dan seterusnya) atas mahasiswa atau peserta didik. Pada semester-semester awal misalnya, tidak sedikit mahasiswa di beberapa perguruan Tinggi Islam, yang telah mengalami perubahan performa atau perubahan sikap, tingkah laku, dan pemahaman mahasiswa. Sayangnya, perubahan itu terjadia, tanpa dibarengi oleh sikap kritis-dialogis dikalangan mereka. Para mahasiswa hanya menerima begitu saja “kontrol” atas kuasa dosennya.

Pada proses selanjutnya, pendidikan mengalami proses dehumanisasi, yang menurut Paulo Friere bahwa “dehumanisasi ini muncul dari pola “Pendidikan gaya Bank”, dimana mahasiswa menjadi celengan dan dosen adalah orang yang menabung, atau memasukkan uang ke celengan tersebut, adalah gaya pendidikan yang telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan dosen dengan mahasiswa. Lebih lanjut dikatakan, “konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya (kontradiksi tersebut) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid“. Mahasiswa hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh sang Dosen, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya.

Kondisi tersebut di atas, kemudian diperparah dengan praktek pembelajaran agama (Islam) yang lebih mengedepankan nuansa fiqhiyah (Fiqh Oriented atau Fiqh Minded). Artinya, pembelajaran lebih berorietasi pada norma-norma benar-salah, pahala-dosa. Demikan juga pada pengajaran yang bersifat informal, para muballigh lebih menekankan metode “menakut-nakuti” jamaahnya dengan berbagai dimensi siksa kubur dan pedihnya adzab api neraka. Setelah itu ummat “dimanjakan” dengan “iming-iming” pahala yang besar dengan segala hitungan dan kelipatannya.

Oleh sebab itu, pendidikan sebagai lembaga yang bertujuan pengalihan kebudayaan (cultural transformation) dari satu generasi ke generasi selanjutnya atau berupaya mengedepankan proses perkembangan manusia (human development), maka model-model pembelajaran yang hanya mengenalkan satu tafsir, satu mazhab, sehingga terkesan melahirkan pemaksaan kehendak dan kepentingan tertentu, harus lah dihindari.

Proses pembelajaran dalam pandangan Foucault tentang “disiplin tubuh” adalah bukan pelaksanaan kehendak atas paksaan yang datang dari orang lain, tetapi disiplin merupakan pelaksanaan atas kehendak sendiri. Disiplin berbeda dengan kepatuhan seorang budak. Karena disiplin bukanlah didasarkan pada penyerahan badan atau seperti kepatuhan “pelayan”, disebabkan tidak lain karena tubuh bukan merupakan relasi “dominasi”. Disiplin lebih ditujukan sebagai pengembangan penguasaan individu terhadap “tubuhnya sendiri”.

Diantara bentuk pembelajaran yang pada titik tertentu memiliki otonomi untuk mengatur dan mengontrol tubuhnya sendiri adalah dengan memberinya pemahaman bahwa ada yang berbeda diluar dirinya, ada yang memiliki pemahaman yang tidak sama diluar dirinya, bahwa perbedaan itu sunnatullah, penghormatan atas perbedaan itu penting, dan seterusnya. Wallahu A’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Menghidupkan Spirit Nabi untuk Perempuan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *